Share

Stories 14 Oktober 2024

Mengapa Sebagian Besar Miliarder AS Memilih Donald Trump?

Miliarder mendukung kandidat yang pro-bisnis untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka.

Trump dan JD Vance/AP-Morry Gash

Context.id, JAKARTA - Sejak keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 2010 terkait kasus Citizens United, dunia politik Amerika mengalami perubahan besar dengan masuknya aliran dana tak terbatas ke dalam kampanye pemilu. 

Keputusan ini memperkuat kekuatan finansial sekitar 813 miliarder Amerika, yang kini bebas mengeluarkan dana besar untuk mendukung kandidat dan partai pilihan mereka. 

Meski Partai Demokrat memiliki pendukung dari kalangan miliarder seperti mantan Wali Kota New York, Michael Bloomberg, Partai Republik tetap menjadi magnet utama bagi kaum kaya, termasuk miliarder, baik dalam kontribusi kampanye maupun preferensi pemilih.

Menurut peneliti dari Universitas Roosevelt, David Faris, bukti dari dominasi miliarder di kubu Republik sangat jelas. Data dari Open Secrets menunjukkan bahwa dari 100 kontributor individu terbesar dalam pemilu Amerika, 59 di antaranya adalah pendukung kuat Partai Republik, sementara hanya 39 yang mendukung Demokrat. 

Lebih mencolok lagi, dalam siklus pemilihan kali ini, Partai Republik telah mendapatkan US$879 juta dari para miliarder, jauh lebih banyak dibandingkan Partai Demokrat yang hanya menerima US$327 juta, seperti yang dikatakan Faris dalam Newsweek. 



Pilihan politik miliarder juga tercermin dari pola pemilih dengan pendapatan tinggi. Meski tidak ada survei khusus bagi para miliarder, survei pemilih dengan penghasilan lebih dari US$100.000 per tahun menunjukkan bahwa pada pemilu 2020, 54% dari kelompok ini memilih Donald Trump, sementara hanya 42% yang memilih Joe Biden. 

Ini bukan fenomena baru, kecuali pada tahun 2016 ketika Trump dan Hillary Clinton berimbang dalam mendapatkan suara dari kelompok pemilih kaya.

Kecenderungan miliarder
Menurut analisa Faris, keputusan para miliarder untuk tetap mendukung Partai Republik, khususnya Trump, sangat erat kaitannya dengan kebijakan ekonomi. 

Trump, yang dikenal jarang membagikan proposal kebijakan secara detail, secara konsisten berjanji untuk menurunkan pajak perusahaan, termasuk menurunkan tarif pajak dari 21% menjadi 15%, setelah sebelumnya memangkas pajak besar-besaran melalui Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Pekerjaan 2017. 

Di sisi lain, kampanye Demokrat, yang dipimpin oleh Kamala Harris, justru menawarkan kebijakan sebaliknya, seperti pajak 25% bagi individu dengan aset di atas US$100 juta, peningkatan pajak perusahaan menjadi 28%, dan pajak lebih tinggi atas pembelian kembali saham.

Kebijakan Harris ini berfokus pada redistribusi kekayaan untuk mendukung program sosial, seperti perluasan Medicare untuk menanggung perawatan jangka panjang bagi warga senior. 

Bagi sebagian besar miliarder, proposal ini dianggap sebagai ancaman bagi kekayaan mereka, sehingga wajar jika mereka lebih memilih mendukung Trump yang kebijakan ekonominya cenderung menguntungkan kelas miliarder.

Elon Musk
Selain kebijakan ekonomi, dukungan miliarder terhadap Trump dan Partai Republik juga diperkuat oleh tokoh-tokoh seperti Elon Musk, yang telah menjadi pendukung utama Partai Republik. 

Musk tidak hanya memberikan dukungan finansial, tetapi juga memanfaatkan platform media sosialnya, X (sebelumnya Twitter), sebagai alat politik. Di bawah kendali Musk, platform ini kian dipandang sebagai sarana bagi ide-ide sayap kanan dan kelompok-kelompok yang mendukung kebijakan konservatif.

Dengan memanfaatkan kekuatan finansial dan media, para miliarder seperti Musk secara aktif mendukung agenda politik Partai Republik, memperkuat pengaruh mereka dalam pemilu dan kebijakan nasional.

Pada akhirnya, dukungan miliarder terhadap Donald Trump dan Partai Republik tidak terlepas dari kalkulasi rasional mereka untuk melindungi dan memperbesar kekayaan mereka. 

