Share

Stories 08 November 2024

Apakah Curhat Membantu atau Justru Memperburuk Amarah?

Penelitian menunjukkan mengeluh atau curhat malah tidak baik bagi kesehatan mental

Ilustrasi stres/AJNN.NET

Context.id, JAKARTA - Seringkali, mengeluh atau curhat tentang hal-hal yang membuat kesal terasa menyenangkan. Saat kita curhat tentang masalah di kantor atau pengalaman buruk lainnya pada orang terdekat seakan sudah lepas beban yang ada di dada kita. 

Namun, penelitian menunjukkan kebiasaan ini mungkin lebih merugikan daripada manfaat sementara yang kita duga. “Curhat adalah hal terburuk yang bisa Anda lakukan ketika marah,” kata Brad Bushman, profesor komunikasi di Ohio State University seperti dikutip dari Time. 

Menurutnya Brushman yang memang meneliti topik ini bertahun-tahun, mencurahkan emosi marah bukanlah solusi; justru seperti menambah bahan bakar ke dalam api. Selama bertahun-tahun, teori psikologi yang disebut “teori katarsis” menyarankan melepaskan emosi negatif jauh lebih baik daripada memendamnya. 

Namun, Bushman meruntuhkan keyakinan itu, ketika dia merilis sebuah studi yang mengungkap mengekspresikan amarah, misalnya dengan memukul samsak, malah meningkatkan rasa marah dan agresi. 

Fakta ini memprihatinkan, mengingat penelitian lain menunjukkan amarah yang dibiarkan berlarut-larut bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik.



Curhat berulang kali, terutama tentang hal-hal yang mungkin sebenarnya sepele, bisa mengarah pada apa yang disebut “ruminasi” atau situasi saat kita terjebak memikirkan dan memperbesar pikiran serta perasaan negatif. 

Menurut Jesse Cougle, profesor psikologi di Florida State University yang meneliti amarah, proses ini dapat membesarkan masalah kecil hingga tampak begitu besar. Dan, tentu saja, efeknya tidak baik untuk kesehatan mental.

Lebih baik meditasi atau yoga
Penelitian pada tahun 2020 yang melihat strategi pengelolaan stres selama pandemi menunjukkan curhat justru terkait dengan penurunan kesehatan mental, sementara cara-cara seperti menerima situasi, melihat sisi positif, atau bahkan melucu tentang masalah yang dihadapi justru lebih menyehatkan secara mental. 

“Pada dasarnya, cobalah bersikap seperti yang Anda harapkan bisa Anda rasakan,” kata Cougle. Dengan kata lain, daripada terjebak dalam amarah, lebih baik mencoba melupakannya dan melanjutkan hidup.

Di sisi lain, penelitian Bushman belakangan ini menunjukkan meditasi, yoga, atau teknik pernapasan dalam lebih efektif untuk mengurangi amarah daripada sekadar melampiaskan emosi. 

Meski olahraga fisik baik untuk kesehatan secara umum, Bushman menjelaskan aktivitas fisik yang terlalu intens mungkin justru menambah ketegangan alih-alih menenangkannya.

Namun, tidak mengherankan curhat memang terasa enak. Bushman menemukan sekitar 75% orang merasa lebih baik setelah melampiaskan amarah, meskipun sering kali emosi mereka justru semakin memuncak. 

Cougle menambahkan, curhat terasa semakin memuaskan ketika kita didukung atau divalidasi oleh pendengar kita. Apalagi, saat ada yang sepakat kita memang benar dan pihak lainlah yang salah, harga diri kita akan terangkat. 

Tapi, jika curhat ini berubah jadi serangan atau sekadar mengulang-ulang cerita lama, kita malah bisa terjebak dalam lingkaran amarah dan sulit untuk move on.Ternyata, siapa pendengar curhat kita juga berperan penting. 

Pilah-pilih teman
Sebuah penelitian pada 2023 menemukan orang dengan jejaring sosial yang lebih besar justru merasa lebih buruk setelah curhat, mungkin karena respons yang mereka dapatkan beragam, dan tidak semuanya mendukung. 

