Share

Stories 19 Oktober 2024

Hidup di Tengah Krisis. Bagaimana Tingginya Biaya Hidup di Gaza?

Warga Gaza menghadapi lonjakan harga makanan dan kesulitan hidup akibat konflik berkepanjangan.

Ilustrasi kelaparan di gaza/NPC

Context.id, JAKARTA - Di bawah langit kelabu yang sering dipenuhi suara sirene dan getaran ledakan, warga Gaza berjuang melawan gelombang kesengsaraan yang terus menerus.

Konteks konflik yang berkepanjangan telah mengubah wilayah ini menjadi tempat di mana kebutuhan dasar pun menjadi barang langka. 

Biaya hidup di Gaza semakin meningkat, memaksa banyak keluarga ke dalam siklus kemiskinan yang tak berujung.

Menurut laporan Al Jazeera, harga barang-barang pokok seperti roti, sayuran, dan minyak goreng telah melonjak hingga lebih dari 200 persen dalam beberapa bulan terakhir.

Dalam pasar yang semrawut, Fatima, seorang ibu berusia 34 tahun dengan tiga anak, berdiri di depan kios sayuran dengan ekspresi cemas. 



“Dulu, saya bisa membeli satu paket roti dengan satu shekel. Sekarang, saya harus membayar tiga shekel untuk jumlah yang sama. Kami tidak bisa makan dengan baik lagi,” keluhnya. 

Rasa lapar menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dengan banyak keluarga terpaksa mengurangi porsi makanan.

Fatima menambahkan mereka sering hanya makan satu kali sehari, dan itu pun hanya untuk anak-anak.

Makanan yang terjangkau kini menjadi barang mewah. Di pasar yang dipenuhi pengunjung yang tampak lesu, penjual makanan menyaksikan penurunan pelanggan.

Ibrahim, seorang pedagang sayuran, mengatakan pendapatannya  turun lebih dari setengah. Ketika harga bahan baku naik, dirinya terpaksa menaikkan harga jual, tetapi pelanggan semakin sedikit. 

Dengan banyak toko yang tutup, ketidakpastian semakin menyelimuti perekonomian lokal. Suasana suram ini mencerminkan krisis yang lebih besar—sistem perekonomian Gaza berada di ambang kehancuran.

Namun, keinginan untuk meninggalkan Gaza tidak dapat dipisahkan dari kenyataan pahit yang dihadapi penduduknya.

Laporan dari New Lines Magazine mencatat bahwa, meskipun banyak warga bermimpi untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar, biaya untuk meninggalkan wilayah ini sering kali tidak terjangkau.

Ahmad, seorang pemuda berusia 22 tahun yang bercita-cita untuk bekerja di luar negeri, berbagi pengalamannya. 

“Saya ingin pergi mencari pekerjaan di luar, tetapi saya tidak punya uang untuk tiket. Meskipun saya tahu kondisi di sini sangat buruk, saya merasa terjebak,” katanya dengan nada putus asa.

Banyak yang berusaha mencari jalan keluar tetapi dihadapkan pada kendala administratif dan finansial yang membuat mereka terjebak dalam ketidakpastian.

Dampak dari krisis ini tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak, yang menjadi korban utama situasi yang semakin memburuk. BBC melaporkan banyak anak di Gaza mengalami kekurangan gizi.

Dalam beberapa kasus, sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar kini berfungsi sebagai tempat berlindung bagi mereka yang kehilangan rumah. 

“Anak-anak datang ke sekolah dengan perut kosong. Mereka sulit berkonsentrasi dan sering kali merasa lelah,” ungkap seorang guru di salah satu sekolah. Kondisi ini membuat masa depan generasi muda Gaza semakin suram. 

“Kami hanya bisa berharap bahwa keadaan akan membaik,” tambahnya, menggarisbawahi kepedihan yang dirasakan oleh banyak pendidik.

Organisasi kemanusiaan di lapangan berjuang untuk memberikan bantuan kepada mereka yang paling membutuhkan, tetapi mereka juga menghadapi tantangan besar.

Dengan terbatasnya akses dan meningkatnya permintaan, banyak bantuan yang tidak mencukupi untuk menjangkau semua yang membutuhkan. 

