Share

Stories 07 Oktober 2024

Platform Media Sosial Terutama Meta Menyensor Konten-konten Palestina

Platform media sosial, terutama Meta, menerapkan sensor ketat terhadap konten terkait Gaza Palestina, yang sering kali membatasi suara korban

Ilustrasi sensor meta soal palestina/SKWAWKBOX

Context.id, JAKARTA - Selama hampir setahun, Gaza telah mengalami berbagai serangan dan tindakan genosida oleh Israel, semuanya di bawah pengawasan dunia. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 40.000 warga Palestina, terutama wanita dan anak-anak, telah terbunuh. 

Saat operasi Israel di Gaza memasuki tahun pertamanya, seberapa efektif platform media sosial dapat memperkuat suara warga Palestina?

Selama setahun terakhir, warga Palestina telah memanfaatkan media digital untuk mengomunikasikan peristiwa di Gaza kepada khalayak di seluruh dunia Arab, Islam, dan Barat, yang memicu demonstrasi dukungan global.

Media sosial dan platform digital telah memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran tentang perang di Gaza; namun, seperti dikutip dari Turkiye Today Senin (7/10), para ahli menyatakan kekhawatiran atas bias algoritmik dan penyensoran konten. 

Pembatasan algoritmik terhadap konten yang terkait dengan Palestina, yang saat ini menjadi topik yang sangat menyakitkan dan sensitif, telah memicu perdebatan publik yang signifikan.



Pemilik media sosial dituding mengatur algoritma media sosial untuk menghalangi visibilitas konten Palestina.

Abdoulhakim Ahmine, seorang spesialis media dan komunikasi asal Maroko, menekankan karena keterlibatan digital yang intens dari pemuda Palestina, Israel telah menargetkan tokoh-tokoh media sosial terkemuka, pemilik saluran YouTube, dan jurnalis yang melaporkan langsung dari Gaza. 

Ahmine menjelaskan beberapa negara, terutama Prancis dan Jerman, awalnya memberlakukan pembatasan digital tertentu tetapi terpaksa mencabutnya karena meningkatnya dukungan publik untuk Palestina.

Hari ini adalah genap setahun setelah serangan besar-besaran berlangsung di Gaza dan suasana di wilayah tersebut masih diliputi ketegangan dan trauma mendalam. 

Warga Palestina berjuang untuk membangun kembali hidup mereka, sering kali menghadapi tantangan yang luar biasa untuk menyuarakan pengalaman mereka di panggung global. 

Dalam konteks ini, ramai kembali simbol segitiga merah terbalik muncul sebagai alat komunikasi untuk mengekspresikan dukungan terhadap perjuangan mereka.

Namun, simbol ini kini menjadi sorotan setelah Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, mengklasifikasikannya sebagai konten berbahaya yang harus dihapus. 

Menurut laporan Sam Biddle dari The Intercept, simbol ini sering diasosiasikan dengan propaganda kelompok militan Hamas, yang menjadikannya target utama penghapusan konten.

Meta menerapkan pedoman ketat yang mengharuskan penghapusan setiap posting yang mencantumkan segitiga tersebut, bahkan jika hanya muncul dalam foto profil. 

Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis hak digital, yang berpendapat tindakan semacam itu berpotensi mengancam kebebasan berbicara.

Banyak yang merasa bahwa kebijakan ini tidak hanya membungkam suara-suara kritis, tetapi juga menciptakan suasana di mana penderitaan warga Gaza diabaikan dalam narasi yang lebih besar.

Simbol segitiga merah terbalik sendiri memiliki makna yang dalam. Diambil dari bendera Palestina, simbol ini melambangkan pengorbanan dan perjuangan rakyat yang terjebak dalam konflik berkepanjangan. 

Mengutip Mashable, warna-warna dalam segitiga—merah, hijau, hitam, dan putih—adalah warna persatuan Pan-Arab.

Sementara beberapa kelompok militan menggunakan simbol ini untuk menggambarkan pemberontakan bersenjata, banyak pengguna Palestina mengadopsinya sebagai lambang solidaritas dan dukungan bagi masyarakat yang tertekan.

