Share

Stories 14 Oktober 2024

Genosida di Gaza, Apa yang Bisa Dipelajari dari Pemikiran Edward Said?

Edward Said menekankan pentingnya mendengarkan suara terpinggirkan dan konteks sejarah dalam konflik Gaza dan Timur Tengah

Edward Said ikut melempar batu ke tentara Israel/Foreign Policy

Context.id, JAKARTA - Sejak serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober 2023, Gaza kembali menjadi sorotan dunia. Lebih dari 33.000 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan militer Israel, situasi ini menimbulkan keprihatinan mendalam. 

Dalam menghadapi tragedi ini, penting untuk merujuk pada pemikiran Edward Said, seorang intelektual kelahiran Palestina yang telah mengubah cara kita memahami hubungan antara Barat dan Timur, serta permasalahan yang berkaitan dengan Palestina.

Dalam laporan New Arab, pembantaian yang terjadi di Gaza dilihat dalam kerangka narasi yang sering kali mendistorsi penderitaan rakyat Palestina. Media Barat, misalnya, lebih menyoroti korban di pihak Israel—sekitar 1.200 jiwa—sementara penderitaan warga Gaza sering kali terabaikan. 

Edward yang lahir di Yerussalem dan lulus dari Universitas Princeton dan Harvard adalah seorang sarjana yang menulis buku Orientalism (1978), buku yang mengubah lanskap kritik budaya, meluncurkan bidang studi baru seperti studi pascakolonial dan menantang representasi Barat terhadap masyarakat non-Barat.

Edward Said menekankan narasi sejarah sering digunakan untuk membenarkan penindasan dan kekerasan. Ia berargumen penting untuk memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan, dalam hal ini suara rakyat Palestina yang terus-menerus berada di bawah ancaman.



Said juga mengkritik bagaimana penggambaran Palestina di media sering kali simplistik dan stereotipikal. Konteks saat ini, kita perlu memeriksa bagaimana narasi-narasi ini terus mempengaruhi persepsi publik dan kebijakan internasional terhadap konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun. 

Dalam analisisnya, Said menunjukkan pemahaman yang lebih mendalam dan berempati terhadap pengalaman kolektif rakyat Palestina sangat penting untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Tudingan Antisemit
Laporan The Guardian memperlihatkan bagaimana solidaritas terhadap Palestina sering kali disalahartikan sebagai antisemitisme. Demonstrasi pro-Palestina sering dihadapi dengan reaksi keras, menciptakan stigma dukungan terhadap keadilan bagi Palestina dianggap sebagai tindakan yang salah. 

Sejarawan Enzo Traverso, dalam artikelnya di Jacobin, menekankan ketika sejarah diabaikan, kita kehilangan kesempatan untuk memahami kompleksitas konflik ini. Traverso mengingatkan kita penghapusan konteks historis hanya akan mengarah pada solusi yang dangkal dan tidak efektif.

Edward Said juga berbicara tentang "yang tertindas," sebuah konsep yang mencerminkan pengalaman kolektif rakyat Palestina yang telah mengalami penindasan sistematis selama puluhan tahun. 

Serangan Hamas, meskipun tidak bisa dibenarkan, merupakan respons terhadap kondisi yang telah berlangsung lama. Dalam pandangannya, Said mengingatkan kita kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang tertindas sering kali adalah reaksi terhadap kekerasan yang lebih besar yang mereka alami. 

Konsep ini menjadi sangat relevan dalam memahami konteks serangan pada 7 Oktober, yang tidak terlepas dari sejarah panjang ketidakadilan.

Dalam konteks ini, kita juga melihat bagaimana serangan Israel terhadap Gaza dalam bentuk serangan udara yang masif bukan hanya menghancurkan infrastruktur fisik, tetapi juga menghancurkan kehidupan dan harapan. Ratusan ribu orang terpaksa mengungsi, dan situasi kemanusiaan menjadi semakin parah. 

Seiring dengan meningkatnya tekanan internasional untuk menemukan solusi, gagasan dua negara mulai mendapatkan perhatian. Saat solusi dua negara tampak semakin tidak mungkin, banyak yang berargumen bahwa pengakuan terhadap hak-hak semua warga di tanah tersebut adalah langkah yang diperlukan.

Narasi berbeda
Edward Said mengajarkan kita pentingnya mendengarkan narasi yang berbeda. Suara rakyat Palestina, yang sering kali terpinggirkan dalam diskusi ini, tidak boleh diabaikan. 