Sementara itu, orang dengan lingkaran sosial yang lebih kecil cenderung merasa lebih baik, karena lebih selektif dalam memilih teman untuk bercerita. Jika Anda merasa terjebak dalam siklus curhat yang terus berulang, mungkin saatnya mencoba strategi yang lebih sehat. 

Bushman merekomendasikan teknik “lalat di dinding,” di mana Anda membayangkan diri Anda sebagai orang luar yang mengamati situasi yang membuat marah. 

Pendekatan ini membantu kita melihat masalah dari perspektif yang lebih netral. Sebuah studi pada 2019 juga menemukan mencari makna lebih dalam dari situasi yang menjengkelkan (seperti berpikir, “Kadang kita tidak selalu mendapatkan yang kita inginkan”) lebih efektif daripada terjebak pada setiap detail yang memicu amarah.

Meskipun dulu ada anggapan kita sebaiknya “melepaskan” pikiran negatif, kini penelitian menunjukkan menekan pikiran-pikiran tersebut bisa mengurangi intensitasnya. 

Michael Anderson, profesor ilmu saraf kognitif di University of Cambridge, dalam studinya pada 2023 menunjukkan ketika orang mencoba menghindari memikirkan hal-hal yang menakutkan atau menyedihkan, kesehatan mental mereka justru meningkat. 

Meskipun studinya tidak secara spesifik membahas amarah, Anderson percaya prinsip serupa mungkin berlaku. “Dengan memproses, memperluas, dan mendiskusikan sesuatu, Anda berisiko membuat hal itu semakin berkesan dan sulit diatur,” ujarnya. 

Ketika sesuatu tidak terlalu penting atau berada di luar kendali, Anderson menyarankan, “Letakkan masalah itu, biarkan berlalu.”

Dan jangan lupakan dampak marah karena lapar. Jadi, jika Anda merasa ingin curhat, cobalah makan camilan dan menarik napas dalam-dalam. Siapa tahu, itu bisa menjadi solusi sederhana untuk menghindari ledakan emosi yang mungkin akan Anda sesali di kemudian hari.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 08 November 2024

Apakah Curhat Membantu atau Justru Memperburuk Amarah?

Penelitian menunjukkan mengeluh atau curhat malah tidak baik bagi kesehatan mental

Ilustrasi stres/AJNN.NET

Context.id, JAKARTA - Seringkali, mengeluh atau curhat tentang hal-hal yang membuat kesal terasa menyenangkan. Saat kita curhat tentang masalah di kantor atau pengalaman buruk lainnya pada orang terdekat seakan sudah lepas beban yang ada di dada kita. 

Namun, penelitian menunjukkan kebiasaan ini mungkin lebih merugikan daripada manfaat sementara yang kita duga. “Curhat adalah hal terburuk yang bisa Anda lakukan ketika marah,” kata Brad Bushman, profesor komunikasi di Ohio State University seperti dikutip dari Time. 

Menurutnya Brushman yang memang meneliti topik ini bertahun-tahun, mencurahkan emosi marah bukanlah solusi; justru seperti menambah bahan bakar ke dalam api. Selama bertahun-tahun, teori psikologi yang disebut “teori katarsis” menyarankan melepaskan emosi negatif jauh lebih baik daripada memendamnya. 

Namun, Bushman meruntuhkan keyakinan itu, ketika dia merilis sebuah studi yang mengungkap mengekspresikan amarah, misalnya dengan memukul samsak, malah meningkatkan rasa marah dan agresi. 

Fakta ini memprihatinkan, mengingat penelitian lain menunjukkan amarah yang dibiarkan berlarut-larut bisa berdampak buruk pada kesehatan mental dan fisik.



Curhat berulang kali, terutama tentang hal-hal yang mungkin sebenarnya sepele, bisa mengarah pada apa yang disebut “ruminasi” atau situasi saat kita terjebak memikirkan dan memperbesar pikiran serta perasaan negatif. 

Menurut Jesse Cougle, profesor psikologi di Florida State University yang meneliti amarah, proses ini dapat membesarkan masalah kecil hingga tampak begitu besar. Dan, tentu saja, efeknya tidak baik untuk kesehatan mental.

