Stories - 05 December 2023
Perbankan Luncurkan Paylater, Anak Muda Awas Kebablasan
Bank Mandiri, BCA, BNI dan beberapa bank lain tergiur untuk masuk dalam bisnis paylater. Persoalannya, paylater di Indonesia seperti pinjol yang kerap menjebak anak muda.
Context.id, JAKARTA - PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) sedang mengembangkan produk buy now pay later atau paylater di platform Livin' by Mandiri dan siap merilisnya pada Desember ini. Untuk bisa bersaing dengan paylater lainnya, Bank Mandiri tentunya akan memberikan tawaran menarik pada produk paylaternya itu.
Direktur Teknologi Informasi Bank Mandiri Timothy Utama mengatakan sejak Agustus 2023, Bank Mandiri menjalankan tahap piloting pada produk Livin' Paylater itu. Selama masa piloting, hanya nasabah tertentu yang bisa menggunakan Livin' Paylater dan perseroan berupaya memahami behavior pengguna sebelum meluncurkan produk secara luas.
"Dapat kami sampaikan bahwa pembelajaran dari pelaksanaan piloting sudah selesai dilakukan dan saat ini kami sedang melakukan persiapan akhir untuk merilis fitur paylater. "Rilis ke seluruh pengguna yang eligible akan dilakukan di bulan ini," ujarnya seperti dikutip Bisnis, Selasa (5/12/2023).
Menurutnya, produk paylater dari Bank Mandiri tidak hanya menjadi sumber dana pembayaran di QRIS, tetapi sebagai sumber dana pembayaran bagi nasabah BMRI ketika berbelanja di e-commerce. Ia yakin Livin' Paylater akan memberi nilai tambah bagi nasabah terutama dengan berbagai penawaran yang menarik.
Mengacu laman resminya, Livin’ Paylater merupakan fasilitas pinjaman yang diberikan oleh Bank Mandiri untuk pembayaran transaksi QR di seluruh merchant dengan konsep beli sekarang dan bayar nanti dalam 1, 3, 6, 9 atau 12 bulan.
Maksimum limit produk tersebut hingga Rp20 juta, sedangkan jangka waktu cicilan mulai 1 bulan hingga 12 bulan. Bunga pinjaman yang dikenakan kepada pengguna mulai dari 0% untuk tenor 1 bulan dan 3 bulan. Kemudian, bunga 1.5% flat per bulan untuk tenor lebih dari 3 bulan.
Adapun, biaya admin yang dikenakan mulai 0,25% per transaksi. Biaya admin dan bunga pinjaman dapat berubah sewaktu-sewaktu. Lalu, biaya denda keterlambatan mulai dari 4% per bulan dari tagihan tertunggak.
Langkah Bank Mandiri untuk segera merilis produk paylaternya memang sedikit terlambat. PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) telah terlebih dahulu meluncurkan produk paylater di mobile banking yakni Paylater BCA.
Mengacu website bca.co.id, produk Paylater BCA merupakan fasilitas kredit yang dapat digunakan sebagai alternatif pembayaran melalui scan QRIS di aplikasi myBCA.
Untuk membayar kembali pinjamannya, pengguna dapat mencicil dengan pilihan jangka waktu atau tenor, antara lain 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, hingga 12 bulan dengan suku bunga sampai dengan 2% flat per bulan.
Bukan hanya BCA dan Mandiri, bank-bank lain seperti BNI, CIMB Niaga dan juga BTN berencana meluncurkan fitur paylater di platform digital mereka tahun depan.
Tingginya minat perbankan untuk masuk dalam bisnis paylater disambut positif Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae. Menurut Dian, OJK berharap perkembangan paylater terus meningkat dan bagus membantu bagi mereka kelas menengah ke bawah dalam memenuhi berbagai keperluan.
Bahkan, kemungkinan paylater tidak hanya ke konsumtif tapi bisa ke produktif. Pasalnya, sektor perbankan memiliki pengalaman yang sangat baik dalam menerapkan prudential atau regulasi dalam kredit.
Adapun, mengacu Peraturan OJK (POJK) No.12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital Oleh Bank Umum (LPD), bank yang menyelenggarakan layanan perbankan digital harus memenuhi sejumlah persyaratan.
Di antara persyaratan adalah memiliki peringkat profil risiko dengan peringkat 1 atau peringkat 2 berdasarkan penilaian tingkat kesehatan bank periode penilaian terakhir. Kemudian, bank mesti memiliki infrastruktur teknologi informasi dan manajemen pengelolaan infrastruktur teknologi informasi yang memadai.
Selain memenuhi ketentuan POJK LPD, bank juga harus memenuhi ketentuan dalam POJK No.13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum yang mengatur mengenai mekanisme penyelenggaraan produk bank.
