Stories - 06 June 2023

Tadashi Yanai dan Transformasi Toko Warisan Jadi Uniqlo

Tadashi Yanai menjadi sosok kunci di balik kejayaan merek dan strategi jitu Uniqlo menjadi ikon fesyen ritel global.


Tadashi Yanai - Bloomberg

Context.id, JAKARTA - Uniqlo kini menjadi brand fesyen global terkenal dengan jejaring ritel yang tersebar di berbagai negara. Toko ritel dengan logo berlatar merah dan nama merek tercetak berwarna putih milik Uniqlo hampir dipastikan ada di setiap kota besar.

Di Indonesia sendiri, Uniqlo hingga akhir 2022 telah memiliki 56 toko. Dilansir         Bisnis.com, jejaring ritel Uniqlo akan bertambah delapan lagi pada tahun ini.

Namun siapa yang menyangka bahwa ikon mode global ini berawal dari sebuah toko warisan keluarga di Jepang. Toko ini kemudian berkembang dengan strategi bisnis inovatif.

Pasalnya, Uniqlo menjadi perintis strategi bisnis yang agak unik dalam bisnis mode di Asia dengan menampilkan portofolio produk yang luas dan beragam yang ditujukan untuk melayani konsumen dari semua kelas. Produk fesyen yang kasual, sederhana, dan relatif tak lekang oleh waktu, menjadi keunggulan Uniqlo.

BACA JUGA     Profil Low Tuck Kwong, Orang Terkaya ke-3 di Indonesia

Di balik kejayaan merek dan strategi itu, Tadashi Yanai menjadi sosok kuncinya. Berkat kejeniusan dan inovasinya itu, Tadashi mampu mentransformasikan toko warisan keluarganya menjadi salah satu jejaring ritel besar di dunia saat ini.

Setali tiga uang, Tadashi Yanai dan keluarganya pun kini menjadi orang terkaya di Jepang. Dia memimpin daftar Japan’s 50 Richest 2022 yang dirilis Forbes.

Data  real time   Forbes  per 6 Juni 2023 menunjukkan kekayaan pengusaha berusia 74 tahun itu mencapai US$37,5 miliar atau sekitar Rp557,55 triliun (kurs Rp14.868 per US$). Tadashi Yanai menempati urutan ke-33 orang terkaya di dunia.
 

Berawal dari Toko Warisan

Dilansir   Forbes, Tadashi Yanai lahir pada 7 Februari 1949 di sebuah kota kecil di Prefektur Yamaguchi, di barat daya Jepang. Dia dibesarkan dan tinggal di atas toko pakaian orang tuanya.

Awalnya, Tadashi Yanai justru enggan meneruskan bisnis orang tuanya. Dia justru bekerja sebagai tenaga pemasar pakaian pria dan peralatan dapur di perusahaan ritel. Namun atas desakan ayah, dia akhirnya keluar dari perusahaan tersebut setelah satu tahun bekerja. 

Baru pada dekade 1970, dia kemudian mencoba untuk melanjutkan warisan bisnis keluarga, yakni toko lawas bernama 'Ogori Shoji’.

BACA JUGA     Inflasi Mei 2023 Melandai, Cek Penyebab dan Dampaknya

Inovasi awal direalisasikan Tadashi Yanai dengan ekspansi toko cabang. Alhasil, Ogori Shoji memiliki beberapa cabang pada dekade tersebut.

Dia kemudian mentransformasikan visinya dengan memprakarsai perubahan nama perusahaan menjadi 'Fast Retailing'. Perubahan ini ditujukan agar nama merek tersebut nantinya dapat diidentifikasi secara global.

Pada dekade 1980-an, Tadashi kemudian menggabungkan sistem ‘rantai pakaian kasual massal’ yang berasal dari budaya Amerika dan Eropa ke Jepang. Dirinya terinspirasi dari perusahaan mode mapan seperti Benetton, The Gap, dan Esprit.