Kebijakan pajak rendah dan deregulasi ekonomi yang ditawarkan Partai Republik jelas lebih menguntungkan bagi kelas miliarder dibandingkan dengan proposal redistribusi kekayaan yang diusung oleh Demokrat. 

Meskipun Partai Republik berupaya mengubah citranya sebagai partai pekerja, mereka tetap mengandalkan dukungan dari kelas miliarder yang melihat Trump sebagai sosok yang dapat menjaga kepentingan mereka.

Konteks Indonesia
Fenomena serupa juga terlihat di Indonesia menjelang Pemilihan Presiden 2024. Beberapa miliarder tanah air telah terang-terangan menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden tertentu, mencerminkan dinamika politik yang serupa dengan yang terjadi di Amerika Serikat. 

Dukungan ini tidak lepas dari pertimbangan kebijakan ekonomi dan regulasi yang diusung oleh calon tersebut.

Sama seperti di AS, miliarder di Indonesia cenderung lebih mendukung kandidat yang menawarkan kebijakan yang menguntungkan bagi dunia usaha, termasuk insentif pajak dan kemudahan berbisnis.
 
Hal ini terlihat dari aliran dana yang mengalir ke kampanye calon presiden yang menjanjikan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan.

Pada Pilpres 2024 lalu, misalnya taipan Arsjad Rasjid yang saat itu berposisi sebagai Ketum Kadin Indonesia dan Sandiaga Uno memilih untuk memihak Ganjar-Mahfud. Sementara taipan Anindya Bakrie, Pandu Sjahrir, Hashim Djojohadikusumo dan lainnya memilih kubu Prabowo-Gibran



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 14 Oktober 2024

Mengapa Sebagian Besar Miliarder AS Memilih Donald Trump?

Miliarder mendukung kandidat yang pro-bisnis untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka.

Trump dan JD Vance/AP-Morry Gash

Context.id, JAKARTA - Sejak keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tahun 2010 terkait kasus Citizens United, dunia politik Amerika mengalami perubahan besar dengan masuknya aliran dana tak terbatas ke dalam kampanye pemilu. 

Keputusan ini memperkuat kekuatan finansial sekitar 813 miliarder Amerika, yang kini bebas mengeluarkan dana besar untuk mendukung kandidat dan partai pilihan mereka. 

Meski Partai Demokrat memiliki pendukung dari kalangan miliarder seperti mantan Wali Kota New York, Michael Bloomberg, Partai Republik tetap menjadi magnet utama bagi kaum kaya, termasuk miliarder, baik dalam kontribusi kampanye maupun preferensi pemilih.

Menurut peneliti dari Universitas Roosevelt, David Faris, bukti dari dominasi miliarder di kubu Republik sangat jelas. Data dari Open Secrets menunjukkan bahwa dari 100 kontributor individu terbesar dalam pemilu Amerika, 59 di antaranya adalah pendukung kuat Partai Republik, sementara hanya 39 yang mendukung Demokrat. 

Lebih mencolok lagi, dalam siklus pemilihan kali ini, Partai Republik telah mendapatkan US$879 juta dari para miliarder, jauh lebih banyak dibandingkan Partai Demokrat yang hanya menerima US$327 juta, seperti yang dikatakan Faris dalam Newsweek. 



Pilihan politik miliarder juga tercermin dari pola pemilih dengan pendapatan tinggi. Meski tidak ada survei khusus bagi para miliarder, survei pemilih dengan penghasilan lebih dari US$100.000 per tahun menunjukkan bahwa pada pemilu 2020, 54% dari kelompok ini memilih Donald Trump, sementara hanya 42% yang memilih Joe Biden. 

Ini bukan fenomena baru, kecuali pada tahun 2016 ketika Trump dan Hillary Clinton berimbang dalam mendapatkan suara dari kelompok pemilih kaya.

Kecenderungan miliarder
Menurut analisa Faris, keputusan para miliarder untuk tetap mendukung Partai Republik, khususnya Trump, sangat erat kaitannya dengan kebijakan ekonomi. 

Trump, yang dikenal jarang membagikan proposal kebijakan secara detail, secara konsisten berjanji untuk menurunkan pajak perusahaan, termasuk menurunkan tarif pajak dari 21% menjadi 15%, setelah sebelumnya memangkas pajak besar-besaran melalui Undang-Undang Pemotongan Pajak dan Pekerjaan 2017. 

