Fenomena Anak Muda Berdompet Tipis Berselera Mahal
Pesimistis dengan masa tua, mereka berbondong-bondong membeli kebahagian di masa muda
Context.id, JAKARTA - Ada pertanyaan yang cukup menggelitik. Mengapa kaum muda menghabiskan uang mereka untuk barang-barang mewah dan bepergian ke tempat-tempat yang jauh di tengah resesi yang mengancam?
Bisa jadi karena pesimisme yang merajalela di kalangan anak muda baik itu dari kelompok Gen Z maupun milenial. Pada 2022 lalu, studi dari McKinsey melaporkan banyak dari Gen Z yang meragukan mereka mampu untuk pensiun dengan bahagia dan akan memiliki rumah
Alhasil, karena pesimistis dengan masa tua, mereka berbondong-bondong membeli kebahagian di masa muda. Apakah kebahagiaan itu? Barang-barang bermerek dan jalan-jalan.
Mereka juga merasa kecewa dengan gagasan mampu membeli barang-barang seperti rumah, tanah atau mobil yang menjadi ciri-ciri dasar orang dewasa.
Beberapa orang menjelaskan bagaimana realitas keuangan yang dihadapi kaum muda saat ini tidak sama dengan apa yang harus dihadapi orang tua mereka di masa lalu. Saat ini banyak dari anak muda yang harus menjadi generasi Sandwich.
BACA JUGA
Menurut Economist, kaum muda ternyata lebih cenderung membeli produk yang mereka lihat di media sosial dan menggunakan opsi pembayaran cicilan. Mereka memiliki dompet tipis tapi seleranya mahal.
Mereka menghargai kemudahan. Mereka ingin berbelanja dengan lancar dan personal serta mendambakan barang-barang bermerek. Dunia daring yang serba cepat juga tampaknya telah menurunkan toleransi terhadap waktu pengiriman yang lama dan menjadi sarana untuk mencari merek.
"Pembeli yang selalu aktif", demikian sebutan McKinsey, sering kali menghindari belanja mingguan demi mendapatkan barang yang lebih cepat, mulai dari fesyen, ponsel pintar, kamera, pernak pernik motor hingga furnitur.
Instagram milik Meta dan TikTok, aplikasi berbagi video milik Tiongkok, saat ini menjadi sarana anak muda mencari inspirasi, terutama untuk barang-barang yang penampilan penting seperti mode, kecantikan, dan pakaian olahraga.
Video yang dibuat pengguna TikTok dapat mendorong bahkan merek kecil menjadi terkenal secara viral dengan cepat. Aplikasi semacam itu semakin banyak menambahkan fitur yang memungkinkan pengguna berbelanja tanpa harus meninggalkan platform.
Dunia belanja yang baru juga memungkinkan kaum muda untuk memiliki pandangan yang lebih terinformasi tentang perusahaan tempat mereka membeli.
Economist bahkan dengan ciamik menuliskan informasi yang berlebihan dalam ekonomi yang mengutamakan perhatian tidak menumpulkan indra kaum muda, tetapi tampaknya telah membuat mereka sangat sensitif, terutama terhadap merek apa pun.
Namun, Edelman, sebuah firma hubungan masyarakat menemukan hal yang menarik dari kelompok Gen Z. Kendati gemar berbelanja, Edelman mendapati tujuh dari sepuluh Gen Z di enam negara memeriksa fakta klaim yang dibuat dalam iklan.
Mengutip data survei yang menunjukkan beberapa remaja telah menjauhi merek tertentu karena etika mereka yang meragukan.
Misalnya, di negara-negara maju, Patagonia, merek pakaian luar ruangan premium dengan rekam jejak kebaikan ramah lingkungan menjadi favorit Gen Z.
Survei McKinsey juga mendapati sembilan dari sepuluh Gen Z dan milenial Eropa telah mengubah cara mereka berbelanja, tempat mereka berbelanja, atau merek yang mereka beli dalam tiga bulan sebelumnya.
Perawatan diri menjadi hal yang populer. Dalam perburuan pakaian yang akan membedakan mereka, anak muda beralih ke merek mewah di usia yang semakin muda.
Economist juga mencatat data dari perusahaan Bain yang menemukan rata-rata pembeli Gen Z melakukan pembelian mewah pertama mereka saat mereka berusia 15 tahun.
Beberapa membeli barang mewah sebagai lindung nilai dan percaya barang-barang itu dapat memiliki nilai bahkan selama masa-masa sulit.
