Sejarah Pemakzulan Presiden di Indonesia
Dinilai karena melanggar konstitusi, beberapa presiden Indonesia pernah diturunkan secara politik oleh MPR
Context,id, JAKARTA - Isu pemakzulan Joko Widodo kembali mencuat menjelang Pemilu 2024.Dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia, pernah ada presiden yang dimakzulkan.
Seperti diketahui, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mengajukan pemakzulan Jokowi pada Selasa (9/1/2024) lalu.
Kelompok tersebut mendatangi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk menyampaikan wacana tersebut secara resmi.Mahfud MD pun menyampaikan bahwa sejumlah tokoh tersebut ingin Pemilu 2024 tanpa Jokowi.
Adapun kronologi munculnya petisi pemakzulan itu dimulai dari kehadiran 22 orang seperti Amien Rais, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto; Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat; hingga Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman.
Tujuan utama memakzulkan Jokowi juga dilakukan karena sang presiden dianggap gagal memimpin RI, salah satunya karena dinilai melanggar konstitusi.
BACA JUGA
Salah satu kasusnya yakni tudingan nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK) dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian mereka juga menuntut untuk melaporkan adanya dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Dalam sejarah Indonesia, pernah terjadi beberapa pemakzulan terhadap presiden. Kejadian pertama tentu saja menimpa Proklamator Indonesia, Soekarno yang juga presiden pertama.
Bung Karno dijatuhkan pada 1966 setelah pertanggungjawabannya dalam pidato berjudul Nawaksara I dan II tidak diterima oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Soekarno awalnya dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S), kemudian berbagai aksi protes dan tuntutan dari kalangan terpelajar yang semakin merebak.
Karena situasi yang makin tidak terkendali, Soekarno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memerintahkan Soeharto untuk memulihkan keadaan.
Soeharto bertindak lebih jauh dengan mengganti para anggota MPRS yang dinilai terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Majelis tersebut kemudian menggelar sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Soekarno.
Dua kali pertanggungjawaban Soekarno ditolak oleh lembaga tersebut yang akhirnya melengserkan sang presiden dan menggantinya dengan Soeharto.
Adapun pemakzulan lainnya dilakukan terhadap Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang dipicu oleh laporan yang disampaikan Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar US$4 juta.
Selain itu, Gus Dur juga dituding menggunakan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar US$2 juta.
Akan tetapi, kendati dua tudingan itu belum terbukti kebenarannya, MPR terus menekan Gus Dur untuk mundur dengan mengeluarkan memorandum II hingga III.
Desakan itu dijawab oleh Gus Dur dengan mengeluarkan Dekrit 23 Juli 2001. Isi dekrit itu adalah pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, serta pembekuan Golkar.
Isi dekrit yang menyatakan pembekuan DPR dan MPR menjadi salah satu pernyataan yang paling menyita perhatian publik.
MPR kemudian menggelar sidang istimewa yang kemudian memutuskan untuk memberhentikan Gus Dur dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.
Mahfud MD, calon wakil presiden, pernah menyatakan pemakzulan Presiden keempat Gus Dur tidak sah jika ditinjau dari segi hukum tata negara.
"Gus Dur itu jatuh sebenarnya adalah dari sudut hukum tata negara itu penjatuhannya tidak sah. Tetapi kan saya punya disertasi tentang politik hukum, kalau di dalam hidup bernegara itu hukum adalah produk politik. Kalau politik menghendaki ini, hukumnya tidak mendukung, politiknya itu membuldoser hukum. Itu bisa terjadi sampai sekarang," ujar Mahfud.
Mahfud yang sempat menjabat sebagai Menteri Pertahanan era Gus Dur menerangkan kriteria presiden dapat dilengserkan termuat dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, yakni dinyatakan sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.
"Apabila presiden benar-benar melanggar Haluan Negara diberi memorandum I agar memperbaiki (kebijakan), kalau masih benar-benar melanggar Haluan Negara diberi memorandum II agar memperbaiki kebijakannya. Kalau sudah memorandum II masih melanggar lagi, MPR melakukan Sidang Istimewa untuk memberhentikan," ucapnya.
Namun, yang terjadi pada Gus Dur tidak demikian, lanjut Mahfud. Gus Dur dimakzulkan Sidang Istimewa MPR melalui kasus yang berbeda antara memorandum I, II, dan III.
