Bagaimana Bambu Jadi Solusi Pangan dan Konstruksi Berkelanjutan?
Bambu muncul sebagai solusi berkelanjutan untuk tantangan konstruksi dan ketahanan pangan di tengah perubahan iklim
Context.id, JAKARTA- Di tengah tantangan global akibat perubahan iklim dan bencana alam yang semakin sering terjadi, penggunaan bambu sebagai bahan bangunan semakin mendapat perhatian di seluruh dunia.
Salah satu tokoh terkemuka dalam gerakan ini adalah Yasmeen Lari, arsitek asal Pakistan yang telah mengalihkan fokusnya dari desain megah ke penggunaan bambu untuk membangun kembali masyarakat yang terkena bencana.
Laporan dari Washington Post, Lari menggambarkan bagaimana bambu telah menjadi solusi inovatif di kamp pengungsian di Lembah Swat, Pakistan, setelah banjir terburuk dalam sejarah negara itu.
Selama lebih dari empat dekade, Lari merancang bangunan dari berbagai material konvensional seperti beton dan baja. Namun, pengalamannya di Lembah Swat, di mana warga setempat berjuang untuk mendapatkan batu bata dan kayu untuk membangun dapur umum, mengubah penampilannya.
“Mari kita gunakan bambu,” kenangnya, Merujuk pada penggunaan bambu untuk membangun rumah tahan banjir bagi pengungsi.
BACA JUGA
Dalam dekade terakhir, yayasannya, Heritage Foundation of Pakistan, telah membangun sekitar 85.000 bangunan yang semuanya selamat dari bencana.
“Negara ini tidak mampu menghadirkan kemewahan,” tegas Lari. Dengan sifatnya yang kuat, cepat tumbuh, dan mampu menyimpan karbon, bambu menjadi pilihan yang ideal untuk pembangunan berkelanjutan.
Namun tantangan tetap ada di negara-negara seperti Pakistan yang menghadapi dampak perubahan iklim paling parah meskipun hanya menghasilkan sebagian kecil karbon dunia. Lari kini berencana membangun lebih banyak rumah bambu, dengan target satu juta unit.
“Ini bukan tempat perlindungan darurat, tapi rumah tahan bencana,” ujarnya.
Sementara Brock University juga menyoroti penelitian yang dilakukan oleh Profesor Amir Mofidi mengenai potensi bambu sebagai alternatif konstruksi yang ramah lingkungan.
Mofidi mengembangkan rekayasa bambu sebagai bahan yang lebih kuat dan tahan lama, serta cocok untuk berbagai kebutuhan konstruksi.
Dengan pendanaan dari Hibah Penemuan Dewan Penelitian Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknik (NSERC) Pemerintah Kanada, Mofidi menggunakan teknik canggih untuk menciptakan bentuk baru bambu rekayasa yang lebih efisien.
“Industri konstruksi bergerak cepat, jadi penting untuk melakukan inovasi pada rantai pasokan,” ungkapnya.
Sementara itu, di Bali, penggunaan bambu telah mencapai puncaknya dengan proyek-proyek inovatif seperti Sekolah Hijau yang dirancang oleh studio arsitektur Ibuku. Laporan dari BBC menyebutkan bangunan tersebut, terbuat dari 12,4 ton bambu, menunjukkan kekuatan dan keserbagunaan bambu dalam konstruksi.
Bangunan yang menarik perhatian ini tidak hanya menawarkan solusi untuk mengurangi jejak karbon, tetapi juga menciptakan ruang yang estetis dan fungsional.
Elora Hardy, arsitek di balik proyek ini, adalah salah satu pionir dalam mengintegrasikan bambu ke dalam desain arsitektur modern di Bali. Dengan memanfaatkan kemampuan bambu untuk dibentuk, Hardy menciptakan bangunan yang tidak hanya berkelanjutan tetapi juga selaras dengan lingkungan sekitar.
