Share

Stories 24 November 2024

Menuju Pemulihan: Dua Ilmuwan Harvard Mencari Jalan Cepat Atasi Depresi

Depresi menjadi musuh yang sulit ditaklukkan karena pengobatannya butuh waktu panjang

Ilustrasi depresi/mmhs.co.uk

Context.id, JAKARTA - Setiap tahun, lebih dari 22 juta orang dewasa di Amerika Serikat menderita setidaknya satu episode depresi berat. Bagi sebagian besar penderita, jalan menuju kesembuhan adalah sebuah perjalanan panjang dan penuh kekecewaan. 

Perawatan sering kali berupa eksperimen yang memakan waktu percobaan demi percobaan dengan antidepresan yang tidak selalu berhasil. Hasilnya? 

Kegagalan pengobatan yang tidak hanya menyisakan rasa putus asa, tetapi juga berisiko memperburuk kondisi pasien, bahkan meningkatkan kecenderungan bunuh diri.

Namun, kini ada harapan baru yang muncul dari dua ilmuwan Harvard, David Walt dan Diego Pizzagalli. Mendapatkan sokongan dana besar dari lembaga nirlaba Wellcome Leap, mereka berupaya mempercepat proses pemulihan depresi bukan hanya untuk meringankan gejala, tetapi juga untuk mempersingkat waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pengobatan yang benar-benar efektif.

David Walt, seorang profesor di Harvard Medical School, meneliti bagaimana perubahan pada tingkat sel, terutama sel-sel otak, dapat menyebabkan gangguan suasana hati yang parah seperti depresi. 



Melalui pendekatan mikroskopis, Walt mengamati kelainan dalam empat jenis sel otak: neuron, oligodendrosit, mikroglia, dan astrosit. 

Setiap jenis sel memiliki peran khusus dalam menjaga keseimbangan otak, dan kelainan pada sel-sel ini dapat memengaruhi kemampuan otak untuk mengirimkan pesan yang tepat, mengatur respons imun, dan menjaga fungsi metabolisme yang sehat.

Tujuannya sangat jelas, menemukan penanda biologis dalam darah yang dapat mengidentifikasi depresi dan memberi tahu dokter obat mana yang paling tepat. 

"Kami ingin mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk menemukan pengobatan yang tepat bagi pasien," kata Walt seperti dikutip dari Harvard.edu 

Jika berhasil, ini akan mengubah cara kita merawat depresi dan mengubahnya dari proses coba-coba yang memakan waktu bertahun-tahun menjadi pendekatan yang lebih cepat dan lebih personal.

Melalui inovasi nanoteknologi, Walt mempelajari nanopartikel yang terlepas dari sel-sel otak dan masuk ke dalam darah dan mengidentifikasi penanda spesifik dalam nanopartikel ini.

Walt berharap dapat mengembangkan tes darah yang akan membantu dokter melihat apakah pengobatan tertentu sudah mulai bekerja hanya dalam beberapa minggu, bukannya berbulan-bulan.

Aktivitas otak untuk pemilihan pengobatan
Sementara Walt fokus pada sel-sel otak dan penanda dalam darah, Diego Pizzagalli, seorang profesor psikiatri di Rumah Sakit McLean, mengambil pendekatan berbeda dengan menggunakan pencitraan otak untuk melihat secara langsung bagaimana struktur dan fungsi otak pasien depresi. 

Melaui bantuan teknologi seperti MRI fungsional (fMRI) dan elektroensefalografi (EEG), Pizzagalli melacak aktivitas otak untuk menemukan pola yang bisa meramalkan respons seseorang terhadap pengobatan tertentu.

Fokusnya adalah pada dua area penting di otak yang berperan dalam pengolahan emosi dan motivasi: nukleus akumbens dan korteks cingulate anterior. 