Mengabaikan mereka hanya akan memperburuk situasi dan memperpanjang konflik. Di dunia yang semakin terhubung, kita tidak bisa lagi berpura-pura masalah ini hanya melibatkan dua pihak. Kemanusiaan kita dipertaruhkan dalam respons kita terhadap tragedi ini.

Said juga menekankan pentingnya konteks dalam memahami konflik. Masyarakat internasional sering kali gagal melihat keseluruhan gambaran, terjebak dalam narasi yang sempit. 

Pada konteks ini, kita diingatkan untuk tidak hanya fokus pada tindakan kekerasan, tetapi juga pada akar permasalahan yang menciptakan kondisi tersebut. 

Konsep "Orientalisme" yang dicanangkan Said menjadi alat kritis dalam meneliti bagaimana narasi yang dibangun sering kali berfungsi untuk memperkuat kekuasaan dan menindas.

Masa depan tidak hanya dipertaruhkan bagi Israel, tetapi juga bagi rakyat Palestina yang telah lama menderita. Untuk menghadapi tantangan global yang kompleks, penting bagi kita untuk mendengarkan semua suara, belajar dari sejarah, dan mencari jalan menuju keadilan yang berkelanjutan. 

Jika terus menggunakan ingatan sejarah untuk membenarkan tindakan brutal, hanya akan menambah penderitaan dan merusak budaya demokrasi yang seharusnya kita lindungi. 

Oleh karena itu, kita harus berkomitmen untuk menciptakan ruang bagi semua yang terlibat untuk hidup dalam damai dan saling menghormati, serta memastikan tragedi semacam ini tidak terulang lagi di masa depan.

Edward Said mengingatkan untuk mencapai keadilan, kita harus berani menghadapi kenyataan pahit dari sejarah dan berkomitmen untuk mendengarkan mereka yang telah terpinggirkan. 

Dengan mengambil pelajaran dari pemikiran Said, kita dapat bergerak menuju pendekatan yang lebih manusiawi dan inklusif dalam menangani konflik ini, sebuah langkah penting dalam upaya membangun perdamaian yang langgeng di tanah yang bersejarah ini.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 14 Oktober 2024

Genosida di Gaza, Apa yang Bisa Dipelajari dari Pemikiran Edward Said?

Edward Said menekankan pentingnya mendengarkan suara terpinggirkan dan konteks sejarah dalam konflik Gaza dan Timur Tengah

Edward Said ikut melempar batu ke tentara Israel/Foreign Policy

Context.id, JAKARTA - Sejak serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober 2023, Gaza kembali menjadi sorotan dunia. Lebih dari 33.000 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan militer Israel, situasi ini menimbulkan keprihatinan mendalam. 

Dalam menghadapi tragedi ini, penting untuk merujuk pada pemikiran Edward Said, seorang intelektual kelahiran Palestina yang telah mengubah cara kita memahami hubungan antara Barat dan Timur, serta permasalahan yang berkaitan dengan Palestina.

Dalam laporan New Arab, pembantaian yang terjadi di Gaza dilihat dalam kerangka narasi yang sering kali mendistorsi penderitaan rakyat Palestina. Media Barat, misalnya, lebih menyoroti korban di pihak Israel—sekitar 1.200 jiwa—sementara penderitaan warga Gaza sering kali terabaikan. 

Edward yang lahir di Yerussalem dan lulus dari Universitas Princeton dan Harvard adalah seorang sarjana yang menulis buku Orientalism (1978), buku yang mengubah lanskap kritik budaya, meluncurkan bidang studi baru seperti studi pascakolonial dan menantang representasi Barat terhadap masyarakat non-Barat.

Edward Said menekankan narasi sejarah sering digunakan untuk membenarkan penindasan dan kekerasan. Ia berargumen penting untuk memberikan suara kepada mereka yang terpinggirkan, dalam hal ini suara rakyat Palestina yang terus-menerus berada di bawah ancaman.



Said juga mengkritik bagaimana penggambaran Palestina di media sering kali simplistik dan stereotipikal. Konteks saat ini, kita perlu memeriksa bagaimana narasi-narasi ini terus mempengaruhi persepsi publik dan kebijakan internasional terhadap konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun. 

Dalam analisisnya, Said menunjukkan pemahaman yang lebih mendalam dan berempati terhadap pengalaman kolektif rakyat Palestina sangat penting untuk menciptakan solusi yang adil dan berkelanjutan.

