Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman
Data OECD menunjukkan meskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus membuat keseimbangan kerja-hidup
Context.id, JAKARTA - Data terbaru dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan orang Jerman rata-rata hanya bekerja 1.340 jam per tahun jauh di bawah angka 1.800 jam yang dicapai oleh pekerja Indonesia.
Pertanyaan pun muncul: Apakah orang Jerman kini menjadi lebih malas?
Data OECD memang menunjukkan meskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi yang mendukung keseimbangan kerja-hidup berkontribusi pada produktivitas yang tetap tinggi, menantang stigma mereka menjadi lebih malas.
Insa Wrede, peneliti pasar tenaga kerja di Institute for Employment Research (IAB) di Nuremberg, menolak anggapan bahwa pengurangan jam kerja menunjukkan penurunan produktivitas.
“Data ini tidak memberikan gambaran lengkap,” ungkapnya seperti dikutip dari DW.
BACA JUGA
Salah satu faktor penting adalah meningkatnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja Jerman.
Sekitar 77% perempuan di Jerman kini bekerja, meskipun banyak di antaranya berstatus sebagai pekerja paruh waktu. Hal ini secara matematis menurunkan rata-rata jam kerja tahunan.
Sebagai perbandingan, data OECD menunjukkan rata-rata jam kerja di negara-negara anggotanya mencapai 1.683 jam per tahun pada 2023.
Dalam daftar tersebut, Meksiko memimpin dengan 2.207 jam, diikuti oleh Kosta Rika (2.171 jam) dan Chile (1.953 jam).
Sementara itu, negara-negara dengan jam kerja terpendek, seperti Jerman, berpotensi kehilangan makna dari data jam kerja yang rendah.
Salah satu alasan lain untuk rendahnya jam kerja di Jerman adalah adanya regulasi ketat yang mendukung keseimbangan kerja-hidup.
Di negara ini, pekerja tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu, dan mereka berhak atas minimal 20 hari libur tahunan, ditambah dengan cuti berbayar.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko burnout dan memastikan karyawan dapat menikmati hidup di luar pekerjaan.
Namun, keseimbangan kerja dan kehidupan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga pada produktivitas.
Studi dari McKinsey Global Institute mencatat produktivitas Jerman mengalami penurunan dari pertumbuhan tahunan sebesar 1,6% antara 1997 dan 2007, menjadi hanya 0,8% antara 2012 dan 2019.
Dalam konteks ini, kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja-hidup tampaknya menjadi langkah strategis.
Fleksibilitas kelompok Gen Z
Dalam survei IAB, hampir setengah dari perempuan yang bekerja penuh waktu di Jerman ingin mengurangi jam kerja mereka sekitar enam jam per minggu.
Di sisi lain, sekitar 60% pria juga menyatakan keinginan yang sama. Fenomena ini semakin diperkuat dengan masuknya Generasi Z ke dalam pasar tenaga kerja.
Mereka dikenal karena fokus pada keseimbangan hidup dan pekerjaan, serta menginginkan lebih banyak fleksibilitas dalam jam kerja.
Generasi Z sering kali dicap dengan stereotip yang meragukan, seperti keinginan untuk gaji tinggi dan waktu luang yang lebih banyak.
Namun, Wrede menjelaskan meskipun mereka menginginkan fleksibilitas, kebanyakan dari mereka tetap menghargai kesuksesan karier yang sama seperti generasi sebelumnya.
Harus diakui, Jerman kini menghadapi tantangan demografis yang signifikan, dengan proyeksi kehilangan 7 juta pekerja pada tahun 2035 akibat perubahan demografis.
Di tengah kebutuhan akan tenaga kerja terampil, Wrede berpendapat solusi tidak hanya terletak pada peningkatan jam kerja, melainkan juga peningkatan produktivitas. “Tidak ada gunanya memaksakan jam kerja maksimum,” tegasnya.
Sebaliknya, dia menyerukan peningkatan kualitas kerja melalui pelatihan, investasi dalam digitalisasi, dan pengembangan kecerdasan buatan.
Kebijakan kualifikasi proaktif juga diperlukan untuk membantu pekerja beradaptasi dengan perubahan pasar kerja yang cepat.
Bagaimanapun, dengan berbagai aturan yang menjamin keseimbangan hidup, seperti batasan jam kerja dan liburan yang memadai, Jerman telah menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat.
Bisa jadi jam kerja yang lebih sedikit mungkin justru menciptakan pekerja yang lebih bahagia dan produktif.
Keseimbangan kerja dan kehidupan tidak berarti menurunnya produktivitas; sebaliknya, hal ini dapat meningkatkan efektivitas kerja dan mengurangi risiko burnout.
Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas menunjukkan ada lebih banyak cara untuk menilai etos kerja. Apakah dunia siap untuk mengadopsi model ini?
Daftar Negara OECD dengan Jam Kerja Terpanjang 2023
1. Meksiko: 2.207 jam
2. Kosta Rika: 2.171 jam
3. Chile: 1.953 jam
4. Yunani: 1.897 jam
5. Israel: 1.880 jam
6. Korea Selatan: 1.872 jam
7. Kanada: 1.865 jam
8. Polandia: 1.803 jam
9. Amerika Serikat: 1.799 jam
10. Ceko: 1.766 jam
RELATED ARTICLES
Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman
Data OECD menunjukkan meskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus membuat keseimbangan kerja-hidup
Context.id, JAKARTA - Data terbaru dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan orang Jerman rata-rata hanya bekerja 1.340 jam per tahun jauh di bawah angka 1.800 jam yang dicapai oleh pekerja Indonesia.