Di sisi lain, kampanye Demokrat, yang dipimpin oleh Kamala Harris, justru menawarkan kebijakan sebaliknya, seperti pajak 25% bagi individu dengan aset di atas US$100 juta, peningkatan pajak perusahaan menjadi 28%, dan pajak lebih tinggi atas pembelian kembali saham.

Kebijakan Harris ini berfokus pada redistribusi kekayaan untuk mendukung program sosial, seperti perluasan Medicare untuk menanggung perawatan jangka panjang bagi warga senior. 

Bagi sebagian besar miliarder, proposal ini dianggap sebagai ancaman bagi kekayaan mereka, sehingga wajar jika mereka lebih memilih mendukung Trump yang kebijakan ekonominya cenderung menguntungkan kelas miliarder.

Elon Musk
Selain kebijakan ekonomi, dukungan miliarder terhadap Trump dan Partai Republik juga diperkuat oleh tokoh-tokoh seperti Elon Musk, yang telah menjadi pendukung utama Partai Republik. 

Musk tidak hanya memberikan dukungan finansial, tetapi juga memanfaatkan platform media sosialnya, X (sebelumnya Twitter), sebagai alat politik. Di bawah kendali Musk, platform ini kian dipandang sebagai sarana bagi ide-ide sayap kanan dan kelompok-kelompok yang mendukung kebijakan konservatif.

Dengan memanfaatkan kekuatan finansial dan media, para miliarder seperti Musk secara aktif mendukung agenda politik Partai Republik, memperkuat pengaruh mereka dalam pemilu dan kebijakan nasional.

Pada akhirnya, dukungan miliarder terhadap Donald Trump dan Partai Republik tidak terlepas dari kalkulasi rasional mereka untuk melindungi dan memperbesar kekayaan mereka. 

Kebijakan pajak rendah dan deregulasi ekonomi yang ditawarkan Partai Republik jelas lebih menguntungkan bagi kelas miliarder dibandingkan dengan proposal redistribusi kekayaan yang diusung oleh Demokrat. 

Meskipun Partai Republik berupaya mengubah citranya sebagai partai pekerja, mereka tetap mengandalkan dukungan dari kelas miliarder yang melihat Trump sebagai sosok yang dapat menjaga kepentingan mereka.

Konteks Indonesia
Fenomena serupa juga terlihat di Indonesia menjelang Pemilihan Presiden 2024. Beberapa miliarder tanah air telah terang-terangan menyatakan dukungan kepada pasangan calon presiden tertentu, mencerminkan dinamika politik yang serupa dengan yang terjadi di Amerika Serikat. 

Dukungan ini tidak lepas dari pertimbangan kebijakan ekonomi dan regulasi yang diusung oleh calon tersebut.

Sama seperti di AS, miliarder di Indonesia cenderung lebih mendukung kandidat yang menawarkan kebijakan yang menguntungkan bagi dunia usaha, termasuk insentif pajak dan kemudahan berbisnis.
 
Hal ini terlihat dari aliran dana yang mengalir ke kampanye calon presiden yang menjanjikan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan.

Pada Pilpres 2024 lalu, misalnya taipan Arsjad Rasjid yang saat itu berposisi sebagai Ketum Kadin Indonesia dan Sandiaga Uno memilih untuk memihak Ganjar-Mahfud. Sementara taipan Anindya Bakrie, Pandu Sjahrir, Hashim Djojohadikusumo dan lainnya memilih kubu Prabowo-Gibran



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Curhat Membantu atau Justru Memperburuk Amarah?

Penelitian menunjukkan mengeluh atau curhat malah tidak baik bagi kesehatan mental

Context.id . 08 November 2024

Donald Trump Menang, Harga Bitcoin Melambung

Kemenangan Donald Trump di Pilpres AS 2024 disambut positif oleh pasar kripto, dengan harga Bitcoin yang melambung hingga US 75 ribu atau sekitar ...

Context.id . 08 November 2024

Jaga Kesehatan Sopir, Jepang Siapkan Jalan Otomatis untuk Logistik

Jepang merancang jalur transportasi otomatis antara Tokyo dan Osaka untuk mengantisipasi krisis pengemudi truk serta lonjakan kebutuhan logistik.

Context.id . 07 November 2024

Kolaborasi Manusia dan Kecerdasan Buatan Mengubah Metode Perawatan Kanker

Teknologi AI merevolusi deteksi, diagnosis, dan perawatan kanker dengan meningkatkan akurasi dan kecepatan, namun perlu kehati-hatian dan keputusa ...

Context.id . 06 November 2024