Kecemasan Tidur di Era Digital, Fenomena Sleepmaxxing dan Orthosomnia
Obsesi tidur sempurna justru bisa menambah kecemasan, padahal kualitas tidur lebih tentang perasaan segar dan bugar saat bangun.
Context.id, JAKARTA - Di tengah lonjakan tren kesehatan yang mendominasi media sosial, istilah "sleepmaxxing" telah mencuri perhatian, terutama di kalangan pengguna TikTok.
Fenomena ini merujuk pada upaya untuk mengoptimalkan kualitas tidur melalui berbagai metode yang terkesan inovatif, mulai dari menempelkan mulut saat tidur hingga mengonsumsi suplemen magnesium.
Namun, seberapa efektifkah praktik-praktik ini dalam meningkatkan kualitas tidur kita?
Fokus pada kualitas tidur adalah hal yang sangat penting. Satu dari tiga orang dewasa di Amerika tidak mendapatkan tidur yang cukup,” merujuk pada data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS.
Meski demikian, CDC memperingatkan agar kita tidak terjebak dalam tren yang belum terbukti secara ilmiah.
BACA JUGA
Banyak dari metode ini tidak didukung oleh bukti, bahkan bisa jadi menyesatkan, menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih berbasis sains.
Di sisi lain muncul fenomena orthosomnia, sebuah istilah yang menggambarkan obsesi tidak sehat terhadap tidur yang sempurna, biasanya dipicu oleh penggunaan perangkat pelacak tidur.
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan The Guardian, Katie Fischer, seorang terapis perilaku tidur, menjelaskan bagaimana banyak kliennya merasa tertekan untuk mencapai angka delapan jam tidur.
“Orang yang tidur nyenyak biasanya tidak memikirkan angka. Mereka merasa lelah, tidur, dan bangun segar,” ujarnya, menyoroti bagaimana kecemasan ini sering kali menjadi penghalang untuk tidur yang berkualitas.
Dengan berbagai aplikasi dan perangkat pelacak tidur yang terus berkembang, muncul kecemasan baru yang meresahkan.
Ollie Matthews, seorang pelatih kesehatan, mengakui bahwa ia pernah terjebak dalam obsesinya terhadap data yang ditunjukkan oleh pelacak tidur.
“Dulu, saya akan memeriksa data tidur setiap pagi. Jika skor saya rendah, saya akan panik,” ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu, pada akhirnnya banyak yang menyadari dan belajar untuk lebih mendengarkan tubuhnya daripada terjebak dalam angka-angka. Tubuh kita mempunyai mekanismenya sendiri dan tahu apa yang dibutuhkannya.
Ketidakpastian data tidur
Neil Stanley, seorang peneliti tidur yang meneliti soal kesehatan tidur selama 42 tahun mengatakan pelacak tidur hanya dapat memberikan gambaran kasar tentang berapa lama kita tidur.
Dia menekankan untuk mengetahui dengan akurat jenis tidur yang kita alami perlu memantau aktivitas otak dan banyak klaim tentang akurasi pelacak ini dipertanyakan.
Ini menyadarkan kita meskipun teknologi telah berkembang, pemahaman tentang tidur masih memerlukan lebih dari sekadar data.
Semua teknologi dan data ini, penting untuk menyadari bahwa kualitas tidur tidak selalu terukur dengan angka.
Fischer dan Stanley sepakat tidur yang baik lebih tentang bagaimana kita merasa sudah cukup tidur setiap harinya.
Akhirnya, di tengah semua kecemasan yang diakibatkan oleh pelacak tidur dan obsesi terhadap tidur yang sempurna, kita mungkin perlu kembali ke dasar: mendengarkan tubuh kita.
Tidur yang berkualitas tidak datang dari angka-angka, tetapi dari kebiasaan sehat dan perhatian terhadap kebutuhan tubuh kita.
Saat kita mengalihkan fokus dari angka ke perasaan, kita mungkin akan menemukan bahwa tidur yang baik lebih mudah dijangkau daripada yang kita duga.
Dalam dunia yang semakin terhubung dan penuh informasi, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan. Tidur yang nyenyak bukan hanya tentang mencapai skor tinggi di aplikasi atau mengikuti tren terbaru.
Ini adalah tentang memberi perhatian pada kebutuhan dasar tubuh dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan fisik kita.
Memahami tidur adalah proses yang kompleks, kita dapat mulai merangkul keindahan dari tidur yang berkualitas tanpa tekanan untuk menjadi sempurna.