Pizzagalli mencoba memetakan hubungan antara kedua wilayah ini dan berharap bisa menentukan pengobatan mana yang akan memberikan hasil terbaik, apakah itu antidepresan jenis SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) atau pengobatan lain seperti bupropion.

"Setiap individu memiliki pola aktivitas otak yang unik, dan kami berusaha untuk menghubungkan pola ini dengan pengobatan yang lebih tepat," kata Pizzagalli. 

Melalui pendekatan ini, mereka berharap dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menemukan obat yang benar-benar efektif bagi pasien, sekaligus menghindari kegagalan pengobatan yang dapat memperburuk kondisi pasien.

Harapan baru
Kehadiran riset dari Walt dan Pizzagalli memberi secercah harapan bagi pasien yang sering kali merasa terjebak dalam lingkaran percobaan pengobatan yang tidak berujung.

Setiap kegagalan dalam pengobatan antidepresan membawa kerugian yang besar baik dari segi fisik, emosional, maupun ekonomi. 

Menurut Pizzagalli, pengobatan depresi yang lebih cepat dan tepat dapat mengurangi tingkat keputusasaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien, bahkan mengurangi angka bunuh diri yang sering kali menyertai depresi berat.

Namun, meskipun langkah-langkah ini menjanjikan, perjalanan menuju pengobatan yang dipersonalisasi masih panjang. Tantangan terbesar adalah biaya, yang membuat penelitian ini sulit dijangkau oleh banyak laboratorium. 

Selain itu, penyakit depresi yang sangat bervariasi pada setiap individu menambah kompleksitas dalam menciptakan solusi yang benar-benar efektif.

Meski begitu, kedua ilmuwan ini tetap optimis. Riset mereka baru saja dimulai, dan mereka berharap dapat memberikan hasil yang lebih signifikan dalam beberapa tahun ke depan. 

"Kami ingin meyakinkan diri kami sendiri dan dunia medis bahwa pengobatan yang dipersonalisasi bisa dilakukan untuk mengatasi depresi," kata Pizzagalli.

Jika riset ini berhasil, bisa jadi ini adalah awal dari perubahan besar dalam cara kita merawat depresi dari eksperimen yang penuh ketidakpastian menjadi pengobatan yang tepat sasaran, yang mengembalikan waktu dan harapan bagi mereka yang menderita. 

Depresi dan Ketamin yang kontroversial
Sementara itu, ada pendekatan lain yang lebih cepat untuk mengatasi depresi berat, yaitu terapi ketamin. Di Klinik Ketamin Rumah Sakit Umum Massachusetts, para pasien yang tidak merespons pengobatan tradisional mendapatkan infus ketamin IV sebagai alternatif. 

Ketamin, yang sebelumnya digunakan sebagai anestesi, kini telah terbukti memberikan kelegaan yang cepat bagi pasien depresi yang tidak merespons terapi lainnya. 

Meskipun memiliki risiko kecanduan dan efek samping, ketamin telah menjadi pengobatan yang menyelamatkan nyawa bagi banyak orang yang hampir putus asa.

Namun, ketamin bukan tanpa kontroversi. Biaya yang tinggi dan potensi penyalahgunaan obat ini menyebabkan ketidakpastian tentang bagaimana terapi ketamin dapat diterima secara luas. 

Alhasil meskipun ketamin efektif, itu harus menjadi pilihan terakhir setelah percakapan menyeluruh dengan pasien



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 24 November 2024

Menuju Pemulihan: Dua Ilmuwan Harvard Mencari Jalan Cepat Atasi Depresi

Depresi menjadi musuh yang sulit ditaklukkan karena pengobatannya butuh waktu panjang

Ilustrasi depresi/mmhs.co.uk

Context.id, JAKARTA - Setiap tahun, lebih dari 22 juta orang dewasa di Amerika Serikat menderita setidaknya satu episode depresi berat. Bagi sebagian besar penderita, jalan menuju kesembuhan adalah sebuah perjalanan panjang dan penuh kekecewaan. 