Namun, pendapat tentang simbol ini sangat beragam. Beberapa orang melihatnya sebagai lambang perlawanan, sementara yang lain mengaitkannya dengan kebencian. 

Ada yang berpendapat bahwa segitiga merah terbalik mengingatkan pada simbol-simbol yang digunakan di kamp konsentrasi, dan karenanya dapat dianggap sebagai pengagungan terhadap kekerasan dan kematian. 

Dalam situasi ini, banyak pengguna media sosial berusaha menyampaikan dukungan mereka untuk kemerdekaan Palestina tanpa melanggar kebijakan moderasi yang ketat.

Seperti yang diulas oleh Wired, pengguna sering kali mencari simbol alternatif atau variasi warna untuk menghindari pengawasan yang ketat.

Ketegangan yang terus meningkat bukan hanya di Gaza tapi Timur Tengah semakin memperburuk situasi ini. Pengguna media sosial yang berusaha mengekspresikan dukungan mereka sering kali terjebak dalam kebijakan moderasi yang ketat di berbagai platform. 

Laporan Reporters Without Borders mencatat tindakan moderasi ini sering kali dianggap sebagai bentuk sensor terhadap konten yang berkaitan dengan konflik.

Hal ini menciptakan tantangan besar bagi jurnalis dan aktivis yang menekankan pentingnya kebebasan pers dan berbicara dalam menghadapi pengawasan yang ketat.

Bias dalam moderasi konten dapat memengaruhi cara pandang publik terhadap peristiwa di Gaza.

Kebijakan moderasi yang ketat menciptakan suasana di mana banyak konten yang mengungkap penderitaan warga Palestina dihapus atau dibatasi, sehingga merugikan upaya mereka untuk mendapatkan perhatian dunia.

Simbol segitiga merah terbalik, dengan segala kompleksitas dan konotasinya, bukan hanya mencerminkan perjuangan warga Palestina, tetapi juga menunjukkan tantangan besar yang dihadapi oleh mereka yang ingin menyuarakan pengalaman mereka di tengah sensor yang ketat.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 07 Oktober 2024

Platform Media Sosial Terutama Meta Menyensor Konten-konten Palestina

Platform media sosial, terutama Meta, menerapkan sensor ketat terhadap konten terkait Gaza Palestina, yang sering kali membatasi suara korban

Ilustrasi sensor meta soal palestina/SKWAWKBOX

Context.id, JAKARTA - Selama hampir setahun, Gaza telah mengalami berbagai serangan dan tindakan genosida oleh Israel, semuanya di bawah pengawasan dunia. Sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 40.000 warga Palestina, terutama wanita dan anak-anak, telah terbunuh. 

Saat operasi Israel di Gaza memasuki tahun pertamanya, seberapa efektif platform media sosial dapat memperkuat suara warga Palestina?

Selama setahun terakhir, warga Palestina telah memanfaatkan media digital untuk mengomunikasikan peristiwa di Gaza kepada khalayak di seluruh dunia Arab, Islam, dan Barat, yang memicu demonstrasi dukungan global.

Media sosial dan platform digital telah memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran tentang perang di Gaza; namun, seperti dikutip dari Turkiye Today Senin (7/10), para ahli menyatakan kekhawatiran atas bias algoritmik dan penyensoran konten. 

Pembatasan algoritmik terhadap konten yang terkait dengan Palestina, yang saat ini menjadi topik yang sangat menyakitkan dan sensitif, telah memicu perdebatan publik yang signifikan.



Pemilik media sosial dituding mengatur algoritma media sosial untuk menghalangi visibilitas konten Palestina.

Abdoulhakim Ahmine, seorang spesialis media dan komunikasi asal Maroko, menekankan karena keterlibatan digital yang intens dari pemuda Palestina, Israel telah menargetkan tokoh-tokoh media sosial terkemuka, pemilik saluran YouTube, dan jurnalis yang melaporkan langsung dari Gaza. 

Ahmine menjelaskan beberapa negara, terutama Prancis dan Jerman, awalnya memberlakukan pembatasan digital tertentu tetapi terpaksa mencabutnya karena meningkatnya dukungan publik untuk Palestina.