Lebih baik meditasi atau yoga
Penelitian pada tahun 2020 yang melihat strategi pengelolaan stres selama pandemi menunjukkan curhat justru terkait dengan penurunan kesehatan mental, sementara cara-cara seperti menerima situasi, melihat sisi positif, atau bahkan melucu tentang masalah yang dihadapi justru lebih menyehatkan secara mental. 

“Pada dasarnya, cobalah bersikap seperti yang Anda harapkan bisa Anda rasakan,” kata Cougle. Dengan kata lain, daripada terjebak dalam amarah, lebih baik mencoba melupakannya dan melanjutkan hidup.

Di sisi lain, penelitian Bushman belakangan ini menunjukkan meditasi, yoga, atau teknik pernapasan dalam lebih efektif untuk mengurangi amarah daripada sekadar melampiaskan emosi. 

Meski olahraga fisik baik untuk kesehatan secara umum, Bushman menjelaskan aktivitas fisik yang terlalu intens mungkin justru menambah ketegangan alih-alih menenangkannya.

Namun, tidak mengherankan curhat memang terasa enak. Bushman menemukan sekitar 75% orang merasa lebih baik setelah melampiaskan amarah, meskipun sering kali emosi mereka justru semakin memuncak. 

Cougle menambahkan, curhat terasa semakin memuaskan ketika kita didukung atau divalidasi oleh pendengar kita. Apalagi, saat ada yang sepakat kita memang benar dan pihak lainlah yang salah, harga diri kita akan terangkat. 

Tapi, jika curhat ini berubah jadi serangan atau sekadar mengulang-ulang cerita lama, kita malah bisa terjebak dalam lingkaran amarah dan sulit untuk move on.Ternyata, siapa pendengar curhat kita juga berperan penting. 

Pilah-pilih teman
Sebuah penelitian pada 2023 menemukan orang dengan jejaring sosial yang lebih besar justru merasa lebih buruk setelah curhat, mungkin karena respons yang mereka dapatkan beragam, dan tidak semuanya mendukung. 

Sementara itu, orang dengan lingkaran sosial yang lebih kecil cenderung merasa lebih baik, karena lebih selektif dalam memilih teman untuk bercerita. Jika Anda merasa terjebak dalam siklus curhat yang terus berulang, mungkin saatnya mencoba strategi yang lebih sehat. 

Bushman merekomendasikan teknik “lalat di dinding,” di mana Anda membayangkan diri Anda sebagai orang luar yang mengamati situasi yang membuat marah. 

Pendekatan ini membantu kita melihat masalah dari perspektif yang lebih netral. Sebuah studi pada 2019 juga menemukan mencari makna lebih dalam dari situasi yang menjengkelkan (seperti berpikir, “Kadang kita tidak selalu mendapatkan yang kita inginkan”) lebih efektif daripada terjebak pada setiap detail yang memicu amarah.

Meskipun dulu ada anggapan kita sebaiknya “melepaskan” pikiran negatif, kini penelitian menunjukkan menekan pikiran-pikiran tersebut bisa mengurangi intensitasnya. 

Michael Anderson, profesor ilmu saraf kognitif di University of Cambridge, dalam studinya pada 2023 menunjukkan ketika orang mencoba menghindari memikirkan hal-hal yang menakutkan atau menyedihkan, kesehatan mental mereka justru meningkat. 

Meskipun studinya tidak secara spesifik membahas amarah, Anderson percaya prinsip serupa mungkin berlaku. “Dengan memproses, memperluas, dan mendiskusikan sesuatu, Anda berisiko membuat hal itu semakin berkesan dan sulit diatur,” ujarnya. 

Ketika sesuatu tidak terlalu penting atau berada di luar kendali, Anderson menyarankan, “Letakkan masalah itu, biarkan berlalu.”

Dan jangan lupakan dampak marah karena lapar. Jadi, jika Anda merasa ingin curhat, cobalah makan camilan dan menarik napas dalam-dalam. Siapa tahu, itu bisa menjadi solusi sederhana untuk menghindari ledakan emosi yang mungkin akan Anda sesali di kemudian hari.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024