Perawatan sering kali berupa eksperimen yang memakan waktu percobaan demi percobaan dengan antidepresan yang tidak selalu berhasil. Hasilnya? 

Kegagalan pengobatan yang tidak hanya menyisakan rasa putus asa, tetapi juga berisiko memperburuk kondisi pasien, bahkan meningkatkan kecenderungan bunuh diri.

Namun, kini ada harapan baru yang muncul dari dua ilmuwan Harvard, David Walt dan Diego Pizzagalli. Mendapatkan sokongan dana besar dari lembaga nirlaba Wellcome Leap, mereka berupaya mempercepat proses pemulihan depresi bukan hanya untuk meringankan gejala, tetapi juga untuk mempersingkat waktu yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pengobatan yang benar-benar efektif.

David Walt, seorang profesor di Harvard Medical School, meneliti bagaimana perubahan pada tingkat sel, terutama sel-sel otak, dapat menyebabkan gangguan suasana hati yang parah seperti depresi. 



Melalui pendekatan mikroskopis, Walt mengamati kelainan dalam empat jenis sel otak: neuron, oligodendrosit, mikroglia, dan astrosit. 

Setiap jenis sel memiliki peran khusus dalam menjaga keseimbangan otak, dan kelainan pada sel-sel ini dapat memengaruhi kemampuan otak untuk mengirimkan pesan yang tepat, mengatur respons imun, dan menjaga fungsi metabolisme yang sehat.

Tujuannya sangat jelas, menemukan penanda biologis dalam darah yang dapat mengidentifikasi depresi dan memberi tahu dokter obat mana yang paling tepat. 

"Kami ingin mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk menemukan pengobatan yang tepat bagi pasien," kata Walt seperti dikutip dari Harvard.edu 

Jika berhasil, ini akan mengubah cara kita merawat depresi dan mengubahnya dari proses coba-coba yang memakan waktu bertahun-tahun menjadi pendekatan yang lebih cepat dan lebih personal.

Melalui inovasi nanoteknologi, Walt mempelajari nanopartikel yang terlepas dari sel-sel otak dan masuk ke dalam darah dan mengidentifikasi penanda spesifik dalam nanopartikel ini.

Walt berharap dapat mengembangkan tes darah yang akan membantu dokter melihat apakah pengobatan tertentu sudah mulai bekerja hanya dalam beberapa minggu, bukannya berbulan-bulan.

Aktivitas otak untuk pemilihan pengobatan
Sementara Walt fokus pada sel-sel otak dan penanda dalam darah, Diego Pizzagalli, seorang profesor psikiatri di Rumah Sakit McLean, mengambil pendekatan berbeda dengan menggunakan pencitraan otak untuk melihat secara langsung bagaimana struktur dan fungsi otak pasien depresi. 

Melaui bantuan teknologi seperti MRI fungsional (fMRI) dan elektroensefalografi (EEG), Pizzagalli melacak aktivitas otak untuk menemukan pola yang bisa meramalkan respons seseorang terhadap pengobatan tertentu.

Fokusnya adalah pada dua area penting di otak yang berperan dalam pengolahan emosi dan motivasi: nukleus akumbens dan korteks cingulate anterior. 

Pizzagalli mencoba memetakan hubungan antara kedua wilayah ini dan berharap bisa menentukan pengobatan mana yang akan memberikan hasil terbaik, apakah itu antidepresan jenis SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors) atau pengobatan lain seperti bupropion.

"Setiap individu memiliki pola aktivitas otak yang unik, dan kami berusaha untuk menghubungkan pola ini dengan pengobatan yang lebih tepat," kata Pizzagalli. 

Melalui pendekatan ini, mereka berharap dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menemukan obat yang benar-benar efektif bagi pasien, sekaligus menghindari kegagalan pengobatan yang dapat memperburuk kondisi pasien.