“Bambu merupakan bahan yang sangat lentur,” katanya, menunjukkan potensi besar material ini dalam arsitektur.
Namun, meskipun penggunaan bambu semakin populer, perlawanannya tetap ada. Di Eropa dan Amerika, masih terdapat kekhawatiran mengenai penerimaan bambu sebagai bahan bangunan utama.
Christopher Matthews, seorang insinyur struktur yang terlibat dalam proyek Sekolah Hijau di Bali, mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya pemahaman tentang cara merekayasa bambu.
“Kami harus mengujinya. Kami ada di sana, mengisinya dengan karung pasir untuk membuktikan seberapa kuatnya,” jelas Matthews.
Dengan segala potensi yang dimiliki, bambu juga menawarkan keuntungan tambahan sebagai sumber pangan. Tunas bambu, yang dikenal sebagai makanan bergizi, kaya protein, dan rendah kalori, menjadi pilihan menarik di tengah tantangan perubahan iklim.
Mengandung serat yang tinggi, tuna bambu dapat digunakan dalam berbagai hidangan, mulai dari sup hingga tumisan. Keberadaan tanaman ini yang cepat tumbuh dan dapat beradaptasi dengan kondisi iklim yang beragam menjadikannya sumber pangan yang ideal.
Bambu tidak hanya menawarkan solusi dalam konstruksi, tetapi juga berpotensi menjadi bagian penting dari ketahanan pangan di masa depan.
Penggunaan bambu dalam arsitektur dan sebagai sumber makanan yang ditunjukkan melalui kolaborasi antara inovasi, pengetahuan lokal, dan keinginan, bambu dapat menjadi solusi bagi tantangan infrastruktur dan pangan global.
Dalam dunia yang terus berubah, materi ini menawarkan harapan baru bagi banyak orang, menunjukkan solusi untuk tantangan terbesar kita mungkin terletak pada bahan yang telah lama ada, namun masih memiliki banyak misteri untuk diungkapkan.
RELATED ARTICLES
Bagaimana Bambu Jadi Solusi Pangan dan Konstruksi Berkelanjutan?
Bambu muncul sebagai solusi berkelanjutan untuk tantangan konstruksi dan ketahanan pangan di tengah perubahan iklim
Context.id, JAKARTA- Di tengah tantangan global akibat perubahan iklim dan bencana alam yang semakin sering terjadi, penggunaan bambu sebagai bahan bangunan semakin mendapat perhatian di seluruh dunia.
Salah satu tokoh terkemuka dalam gerakan ini adalah Yasmeen Lari, arsitek asal Pakistan yang telah mengalihkan fokusnya dari desain megah ke penggunaan bambu untuk membangun kembali masyarakat yang terkena bencana.
Laporan dari Washington Post, Lari menggambarkan bagaimana bambu telah menjadi solusi inovatif di kamp pengungsian di Lembah Swat, Pakistan, setelah banjir terburuk dalam sejarah negara itu.
Selama lebih dari empat dekade, Lari merancang bangunan dari berbagai material konvensional seperti beton dan baja. Namun, pengalamannya di Lembah Swat, di mana warga setempat berjuang untuk mendapatkan batu bata dan kayu untuk membangun dapur umum, mengubah penampilannya.
“Mari kita gunakan bambu,” kenangnya, Merujuk pada penggunaan bambu untuk membangun rumah tahan banjir bagi pengungsi.
BACA JUGA
Dalam dekade terakhir, yayasannya, Heritage Foundation of Pakistan, telah membangun sekitar 85.000 bangunan yang semuanya selamat dari bencana.
“Negara ini tidak mampu menghadirkan kemewahan,” tegas Lari. Dengan sifatnya yang kuat, cepat tumbuh, dan mampu menyimpan karbon, bambu menjadi pilihan yang ideal untuk pembangunan berkelanjutan.