RELATED ARTICLES
Kecemasan Tidur di Era Digital, Fenomena Sleepmaxxing dan Orthosomnia
Obsesi tidur sempurna justru bisa menambah kecemasan, padahal kualitas tidur lebih tentang perasaan segar dan bugar saat bangun.
Context.id, JAKARTA - Di tengah lonjakan tren kesehatan yang mendominasi media sosial, istilah "sleepmaxxing" telah mencuri perhatian, terutama di kalangan pengguna TikTok.
Fenomena ini merujuk pada upaya untuk mengoptimalkan kualitas tidur melalui berbagai metode yang terkesan inovatif, mulai dari menempelkan mulut saat tidur hingga mengonsumsi suplemen magnesium.
Namun, seberapa efektifkah praktik-praktik ini dalam meningkatkan kualitas tidur kita?
Fokus pada kualitas tidur adalah hal yang sangat penting. Satu dari tiga orang dewasa di Amerika tidak mendapatkan tidur yang cukup,” merujuk pada data dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS.
Meski demikian, CDC memperingatkan agar kita tidak terjebak dalam tren yang belum terbukti secara ilmiah.
BACA JUGA
Banyak dari metode ini tidak didukung oleh bukti, bahkan bisa jadi menyesatkan, menyoroti pentingnya pendekatan yang lebih berbasis sains.
Di sisi lain muncul fenomena orthosomnia, sebuah istilah yang menggambarkan obsesi tidak sehat terhadap tidur yang sempurna, biasanya dipicu oleh penggunaan perangkat pelacak tidur.
Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan The Guardian, Katie Fischer, seorang terapis perilaku tidur, menjelaskan bagaimana banyak kliennya merasa tertekan untuk mencapai angka delapan jam tidur.
“Orang yang tidur nyenyak biasanya tidak memikirkan angka. Mereka merasa lelah, tidur, dan bangun segar,” ujarnya, menyoroti bagaimana kecemasan ini sering kali menjadi penghalang untuk tidur yang berkualitas.
Dengan berbagai aplikasi dan perangkat pelacak tidur yang terus berkembang, muncul kecemasan baru yang meresahkan.
Ollie Matthews, seorang pelatih kesehatan, mengakui bahwa ia pernah terjebak dalam obsesinya terhadap data yang ditunjukkan oleh pelacak tidur.
“Dulu, saya akan memeriksa data tidur setiap pagi. Jika skor saya rendah, saya akan panik,” ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu, pada akhirnnya banyak yang menyadari dan belajar untuk lebih mendengarkan tubuhnya daripada terjebak dalam angka-angka. Tubuh kita mempunyai mekanismenya sendiri dan tahu apa yang dibutuhkannya.
Ketidakpastian data tidur
Neil Stanley, seorang peneliti tidur yang meneliti soal kesehatan tidur selama 42 tahun mengatakan pelacak tidur hanya dapat memberikan gambaran kasar tentang berapa lama kita tidur.
Dia menekankan untuk mengetahui dengan akurat jenis tidur yang kita alami perlu memantau aktivitas otak dan banyak klaim tentang akurasi pelacak ini dipertanyakan.
Ini menyadarkan kita meskipun teknologi telah berkembang, pemahaman tentang tidur masih memerlukan lebih dari sekadar data.
Semua teknologi dan data ini, penting untuk menyadari bahwa kualitas tidur tidak selalu terukur dengan angka.
Fischer dan Stanley sepakat tidur yang baik lebih tentang bagaimana kita merasa sudah cukup tidur setiap harinya.
Akhirnya, di tengah semua kecemasan yang diakibatkan oleh pelacak tidur dan obsesi terhadap tidur yang sempurna, kita mungkin perlu kembali ke dasar: mendengarkan tubuh kita.
Tidur yang berkualitas tidak datang dari angka-angka, tetapi dari kebiasaan sehat dan perhatian terhadap kebutuhan tubuh kita.
Saat kita mengalihkan fokus dari angka ke perasaan, kita mungkin akan menemukan bahwa tidur yang baik lebih mudah dijangkau daripada yang kita duga.
Dalam dunia yang semakin terhubung dan penuh informasi, penting bagi kita untuk menjaga keseimbangan. Tidur yang nyenyak bukan hanya tentang mencapai skor tinggi di aplikasi atau mengikuti tren terbaru.
Ini adalah tentang memberi perhatian pada kebutuhan dasar tubuh dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan fisik kita.
Memahami tidur adalah proses yang kompleks, kita dapat mulai merangkul keindahan dari tidur yang berkualitas tanpa tekanan untuk menjadi sempurna.
POPULAR
RELATED ARTICLES