“Kami melakukan yang terbaik untuk membantu, tetapi situasinya sangat kritis,” kata seorang pekerja kemanusiaan yang terlibat dalam distribusi makanan. 

Keterbatasan sumber daya dan hambatan politik sering kali membuat upaya bantuan menjadi tidak efektif, meninggalkan banyak keluarga tanpa dukungan yang mereka butuhkan.

Di tengah semua kesulitan ini, warga Gaza menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Masyarakat saling membantu, berbagi makanan dan sumber daya.

Di lingkungan yang kumuh, mereka menemukan cara untuk mendukung satu sama lain, meskipun sedikit yang mereka miliki. 

“Kami berbagi apa yang ada, karena kami tahu bahwa setiap orang sedang berjuang,” kata Ahmad, seorang tetangga Fatima.

Harapan akan perdamaian dan kehidupan yang lebih baik tetap ada, meskipun jalan yang harus dilalui tampak sangat panjang dan berliku.

Dalam pandangan internasional, situasi di Gaza sering kali dipandang sebagai masalah politik dan militer. Namun, bagi penduduknya, ini adalah tentang bertahan hidup.

Setiap hari mereka menghadapi tantangan baru, dari keputusan untuk membeli makanan hingga mencari cara untuk mendukung keluarga mereka. 

Sementara dunia menyaksikan dari jauh, suara dan harapan warga Gaza terus bergema. Mereka berjuang untuk hidup, untuk masa depan anak-anak mereka, dan untuk kesempatan meraih kehidupan yang lebih baik di tengah semua kesulitan ini.

Dalam akhir cerita ini, harapan menjadi satu-satunya hal yang tersisa di tengah gelapnya realitas. “Kami hanya ingin hidup dengan damai,” kata Fatima, menggambarkan harapan yang bersinar meski redup di tengah kegelapan. 

Bagi banyak orang di Gaza, harapan adalah cahaya di ujung terowongan yang panjang dan gelap.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 19 Oktober 2024

Hidup di Tengah Krisis. Bagaimana Tingginya Biaya Hidup di Gaza?

Warga Gaza menghadapi lonjakan harga makanan dan kesulitan hidup akibat konflik berkepanjangan.

Ilustrasi kelaparan di gaza/NPC

Context.id, JAKARTA - Di bawah langit kelabu yang sering dipenuhi suara sirene dan getaran ledakan, warga Gaza berjuang melawan gelombang kesengsaraan yang terus menerus.

Konteks konflik yang berkepanjangan telah mengubah wilayah ini menjadi tempat di mana kebutuhan dasar pun menjadi barang langka. 

Biaya hidup di Gaza semakin meningkat, memaksa banyak keluarga ke dalam siklus kemiskinan yang tak berujung.

Menurut laporan Al Jazeera, harga barang-barang pokok seperti roti, sayuran, dan minyak goreng telah melonjak hingga lebih dari 200 persen dalam beberapa bulan terakhir.

Dalam pasar yang semrawut, Fatima, seorang ibu berusia 34 tahun dengan tiga anak, berdiri di depan kios sayuran dengan ekspresi cemas. 



“Dulu, saya bisa membeli satu paket roti dengan satu shekel. Sekarang, saya harus membayar tiga shekel untuk jumlah yang sama. Kami tidak bisa makan dengan baik lagi,” keluhnya. 

Rasa lapar menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dengan banyak keluarga terpaksa mengurangi porsi makanan.

Fatima menambahkan mereka sering hanya makan satu kali sehari, dan itu pun hanya untuk anak-anak.

Makanan yang terjangkau kini menjadi barang mewah. Di pasar yang dipenuhi pengunjung yang tampak lesu, penjual makanan menyaksikan penurunan pelanggan.

Ibrahim, seorang pedagang sayuran, mengatakan pendapatannya  turun lebih dari setengah. Ketika harga bahan baku naik, dirinya terpaksa menaikkan harga jual, tetapi pelanggan semakin sedikit. 