Perlu Edukasi
Kendati bisnis paylater sangat menggiurkan bagi perbankan, konsumen harus berhati-hati dan tidak kebablasan. Berawal dari mudahnya mengakses pinjaman, pengguna paylater banyak mengaku keenakan sampai akhirnya terjebak pada tunggakan yang menguras pendapatan hingga menggagalkan banyak rencana keuangan lainnya.
Pemahaman rendah soal risiko paylater, ditambah mitigasi risiko gagal bayar yang lemah telah memicu fitur paylater ini seperti pinjaman online (pinjol) yang bisa berujung menjadi jerat utang yang melilit.
Bukan hanya di media sosial, fitur paylater yang berujung gagal bayar telah berulang kali menjadi pembahasan termasuk oleh OJK sendiri.
Merujuk data OJK, jumlah outstanding amount atau jumlah utang belum dibayarkan dari paylater mencapai Rp 25,16 triliun per semester I-2023. Sedangkan total outstanding, termasuk kredit macet atau non-performing loan (NPL) sebesar Rp 2,15 triliun yang berasal dari 13 juta pengguna fitur ini lebih dari dua kali lipat dari pengguna kartu kredit yang hanya 6 juta pengguna.
Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan NPL untuk paylater per April 2023 mencapai 9,7%. Angka tersebut jauh di batas aman yakni 5%. Hal yang lebih mengerikannya lagi, hampir setengah pengguna BNPL adalah usia muda. Dilaporkan usia 20-30 tahun menyumbang 47,78%.
OJK mengingatkan nilai pinjaman anak muda senilai Rp 300.000-Rp 400.000. Meski kecil, angka itu menjadi tunggakan dan akan mempengaruhi credit score mereka.
Kemudahan mengakses fitur paylater ini membuat banyak anak muda, bahkan yang belum berpenghasilan tetap seperti mahasiswa atau pelajar ikut menikmatinya. Fitur paylater menjadi pilihan paling realistis bagi kelompok yang belum bisa mengakses perbankan untuk bisa menikmati kredit, termasuk untuk hal konsumtif.
Terlebih lagi, saat ini paylater itu lebih dulu digunakan di banyak e-commerce yang menggandeg penyedia layanan multifinance dan P2P lending untuk menyediakan opsi pembayaran “beli sekarang, bayar nanti”. Alhasil, banyak anak muda yang berbondong-bondong membeli gawai atau barang-barang terkait fesyen tanpa memikirkan konsekuensi membayar tagihannya.
Persoalannya, literasi keuangan masyarakat Indonesia baru mencapai 49,68% berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 yang dilakukan OJK. Sehingga masih banyak masyarakat yang belum bisa mengelola keuangan dan kredit, sehingga paylater yang seharusnya bermanfaat malah menjadi menyusahkan.
Pengguna juga harus bisa mengukur kemampuan finansialnya sendiri dan memastikan total cicilan utang tidak melebihi 30% dari pendapatannya. Selain itu, ada risiko-risiko lain yang mengintai, seperti kesulitan mengajukan kredit-kredit lainnya yang bermanfaat semisal mengambil rumah karena skor kredit yang buruk ketika dilakukan BI checking atau sekarang disebut SLIK.
Penulis : Noviarizal Fernandez
Editor : Wahyu Arifin
MORE STORIES
Di Tengah Perang dan Pengungsian: Mengapa Warga Palestina Tak Mau Pergi?
Warga Palestina tetap bertahan di tengah perang karena keterikatan emosional terhadap tanah, identitas budaya, serta harapan akan masa depan yang ...
Context.id | 09-10-2024
Dua Pelopor Kecerdasan Buatan (AI) Raih Nobel Fisika 2024
Dua pelopor kecerdasan buatan (AI) menerima Nobel Fisika 2024 sebagai pengakuan atas kontribusi inovatif mereka dalam mengubah pemahaman kita tent ...
Context.id | 09-10-2024
Kembalinya Pedagang Maut Viktor Bout ke Perdagangan Senjata Global
Kembalinya Viktor Bout menggambarkan perjalanan kontroversialnya dari penjara menuju kembali terlibat dalam perdagangan senjata global yang komple ...
Context.id | 09-10-2024
Krisis Air Global, Tahun-tahun Terkering dalam Tiga Dekade
Krisis air global selama tiga dekade terakhir disebabkan oleh perubahan iklim dan pengelolaan yang buruk, berdampak pada lingkungan, sosial, dan e ...
Naufal Jauhar Nazhif | 09-10-2024
A modern exploration of business, societies, and ideas.
Powered by Bisnis Indonesia.
Copyright © 2024 - Context
Copyright © 2024 - Context