Harapan baru
Kehadiran riset dari Walt dan Pizzagalli memberi secercah harapan bagi pasien yang sering kali merasa terjebak dalam lingkaran percobaan pengobatan yang tidak berujung.

Setiap kegagalan dalam pengobatan antidepresan membawa kerugian yang besar baik dari segi fisik, emosional, maupun ekonomi. 

Menurut Pizzagalli, pengobatan depresi yang lebih cepat dan tepat dapat mengurangi tingkat keputusasaan dan meningkatkan kualitas hidup pasien, bahkan mengurangi angka bunuh diri yang sering kali menyertai depresi berat.

Namun, meskipun langkah-langkah ini menjanjikan, perjalanan menuju pengobatan yang dipersonalisasi masih panjang. Tantangan terbesar adalah biaya, yang membuat penelitian ini sulit dijangkau oleh banyak laboratorium. 

Selain itu, penyakit depresi yang sangat bervariasi pada setiap individu menambah kompleksitas dalam menciptakan solusi yang benar-benar efektif.

Meski begitu, kedua ilmuwan ini tetap optimis. Riset mereka baru saja dimulai, dan mereka berharap dapat memberikan hasil yang lebih signifikan dalam beberapa tahun ke depan. 

"Kami ingin meyakinkan diri kami sendiri dan dunia medis bahwa pengobatan yang dipersonalisasi bisa dilakukan untuk mengatasi depresi," kata Pizzagalli.

Jika riset ini berhasil, bisa jadi ini adalah awal dari perubahan besar dalam cara kita merawat depresi dari eksperimen yang penuh ketidakpastian menjadi pengobatan yang tepat sasaran, yang mengembalikan waktu dan harapan bagi mereka yang menderita. 

Depresi dan Ketamin yang kontroversial
Sementara itu, ada pendekatan lain yang lebih cepat untuk mengatasi depresi berat, yaitu terapi ketamin. Di Klinik Ketamin Rumah Sakit Umum Massachusetts, para pasien yang tidak merespons pengobatan tradisional mendapatkan infus ketamin IV sebagai alternatif. 

Ketamin, yang sebelumnya digunakan sebagai anestesi, kini telah terbukti memberikan kelegaan yang cepat bagi pasien depresi yang tidak merespons terapi lainnya. 

Meskipun memiliki risiko kecanduan dan efek samping, ketamin telah menjadi pengobatan yang menyelamatkan nyawa bagi banyak orang yang hampir putus asa.

Namun, ketamin bukan tanpa kontroversi. Biaya yang tinggi dan potensi penyalahgunaan obat ini menyebabkan ketidakpastian tentang bagaimana terapi ketamin dapat diterima secara luas. 

Alhasil meskipun ketamin efektif, itu harus menjadi pilihan terakhir setelah percakapan menyeluruh dengan pasien



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Haruskah Tetap Belajar Coding di Dunia AI?

Kamp pelatihan coding dulunya tampak seperti tiket emas menuju masa depan yang aman secara ekonomi. Namun, saat janji itu memudar, apa yang harus ...

Context.id . 25 November 2024

Menuju Pemulihan: Dua Ilmuwan Harvard Mencari Jalan Cepat Atasi Depresi

Depresi menjadi musuh yang sulit ditaklukkan karena pengobatannya butuh waktu panjang

Context.id . 24 November 2024

Hati-hati! Terlalu Banyak Duduk Rentan Terkena Serangan Jantung

Menurut penelitian terbaru meskipun kita rajin olahraga yang rutin jika tubuh tidak banyak bergerak dapat meningkatkan risiko gagal jantung hingga 60%

Context.id . 24 November 2024

Klaster AI Kempner Raih Predikat Superkomputer Hijau Tercepat di Dunia

Melalui peningkatan daya komputasi ini, kita dapat mempelajari lebih dalam bagaimana model generatif belajar untuk bernalar dan menyelesaikan tuga ...

Context.id . 23 November 2024