Dengan banyak toko yang tutup, ketidakpastian semakin menyelimuti perekonomian lokal. Suasana suram ini mencerminkan krisis yang lebih besar—sistem perekonomian Gaza berada di ambang kehancuran.

Namun, keinginan untuk meninggalkan Gaza tidak dapat dipisahkan dari kenyataan pahit yang dihadapi penduduknya.

Laporan dari New Lines Magazine mencatat bahwa, meskipun banyak warga bermimpi untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar, biaya untuk meninggalkan wilayah ini sering kali tidak terjangkau.

Ahmad, seorang pemuda berusia 22 tahun yang bercita-cita untuk bekerja di luar negeri, berbagi pengalamannya. 

“Saya ingin pergi mencari pekerjaan di luar, tetapi saya tidak punya uang untuk tiket. Meskipun saya tahu kondisi di sini sangat buruk, saya merasa terjebak,” katanya dengan nada putus asa.

Banyak yang berusaha mencari jalan keluar tetapi dihadapkan pada kendala administratif dan finansial yang membuat mereka terjebak dalam ketidakpastian.

Dampak dari krisis ini tidak hanya dirasakan oleh orang dewasa, tetapi juga anak-anak, yang menjadi korban utama situasi yang semakin memburuk. BBC melaporkan banyak anak di Gaza mengalami kekurangan gizi.

Dalam beberapa kasus, sekolah-sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar kini berfungsi sebagai tempat berlindung bagi mereka yang kehilangan rumah. 

“Anak-anak datang ke sekolah dengan perut kosong. Mereka sulit berkonsentrasi dan sering kali merasa lelah,” ungkap seorang guru di salah satu sekolah. Kondisi ini membuat masa depan generasi muda Gaza semakin suram. 

“Kami hanya bisa berharap bahwa keadaan akan membaik,” tambahnya, menggarisbawahi kepedihan yang dirasakan oleh banyak pendidik.

Organisasi kemanusiaan di lapangan berjuang untuk memberikan bantuan kepada mereka yang paling membutuhkan, tetapi mereka juga menghadapi tantangan besar.

Dengan terbatasnya akses dan meningkatnya permintaan, banyak bantuan yang tidak mencukupi untuk menjangkau semua yang membutuhkan. 

“Kami melakukan yang terbaik untuk membantu, tetapi situasinya sangat kritis,” kata seorang pekerja kemanusiaan yang terlibat dalam distribusi makanan. 

Keterbatasan sumber daya dan hambatan politik sering kali membuat upaya bantuan menjadi tidak efektif, meninggalkan banyak keluarga tanpa dukungan yang mereka butuhkan.

Di tengah semua kesulitan ini, warga Gaza menunjukkan ketahanan yang luar biasa. Masyarakat saling membantu, berbagi makanan dan sumber daya.

Di lingkungan yang kumuh, mereka menemukan cara untuk mendukung satu sama lain, meskipun sedikit yang mereka miliki. 

“Kami berbagi apa yang ada, karena kami tahu bahwa setiap orang sedang berjuang,” kata Ahmad, seorang tetangga Fatima.

Harapan akan perdamaian dan kehidupan yang lebih baik tetap ada, meskipun jalan yang harus dilalui tampak sangat panjang dan berliku.

Dalam pandangan internasional, situasi di Gaza sering kali dipandang sebagai masalah politik dan militer. Namun, bagi penduduknya, ini adalah tentang bertahan hidup.

Setiap hari mereka menghadapi tantangan baru, dari keputusan untuk membeli makanan hingga mencari cara untuk mendukung keluarga mereka. 

Sementara dunia menyaksikan dari jauh, suara dan harapan warga Gaza terus bergema. Mereka berjuang untuk hidup, untuk masa depan anak-anak mereka, dan untuk kesempatan meraih kehidupan yang lebih baik di tengah semua kesulitan ini.

Dalam akhir cerita ini, harapan menjadi satu-satunya hal yang tersisa di tengah gelapnya realitas. “Kami hanya ingin hidup dengan damai,” kata Fatima, menggambarkan harapan yang bersinar meski redup di tengah kegelapan. 

Bagi banyak orang di Gaza, harapan adalah cahaya di ujung terowongan yang panjang dan gelap.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024