Share

Stories 02 April 2024

Dunia Dibayangi Krisis Air dan Pangan

Salah satu penyebab utama krisis air, adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan laju kenaikan suhu udara.

Ilustrasi air/ jogjaprov.go.id

Context.id, JAKARTA - Krisis air menjadi ancaman serius dan nyata sehingga harus jadi perhatian seluruh negara di dunia.

Terkait ancaman krisis air, pertemuan World Water Forum di Bali, 18-25 Mei 2024 nanti jadi momentum mencari solusi bersama menyelesaikan persoalan tersebut.

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, dalam diskusi daring, Senin (1/4/2024) di Jakarta.

“Mewujudkan keadilan, ketersedian dan kualitas terhadap air saat ini masih belum dipandang adil secara global ataupun regional. Inilah yang harus didorong untuk dibahas nanti. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan secara kolaboratif,” ujarnya.

Salah satu penyebab utama krisis air, katanya, adalah terus meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan laju kenaikan suhu udara.

Akibatnya proses pemanasan global terus berlanjut dan berdampak pada fenomena perubahan iklim yang dapat memicu krisis air, pangan dan bahkan energi.

“Meningkatnya frekuensi, intensitas dan durasi kejadian bencana hidrometeorologi juga jadi persoalan,” lanjutnya.

Berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO) yang dikumpulkan dari pengamatan di 193 negara, BMKG pun memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi hotspot air atau daerah kekeringan di berbagai negara.

"Artinya akan banyak tempat yang mengalami kekeringan. (Hal ini bisa terjadi) baik di negara maju maupun berkembang. Baik Amerika, Afrika dan negara lainnya sama saja (terdampak)," jelasnya.

Di sisi lain, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran.

Kondisi ini merupakan bukti bagaimana perubahan iklim sedang terjadi di seluruh negara dunia dan akan semakin buruk hasilnya jika tidak dilakukan upaya mitigasi bersama.

Pada kesempatan tersebut Dwikorita mengungkapkan jika Indonesia saat ini belum terdeteksi mengalami hotspot air, namun bukan berarti dalam skala lokal kekeringan tidak terjadi.

Karena jika lengah dan gagal memitigasi, diproyeksikan pada 2045-2050 saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi perubahan iklim dan mengalami krisis pangan.

Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan beberapa waktu lalu telah memproyeksikan di tahun tersebut krisis pangan akan menimpa hampir seluruh negara di dunia.

Tidak main-main, kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen sumber pangan dunia menjadi pihak yang paling rentan pada perubahan iklim.

"Cuaca ekstrem, iklim ekstrem, dan kejadian terkait air lainnya telah menyebabkan 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu 1970 hingga 2021," ujar Dwikorita.

Gangguan Perubahan Iklim pada Perekonomian

Laju perubahan iklim di dunia bisa menganggu seluruh sektor kehidupan utamanya adalah perekonomian sebuah negara.

Dalam catatan WMO, negara maju bisa mengalami 60 persen dari kerugian ekonomi terkait cuaca namun umumnya hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Namun di negara berkembang akan terdampak 7% dari bencana menyebabkan kerugian 5%-30% dari PDB.

Paling parah, di negara kepulauan kecil, 20% dari bencana menyebabkan kerugian hingga 5% dari PDB dan dibeberapa kasus bisa melebihi 100%.

Data tersebut memperlihatkan bagaimana ketidakberdayaan negara berkembang dan negara kecil kepulauan dalam menghadapi perubahan iklim, krisis air, dan pangan.

Karena itu, World Water Forum ke-10 akan mendorong upaya bersama meningkatkan kesetaraan dengan membantu negara miskin tertinggal agar dapat meningkatkan kapasitanya dan tangguh dalam menyikapi perubahan iklim.

"Negara maju, berkembang, dan negara-negara kecil akan terkena dampaknya, tidak pandang bulu. Kalau kita tidak sadar, tidak bekerja bersama maka kita akan punah bersama," imbuh Dwikorita.

BMKG pun dikatakannya akan terus memberikan informasi sedini mungkin agar pihak terkait merancang strategi bagaimana melakukan mitigasi. 

Data dan informasi yang diberikan BMKG diharapkan berdampak tidak hanya dalam sebuah kebijakan namun juga pemahaman bagi seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia.

“Perkembangan informasi ini diharapkan menjadi pengetahuan dan menjadi kesadaran dalam bertindak dan akhirnya menjadi local wisdom di masyarakat,” ujar Dwikorita.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 02 April 2024

Dunia Dibayangi Krisis Air dan Pangan

Salah satu penyebab utama krisis air, adalah meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan laju kenaikan suhu udara.