RELATED ARTICLES
Sejarah Pemakzulan Presiden di Indonesia
Dinilai karena melanggar konstitusi, beberapa presiden Indonesia pernah diturunkan secara politik oleh MPR
Context,id, JAKARTA - Isu pemakzulan Joko Widodo kembali mencuat menjelang Pemilu 2024.Dalam sejarah pemerintahan Republik Indonesia, pernah ada presiden yang dimakzulkan.
Seperti diketahui, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Petisi 100 mengajukan pemakzulan Jokowi pada Selasa (9/1/2024) lalu.
Kelompok tersebut mendatangi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD untuk menyampaikan wacana tersebut secara resmi.Mahfud MD pun menyampaikan bahwa sejumlah tokoh tersebut ingin Pemilu 2024 tanpa Jokowi.
Adapun kronologi munculnya petisi pemakzulan itu dimulai dari kehadiran 22 orang seperti Amien Rais, mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto; Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat; hingga Mayjen TNI (Purn) Deddy S Budiman.
Tujuan utama memakzulkan Jokowi juga dilakukan karena sang presiden dianggap gagal memimpin RI, salah satunya karena dinilai melanggar konstitusi.
BACA JUGA
Salah satu kasusnya yakni tudingan nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi (MK) dan intervensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian mereka juga menuntut untuk melaporkan adanya dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Dalam sejarah Indonesia, pernah terjadi beberapa pemakzulan terhadap presiden. Kejadian pertama tentu saja menimpa Proklamator Indonesia, Soekarno yang juga presiden pertama.
Bung Karno dijatuhkan pada 1966 setelah pertanggungjawabannya dalam pidato berjudul Nawaksara I dan II tidak diterima oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).
Soekarno awalnya dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September (G30S), kemudian berbagai aksi protes dan tuntutan dari kalangan terpelajar yang semakin merebak.
Karena situasi yang makin tidak terkendali, Soekarno menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang memerintahkan Soeharto untuk memulihkan keadaan.
Soeharto bertindak lebih jauh dengan mengganti para anggota MPRS yang dinilai terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Majelis tersebut kemudian menggelar sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Soekarno.
Dua kali pertanggungjawaban Soekarno ditolak oleh lembaga tersebut yang akhirnya melengserkan sang presiden dan menggantinya dengan Soeharto.
Adapun pemakzulan lainnya dilakukan terhadap Presiden Abdurahman Wahid alias Gus Dur yang dipicu oleh laporan yang disampaikan Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar US$4 juta.
Selain itu, Gus Dur juga dituding menggunakan dana bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar US$2 juta.
Akan tetapi, kendati dua tudingan itu belum terbukti kebenarannya, MPR terus menekan Gus Dur untuk mundur dengan mengeluarkan memorandum II hingga III.
Desakan itu dijawab oleh Gus Dur dengan mengeluarkan Dekrit 23 Juli 2001. Isi dekrit itu adalah pembekuan DPR dan MPR, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat, serta pembekuan Golkar.
Isi dekrit yang menyatakan pembekuan DPR dan MPR menjadi salah satu pernyataan yang paling menyita perhatian publik.
MPR kemudian menggelar sidang istimewa yang kemudian memutuskan untuk memberhentikan Gus Dur dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.
Mahfud MD, calon wakil presiden, pernah menyatakan pemakzulan Presiden keempat Gus Dur tidak sah jika ditinjau dari segi hukum tata negara.
"Gus Dur itu jatuh sebenarnya adalah dari sudut hukum tata negara itu penjatuhannya tidak sah. Tetapi kan saya punya disertasi tentang politik hukum, kalau di dalam hidup bernegara itu hukum adalah produk politik. Kalau politik menghendaki ini, hukumnya tidak mendukung, politiknya itu membuldoser hukum. Itu bisa terjadi sampai sekarang," ujar Mahfud.
Mahfud yang sempat menjabat sebagai Menteri Pertahanan era Gus Dur menerangkan kriteria presiden dapat dilengserkan termuat dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978, yakni dinyatakan sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara.
"Apabila presiden benar-benar melanggar Haluan Negara diberi memorandum I agar memperbaiki (kebijakan), kalau masih benar-benar melanggar Haluan Negara diberi memorandum II agar memperbaiki kebijakannya. Kalau sudah memorandum II masih melanggar lagi, MPR melakukan Sidang Istimewa untuk memberhentikan," ucapnya.
Namun, yang terjadi pada Gus Dur tidak demikian, lanjut Mahfud. Gus Dur dimakzulkan Sidang Istimewa MPR melalui kasus yang berbeda antara memorandum I, II, dan III.
POPULAR
RELATED ARTICLES