Pertanyaan pun muncul: Apakah orang Jerman kini menjadi lebih malas?
Data OECD memang menunjukkan meskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi yang mendukung keseimbangan kerja-hidup berkontribusi pada produktivitas yang tetap tinggi, menantang stigma mereka menjadi lebih malas.
Insa Wrede, peneliti pasar tenaga kerja di Institute for Employment Research (IAB) di Nuremberg, menolak anggapan bahwa pengurangan jam kerja menunjukkan penurunan produktivitas.
“Data ini tidak memberikan gambaran lengkap,” ungkapnya seperti dikutip dari DW.
BACA JUGA
Salah satu faktor penting adalah meningkatnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja Jerman.
Sekitar 77% perempuan di Jerman kini bekerja, meskipun banyak di antaranya berstatus sebagai pekerja paruh waktu. Hal ini secara matematis menurunkan rata-rata jam kerja tahunan.
Sebagai perbandingan, data OECD menunjukkan rata-rata jam kerja di negara-negara anggotanya mencapai 1.683 jam per tahun pada 2023.
Dalam daftar tersebut, Meksiko memimpin dengan 2.207 jam, diikuti oleh Kosta Rika (2.171 jam) dan Chile (1.953 jam).
Sementara itu, negara-negara dengan jam kerja terpendek, seperti Jerman, berpotensi kehilangan makna dari data jam kerja yang rendah.
Salah satu alasan lain untuk rendahnya jam kerja di Jerman adalah adanya regulasi ketat yang mendukung keseimbangan kerja-hidup.
Di negara ini, pekerja tidak diperbolehkan bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu, dan mereka berhak atas minimal 20 hari libur tahunan, ditambah dengan cuti berbayar.
Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi risiko burnout dan memastikan karyawan dapat menikmati hidup di luar pekerjaan.
Namun, keseimbangan kerja dan kehidupan ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga pada produktivitas.
Studi dari McKinsey Global Institute mencatat produktivitas Jerman mengalami penurunan dari pertumbuhan tahunan sebesar 1,6% antara 1997 dan 2007, menjadi hanya 0,8% antara 2012 dan 2019.
Dalam konteks ini, kebijakan yang mendukung keseimbangan kerja-hidup tampaknya menjadi langkah strategis.
Fleksibilitas kelompok Gen Z
Dalam survei IAB, hampir setengah dari perempuan yang bekerja penuh waktu di Jerman ingin mengurangi jam kerja mereka sekitar enam jam per minggu.
Di sisi lain, sekitar 60% pria juga menyatakan keinginan yang sama. Fenomena ini semakin diperkuat dengan masuknya Generasi Z ke dalam pasar tenaga kerja.
Mereka dikenal karena fokus pada keseimbangan hidup dan pekerjaan, serta menginginkan lebih banyak fleksibilitas dalam jam kerja.
Generasi Z sering kali dicap dengan stereotip yang meragukan, seperti keinginan untuk gaji tinggi dan waktu luang yang lebih banyak.
Namun, Wrede menjelaskan meskipun mereka menginginkan fleksibilitas, kebanyakan dari mereka tetap menghargai kesuksesan karier yang sama seperti generasi sebelumnya.
Harus diakui, Jerman kini menghadapi tantangan demografis yang signifikan, dengan proyeksi kehilangan 7 juta pekerja pada tahun 2035 akibat perubahan demografis.
Di tengah kebutuhan akan tenaga kerja terampil, Wrede berpendapat solusi tidak hanya terletak pada peningkatan jam kerja, melainkan juga peningkatan produktivitas. “Tidak ada gunanya memaksakan jam kerja maksimum,” tegasnya.
Sebaliknya, dia menyerukan peningkatan kualitas kerja melalui pelatihan, investasi dalam digitalisasi, dan pengembangan kecerdasan buatan.
Kebijakan kualifikasi proaktif juga diperlukan untuk membantu pekerja beradaptasi dengan perubahan pasar kerja yang cepat.
Bagaimanapun, dengan berbagai aturan yang menjamin keseimbangan hidup, seperti batasan jam kerja dan liburan yang memadai, Jerman telah menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat.
Bisa jadi jam kerja yang lebih sedikit mungkin justru menciptakan pekerja yang lebih bahagia dan produktif.
Keseimbangan kerja dan kehidupan tidak berarti menurunnya produktivitas; sebaliknya, hal ini dapat meningkatkan efektivitas kerja dan mengurangi risiko burnout.
Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan produktivitas menunjukkan ada lebih banyak cara untuk menilai etos kerja. Apakah dunia siap untuk mengadopsi model ini?
Daftar Negara OECD dengan Jam Kerja Terpanjang 2023
1. Meksiko: 2.207 jam
2. Kosta Rika: 2.171 jam
3. Chile: 1.953 jam
4. Yunani: 1.897 jam
5. Israel: 1.880 jam
6. Korea Selatan: 1.872 jam
7. Kanada: 1.865 jam
8. Polandia: 1.803 jam
9. Amerika Serikat: 1.799 jam
10. Ceko: 1.766 jam
POPULAR
RELATED ARTICLES