Ilustrasi air/ jogjaprov.go.id

Context.id, JAKARTA - Krisis air menjadi ancaman serius dan nyata sehingga harus jadi perhatian seluruh negara di dunia.

Terkait ancaman krisis air, pertemuan World Water Forum di Bali, 18-25 Mei 2024 nanti jadi momentum mencari solusi bersama menyelesaikan persoalan tersebut.

Hal itu diungkapkan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, dalam diskusi daring, Senin (1/4/2024) di Jakarta.

“Mewujudkan keadilan, ketersedian dan kualitas terhadap air saat ini masih belum dipandang adil secara global ataupun regional. Inilah yang harus didorong untuk dibahas nanti. Langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan secara kolaboratif,” ujarnya.

Salah satu penyebab utama krisis air, katanya, adalah terus meningkatnya emisi gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan laju kenaikan suhu udara.

Akibatnya proses pemanasan global terus berlanjut dan berdampak pada fenomena perubahan iklim yang dapat memicu krisis air, pangan dan bahkan energi.

“Meningkatnya frekuensi, intensitas dan durasi kejadian bencana hidrometeorologi juga jadi persoalan,” lanjutnya.

Berdasarkan data World Meteorological Organization (WMO) yang dikumpulkan dari pengamatan di 193 negara, BMKG pun memproyeksikan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi hotspot air atau daerah kekeringan di berbagai negara.

"Artinya akan banyak tempat yang mengalami kekeringan. (Hal ini bisa terjadi) baik di negara maju maupun berkembang. Baik Amerika, Afrika dan negara lainnya sama saja (terdampak)," jelasnya.

Di sisi lain, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran.

Kondisi ini merupakan bukti bagaimana perubahan iklim sedang terjadi di seluruh negara dunia dan akan semakin buruk hasilnya jika tidak dilakukan upaya mitigasi bersama.

Pada kesempatan tersebut Dwikorita mengungkapkan jika Indonesia saat ini belum terdeteksi mengalami hotspot air, namun bukan berarti dalam skala lokal kekeringan tidak terjadi.

Karena jika lengah dan gagal memitigasi, diproyeksikan pada 2045-2050 saat Indonesia memasuki masa emas akan terjadi perubahan iklim dan mengalami krisis pangan.

Food and Agriculture Organization (FAO) bahkan beberapa waktu lalu telah memproyeksikan di tahun tersebut krisis pangan akan menimpa hampir seluruh negara di dunia.

Tidak main-main, kurang lebih 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen sumber pangan dunia menjadi pihak yang paling rentan pada perubahan iklim.

"Cuaca ekstrem, iklim ekstrem, dan kejadian terkait air lainnya telah menyebabkan 11.778 kejadian bencana dalam kurun waktu 1970 hingga 2021," ujar Dwikorita.

Gangguan Perubahan Iklim pada Perekonomian

Laju perubahan iklim di dunia bisa menganggu seluruh sektor kehidupan utamanya adalah perekonomian sebuah negara.

Dalam catatan WMO, negara maju bisa mengalami 60 persen dari kerugian ekonomi terkait cuaca namun umumnya hanya 0,1 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).

Namun di negara berkembang akan terdampak 7% dari bencana menyebabkan kerugian 5%-30% dari PDB.

Paling parah, di negara kepulauan kecil, 20% dari bencana menyebabkan kerugian hingga 5% dari PDB dan dibeberapa kasus bisa melebihi 100%.

Data tersebut memperlihatkan bagaimana ketidakberdayaan negara berkembang dan negara kecil kepulauan dalam menghadapi perubahan iklim, krisis air, dan pangan.

Karena itu, World Water Forum ke-10 akan mendorong upaya bersama meningkatkan kesetaraan dengan membantu negara miskin tertinggal agar dapat meningkatkan kapasitanya dan tangguh dalam menyikapi perubahan iklim.

"Negara maju, berkembang, dan negara-negara kecil akan terkena dampaknya, tidak pandang bulu. Kalau kita tidak sadar, tidak bekerja bersama maka kita akan punah bersama," imbuh Dwikorita.

BMKG pun dikatakannya akan terus memberikan informasi sedini mungkin agar pihak terkait merancang strategi bagaimana melakukan mitigasi. 

Data dan informasi yang diberikan BMKG diharapkan berdampak tidak hanya dalam sebuah kebijakan namun juga pemahaman bagi seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia.

“Perkembangan informasi ini diharapkan menjadi pengetahuan dan menjadi kesadaran dalam bertindak dan akhirnya menjadi local wisdom di masyarakat,” ujar Dwikorita.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024