Namun tantangan tetap ada di negara-negara seperti Pakistan yang menghadapi dampak perubahan iklim paling parah meskipun hanya menghasilkan sebagian kecil karbon dunia. Lari kini berencana membangun lebih banyak rumah bambu, dengan target satu juta unit.
“Ini bukan tempat perlindungan darurat, tapi rumah tahan bencana,” ujarnya.
Sementara Brock University juga menyoroti penelitian yang dilakukan oleh Profesor Amir Mofidi mengenai potensi bambu sebagai alternatif konstruksi yang ramah lingkungan.
Mofidi mengembangkan rekayasa bambu sebagai bahan yang lebih kuat dan tahan lama, serta cocok untuk berbagai kebutuhan konstruksi.
Dengan pendanaan dari Hibah Penemuan Dewan Penelitian Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknik (NSERC) Pemerintah Kanada, Mofidi menggunakan teknik canggih untuk menciptakan bentuk baru bambu rekayasa yang lebih efisien.
“Industri konstruksi bergerak cepat, jadi penting untuk melakukan inovasi pada rantai pasokan,” ungkapnya.
Sementara itu, di Bali, penggunaan bambu telah mencapai puncaknya dengan proyek-proyek inovatif seperti Sekolah Hijau yang dirancang oleh studio arsitektur Ibuku. Laporan dari BBC menyebutkan bangunan tersebut, terbuat dari 12,4 ton bambu, menunjukkan kekuatan dan keserbagunaan bambu dalam konstruksi.
Bangunan yang menarik perhatian ini tidak hanya menawarkan solusi untuk mengurangi jejak karbon, tetapi juga menciptakan ruang yang estetis dan fungsional.
Elora Hardy, arsitek di balik proyek ini, adalah salah satu pionir dalam mengintegrasikan bambu ke dalam desain arsitektur modern di Bali. Dengan memanfaatkan kemampuan bambu untuk dibentuk, Hardy menciptakan bangunan yang tidak hanya berkelanjutan tetapi juga selaras dengan lingkungan sekitar.
“Bambu merupakan bahan yang sangat lentur,” katanya, menunjukkan potensi besar material ini dalam arsitektur.
Namun, meskipun penggunaan bambu semakin populer, perlawanannya tetap ada. Di Eropa dan Amerika, masih terdapat kekhawatiran mengenai penerimaan bambu sebagai bahan bangunan utama.
Christopher Matthews, seorang insinyur struktur yang terlibat dalam proyek Sekolah Hijau di Bali, mengungkapkan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya pemahaman tentang cara merekayasa bambu.
“Kami harus mengujinya. Kami ada di sana, mengisinya dengan karung pasir untuk membuktikan seberapa kuatnya,” jelas Matthews.
Dengan segala potensi yang dimiliki, bambu juga menawarkan keuntungan tambahan sebagai sumber pangan. Tunas bambu, yang dikenal sebagai makanan bergizi, kaya protein, dan rendah kalori, menjadi pilihan menarik di tengah tantangan perubahan iklim.
Mengandung serat yang tinggi, tuna bambu dapat digunakan dalam berbagai hidangan, mulai dari sup hingga tumisan. Keberadaan tanaman ini yang cepat tumbuh dan dapat beradaptasi dengan kondisi iklim yang beragam menjadikannya sumber pangan yang ideal.
Bambu tidak hanya menawarkan solusi dalam konstruksi, tetapi juga berpotensi menjadi bagian penting dari ketahanan pangan di masa depan.
Penggunaan bambu dalam arsitektur dan sebagai sumber makanan yang ditunjukkan melalui kolaborasi antara inovasi, pengetahuan lokal, dan keinginan, bambu dapat menjadi solusi bagi tantangan infrastruktur dan pangan global.
Dalam dunia yang terus berubah, materi ini menawarkan harapan baru bagi banyak orang, menunjukkan solusi untuk tantangan terbesar kita mungkin terletak pada bahan yang telah lama ada, namun masih memiliki banyak misteri untuk diungkapkan.
POPULAR
RELATED ARTICLES