RELATED ARTICLES
Fenomena Anak Muda Berdompet Tipis Berselera Mahal
Pesimistis dengan masa tua, mereka berbondong-bondong membeli kebahagian di masa muda
Context.id, JAKARTA - Ada pertanyaan yang cukup menggelitik. Mengapa kaum muda menghabiskan uang mereka untuk barang-barang mewah dan bepergian ke tempat-tempat yang jauh di tengah resesi yang mengancam?
Bisa jadi karena pesimisme yang merajalela di kalangan anak muda baik itu dari kelompok Gen Z maupun milenial. Pada 2022 lalu, studi dari McKinsey melaporkan banyak dari Gen Z yang meragukan mereka mampu untuk pensiun dengan bahagia dan akan memiliki rumah
Alhasil, karena pesimistis dengan masa tua, mereka berbondong-bondong membeli kebahagian di masa muda. Apakah kebahagiaan itu? Barang-barang bermerek dan jalan-jalan.
Mereka juga merasa kecewa dengan gagasan mampu membeli barang-barang seperti rumah, tanah atau mobil yang menjadi ciri-ciri dasar orang dewasa.
Beberapa orang menjelaskan bagaimana realitas keuangan yang dihadapi kaum muda saat ini tidak sama dengan apa yang harus dihadapi orang tua mereka di masa lalu. Saat ini banyak dari anak muda yang harus menjadi generasi Sandwich.
BACA JUGA
Menurut Economist, kaum muda ternyata lebih cenderung membeli produk yang mereka lihat di media sosial dan menggunakan opsi pembayaran cicilan. Mereka memiliki dompet tipis tapi seleranya mahal.
Mereka menghargai kemudahan. Mereka ingin berbelanja dengan lancar dan personal serta mendambakan barang-barang bermerek. Dunia daring yang serba cepat juga tampaknya telah menurunkan toleransi terhadap waktu pengiriman yang lama dan menjadi sarana untuk mencari merek.
"Pembeli yang selalu aktif", demikian sebutan McKinsey, sering kali menghindari belanja mingguan demi mendapatkan barang yang lebih cepat, mulai dari fesyen, ponsel pintar, kamera, pernak pernik motor hingga furnitur.
Instagram milik Meta dan TikTok, aplikasi berbagi video milik Tiongkok, saat ini menjadi sarana anak muda mencari inspirasi, terutama untuk barang-barang yang penampilan penting seperti mode, kecantikan, dan pakaian olahraga.
Video yang dibuat pengguna TikTok dapat mendorong bahkan merek kecil menjadi terkenal secara viral dengan cepat. Aplikasi semacam itu semakin banyak menambahkan fitur yang memungkinkan pengguna berbelanja tanpa harus meninggalkan platform.
Dunia belanja yang baru juga memungkinkan kaum muda untuk memiliki pandangan yang lebih terinformasi tentang perusahaan tempat mereka membeli.
Economist bahkan dengan ciamik menuliskan informasi yang berlebihan dalam ekonomi yang mengutamakan perhatian tidak menumpulkan indra kaum muda, tetapi tampaknya telah membuat mereka sangat sensitif, terutama terhadap merek apa pun.
Namun, Edelman, sebuah firma hubungan masyarakat menemukan hal yang menarik dari kelompok Gen Z. Kendati gemar berbelanja, Edelman mendapati tujuh dari sepuluh Gen Z di enam negara memeriksa fakta klaim yang dibuat dalam iklan.
Mengutip data survei yang menunjukkan beberapa remaja telah menjauhi merek tertentu karena etika mereka yang meragukan.
Misalnya, di negara-negara maju, Patagonia, merek pakaian luar ruangan premium dengan rekam jejak kebaikan ramah lingkungan menjadi favorit Gen Z.
Survei McKinsey juga mendapati sembilan dari sepuluh Gen Z dan milenial Eropa telah mengubah cara mereka berbelanja, tempat mereka berbelanja, atau merek yang mereka beli dalam tiga bulan sebelumnya.
Perawatan diri menjadi hal yang populer. Dalam perburuan pakaian yang akan membedakan mereka, anak muda beralih ke merek mewah di usia yang semakin muda.
Economist juga mencatat data dari perusahaan Bain yang menemukan rata-rata pembeli Gen Z melakukan pembelian mewah pertama mereka saat mereka berusia 15 tahun.
Beberapa membeli barang mewah sebagai lindung nilai dan percaya barang-barang itu dapat memiliki nilai bahkan selama masa-masa sulit.
POPULAR
RELATED ARTICLES