Tudingan Antisemit
Laporan The Guardian memperlihatkan bagaimana solidaritas terhadap Palestina sering kali disalahartikan sebagai antisemitisme. Demonstrasi pro-Palestina sering dihadapi dengan reaksi keras, menciptakan stigma dukungan terhadap keadilan bagi Palestina dianggap sebagai tindakan yang salah. 

Sejarawan Enzo Traverso, dalam artikelnya di Jacobin, menekankan ketika sejarah diabaikan, kita kehilangan kesempatan untuk memahami kompleksitas konflik ini. Traverso mengingatkan kita penghapusan konteks historis hanya akan mengarah pada solusi yang dangkal dan tidak efektif.

Edward Said juga berbicara tentang "yang tertindas," sebuah konsep yang mencerminkan pengalaman kolektif rakyat Palestina yang telah mengalami penindasan sistematis selama puluhan tahun. 

Serangan Hamas, meskipun tidak bisa dibenarkan, merupakan respons terhadap kondisi yang telah berlangsung lama. Dalam pandangannya, Said mengingatkan kita kekerasan yang dilakukan oleh mereka yang tertindas sering kali adalah reaksi terhadap kekerasan yang lebih besar yang mereka alami. 

Konsep ini menjadi sangat relevan dalam memahami konteks serangan pada 7 Oktober, yang tidak terlepas dari sejarah panjang ketidakadilan.

Dalam konteks ini, kita juga melihat bagaimana serangan Israel terhadap Gaza dalam bentuk serangan udara yang masif bukan hanya menghancurkan infrastruktur fisik, tetapi juga menghancurkan kehidupan dan harapan. Ratusan ribu orang terpaksa mengungsi, dan situasi kemanusiaan menjadi semakin parah. 

Seiring dengan meningkatnya tekanan internasional untuk menemukan solusi, gagasan dua negara mulai mendapatkan perhatian. Saat solusi dua negara tampak semakin tidak mungkin, banyak yang berargumen bahwa pengakuan terhadap hak-hak semua warga di tanah tersebut adalah langkah yang diperlukan.

Narasi berbeda
Edward Said mengajarkan kita pentingnya mendengarkan narasi yang berbeda. Suara rakyat Palestina, yang sering kali terpinggirkan dalam diskusi ini, tidak boleh diabaikan. 

Mengabaikan mereka hanya akan memperburuk situasi dan memperpanjang konflik. Di dunia yang semakin terhubung, kita tidak bisa lagi berpura-pura masalah ini hanya melibatkan dua pihak. Kemanusiaan kita dipertaruhkan dalam respons kita terhadap tragedi ini.

Said juga menekankan pentingnya konteks dalam memahami konflik. Masyarakat internasional sering kali gagal melihat keseluruhan gambaran, terjebak dalam narasi yang sempit. 

Pada konteks ini, kita diingatkan untuk tidak hanya fokus pada tindakan kekerasan, tetapi juga pada akar permasalahan yang menciptakan kondisi tersebut. 

Konsep "Orientalisme" yang dicanangkan Said menjadi alat kritis dalam meneliti bagaimana narasi yang dibangun sering kali berfungsi untuk memperkuat kekuasaan dan menindas.

Masa depan tidak hanya dipertaruhkan bagi Israel, tetapi juga bagi rakyat Palestina yang telah lama menderita. Untuk menghadapi tantangan global yang kompleks, penting bagi kita untuk mendengarkan semua suara, belajar dari sejarah, dan mencari jalan menuju keadilan yang berkelanjutan. 

Jika terus menggunakan ingatan sejarah untuk membenarkan tindakan brutal, hanya akan menambah penderitaan dan merusak budaya demokrasi yang seharusnya kita lindungi. 

Oleh karena itu, kita harus berkomitmen untuk menciptakan ruang bagi semua yang terlibat untuk hidup dalam damai dan saling menghormati, serta memastikan tragedi semacam ini tidak terulang lagi di masa depan.

Edward Said mengingatkan untuk mencapai keadilan, kita harus berani menghadapi kenyataan pahit dari sejarah dan berkomitmen untuk mendengarkan mereka yang telah terpinggirkan. 

Dengan mengambil pelajaran dari pemikiran Said, kita dapat bergerak menuju pendekatan yang lebih manusiawi dan inklusif dalam menangani konflik ini, sebuah langkah penting dalam upaya membangun perdamaian yang langgeng di tanah yang bersejarah ini.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024