BACA JUGA    RI Kebut Ekosistem Kendaraan Listrik Demi NZE 2060

Dia bahkan ingin perusahaannya menjadi pengecer terbesar di dunia atau harus melampaui H&M dan Inditex (induk dari Zara).

Pada 1984, Tadashi Yanai mendirikan Unique Clothing Warehouse yang kemudian disingkat menjadi Uniqlo. Dia juga segera mulai berekspansi ke pinggiran kota.

Jelang awal 1990-an, Tadashi Yanai mulai belajar dan dengan sempurna meniru semua yang dilakukan The Gap. Uniqlo meniru model bisnis The Gap yang memproduksi dan secara eksklusif menjual semua pakaiannya sendiri.

BACA JUGA    Milenial Susah Beli Rumah? Begini Faktanya

Upaya meniru The Gap terbukti menjadi strategi sukses besar-besaran bagi Uniqlo dan perusahaan induknya Fast Retailing.

Pada tahun 1993, Tadashi membuat langkah yang benar-benar belum pernah dilakukan sebelumnya oleh perusahaan Jepang. Dia mengalihkan semua produksinya ke China. Ini memungkinkan dia untuk memangkas biaya produksi pakaian dan selanjutnya meningkatkan keuntungan.

Uniqlo pun berkembang pesat. Pada 1996, Tadashi Yanai memiliki lebih dari 200 toko di Jepang. Pada 1998, jaket bulu Uniqlo seharga US$15 menjadi produk paling populer di Negeri Sakura. Diperkirakan setidaknya satu dari empat orang Jepang memiliki jaket itu.

BACA JUGA    Kualitas Udara Jakarta Memburuk, Waspadai Dampak Polusi 

Kinerja positif itu pun berlanjut ke kancah internasional. Pada krisis ekonomi 2008 dan 2009, Fast Retailing mengakuisisi Theory dan Helmut Lang, yang merupakan merek mode desainer kelas atas. Selain itu, grup usaha ini memiliki merek J Brand dan GU.

Hingga saat ini atau lebih dari tiga dekade berlalu, Uniqlo berhasil memperluas operasinya menjadi lebih dari 1.000 gerai di setidaknya 20 negara. Sebagian besar tersebar di Asia, antara lain Jepang, China, Hong Kong, dan Korea Selatan. Tahun lalu, Uniqlo membuka toko pertamanya di Denmark, Italia, India, dan Vietnam.

Di tengah pandemi Covid-19, Tadashi Yanai yang masih menjabat CEO Uniqlo bahkan tetap mampu meningkatkan kekayaannya dan melampaui pundi-pundi harta Takemitsu Takizaki pendiri Keyence dan Masayoshi Son yang dikenal sebagai pendiri dan CEO SoftBank Capital.


Penulis : Oktaviano Donald

Editor   : Oktaviano Donald

MORE  STORIES

Mengintip Kiprah Kaum Muda Selamatkan Lingkungan Laut

DAC merupakan sebuah organisasi nirlaba pemuda yang bergerak dalam bidang lingkungan dengan fokus permasalahan sampah plastik di laut.

Noviarizal Fernandez | 03-05-2024

Daftar Negara yang Putuskan Hubungan Diplomatik dengan Israel

Beberapa negara telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel karena tidak setuju tindakan genosida di Gaza

Context.id | 03-05-2024

Menlu Inggris: Pembentukan Negara Palestina Kunci Perdamaian Timur Tengah

Pembangunan permukiman ilegal Israel jadi hambatan utama kedaulatan Palestina.

Context.id | 02-05-2024

Ki Hadjar Dewantara: Bangsawan, Politikus dan Pendidik

Dia bergerak melalui idealisme pendidikan dan nilai-nilai intelektual untuk ikut berjuang membebaskan Indonesia dari penjajahan.

Context.id | 02-05-2024