Hari ini adalah genap setahun setelah serangan besar-besaran berlangsung di Gaza dan suasana di wilayah tersebut masih diliputi ketegangan dan trauma mendalam. 

Warga Palestina berjuang untuk membangun kembali hidup mereka, sering kali menghadapi tantangan yang luar biasa untuk menyuarakan pengalaman mereka di panggung global. 

Dalam konteks ini, ramai kembali simbol segitiga merah terbalik muncul sebagai alat komunikasi untuk mengekspresikan dukungan terhadap perjuangan mereka.

Namun, simbol ini kini menjadi sorotan setelah Meta, perusahaan induk Facebook dan Instagram, mengklasifikasikannya sebagai konten berbahaya yang harus dihapus. 

Menurut laporan Sam Biddle dari The Intercept, simbol ini sering diasosiasikan dengan propaganda kelompok militan Hamas, yang menjadikannya target utama penghapusan konten.

Meta menerapkan pedoman ketat yang mengharuskan penghapusan setiap posting yang mencantumkan segitiga tersebut, bahkan jika hanya muncul dalam foto profil. 

Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan aktivis hak digital, yang berpendapat tindakan semacam itu berpotensi mengancam kebebasan berbicara.

Banyak yang merasa bahwa kebijakan ini tidak hanya membungkam suara-suara kritis, tetapi juga menciptakan suasana di mana penderitaan warga Gaza diabaikan dalam narasi yang lebih besar.

Simbol segitiga merah terbalik sendiri memiliki makna yang dalam. Diambil dari bendera Palestina, simbol ini melambangkan pengorbanan dan perjuangan rakyat yang terjebak dalam konflik berkepanjangan. 

Mengutip Mashable, warna-warna dalam segitiga—merah, hijau, hitam, dan putih—adalah warna persatuan Pan-Arab.

Sementara beberapa kelompok militan menggunakan simbol ini untuk menggambarkan pemberontakan bersenjata, banyak pengguna Palestina mengadopsinya sebagai lambang solidaritas dan dukungan bagi masyarakat yang tertekan.

Namun, pendapat tentang simbol ini sangat beragam. Beberapa orang melihatnya sebagai lambang perlawanan, sementara yang lain mengaitkannya dengan kebencian. 

Ada yang berpendapat bahwa segitiga merah terbalik mengingatkan pada simbol-simbol yang digunakan di kamp konsentrasi, dan karenanya dapat dianggap sebagai pengagungan terhadap kekerasan dan kematian. 

Dalam situasi ini, banyak pengguna media sosial berusaha menyampaikan dukungan mereka untuk kemerdekaan Palestina tanpa melanggar kebijakan moderasi yang ketat.

Seperti yang diulas oleh Wired, pengguna sering kali mencari simbol alternatif atau variasi warna untuk menghindari pengawasan yang ketat.

Ketegangan yang terus meningkat bukan hanya di Gaza tapi Timur Tengah semakin memperburuk situasi ini. Pengguna media sosial yang berusaha mengekspresikan dukungan mereka sering kali terjebak dalam kebijakan moderasi yang ketat di berbagai platform. 

Laporan Reporters Without Borders mencatat tindakan moderasi ini sering kali dianggap sebagai bentuk sensor terhadap konten yang berkaitan dengan konflik.

Hal ini menciptakan tantangan besar bagi jurnalis dan aktivis yang menekankan pentingnya kebebasan pers dan berbicara dalam menghadapi pengawasan yang ketat.

Bias dalam moderasi konten dapat memengaruhi cara pandang publik terhadap peristiwa di Gaza.

Kebijakan moderasi yang ketat menciptakan suasana di mana banyak konten yang mengungkap penderitaan warga Palestina dihapus atau dibatasi, sehingga merugikan upaya mereka untuk mendapatkan perhatian dunia.

Simbol segitiga merah terbalik, dengan segala kompleksitas dan konotasinya, bukan hanya mencerminkan perjuangan warga Palestina, tetapi juga menunjukkan tantangan besar yang dihadapi oleh mereka yang ingin menyuarakan pengalaman mereka di tengah sensor yang ketat.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024