Warga Amerika Sebut Kuliah Tidak Lagi Bermanfaat, Kenapa?
Biaya yang semakin tinggi sehingga membuat mahasiswa terjerat utang pinjaman kuliah membuat warga AS banyak yang tidak ingin kuliah
Context.id, JAKARTA - Apakah kuliah memberikan nilai tambah dan peluang untuk lebih maju? Jika pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang Amerika Serikat, anda pasti akan mendapatkan jawaban; tidak!
Menurut survei Gallup Juni-Juli lalu, semakin banyak orang Amerika yang kehilangan kepercayaan pada pendidikan tinggi.
Akibatnya, warga Amerika kini terbagi hampir sama antara mereka yang memiliki keyakinan sangat tinggi atau cukup tinggi (36%), cukup yakin (32%), atau kurang atau tidak yakin (32%) terhadap pendidikan tinggi.
Melansir Newsweek, angka tersebut turun drastis dari satu dekade lalu, ketika 57% melaporkan memiliki kepercayaan yang sangat atau cukup besar pada pendidikan tinggi dan hanya 10 persen yang mengatakan bahwa mereka sedikit atau tidak memiliki kepercayaan sama sekali.
Bagi mereka yang mengatakan bahwa mereka sangat kurang atau tidak memiliki rasa percaya diri, 41% berbicara tentang perguruan tinggi yang "terlalu liberal" atau mencoba untuk "mengindoktrinasi" atau "mencuci otak" mahasiswa.
BACA JUGA
Sekitar 37% mengkritik perguruan tinggi yang tidak mengajarkan keterampilan yang relevan atau lulusan yang tidak dapat memperoleh pekerjaan, sementara 23% menyatakan kekhawatiran tentang biaya kuliah yang mahal atau utang yang menumpuk akibat mengambil pinjaman mahasiswa.
Survei lain yang dilakukan oleh EAB, yang sebelumnya bernama Education Advisory Board, menemukan sekitar 60% orang tua mahasiswa yang mendaftar ke perguruan tinggi paling khawatir tentang biaya kuliah.
Sementara sekitar 40% terkait tidak dapat penerimaan beasiswa dan 39% terkait dengan jumlah utang mahasiswa yang bunganya sangat mencekik. Setelah itu, kekhawatiran terbesar mereka adalah keselamatan anak-anak mereka di kampus, kekhawatiran ini muncul dari keluarga kulit berwarna atau hitam.
Beberapa orang tua juga lebih suka anak-anak mereka mendapatkan pengalaman hidup—dengan mendapatkan pekerjaan, mengikuti pelatihan kejuruan, memulai bisnis, atau melakukan pengabdian masyarakat—daripada langsung melanjutkan pendidikan tinggi.
Sekitar 46% orang tua mengatakan dalam survei Gallup tahun 2021 bahwa mereka lebih suka anak-anak mereka tidak mendaftar di perguruan tinggi empat tahun segera setelah sekolah menengah atas.
Banyak orang tua atau anak muda AS yang merasa tidak mendapatkan hal yang baru dan mengatakan pendidikan tinggi tidak akan meningkatkan prospek kariernya. Bagi mereka yang menolak pendidikan tinggi, pengalaman lebih membuat mereka berharga ketimbang ijazah.
Agenda politik
Bukan hanya soal itu, dari riset Gallup itu juga diketahui sebagian besar orang yang menolak kuliah menganggap kampus sebagai tempat di mana agenda politik didorong dan mahasiswa tidak diajarkan keterampilan yang mereka butuhkan untuk meraih kesuksesan dalam hidup, tetapi justru menempatkan mereka pada jalan menuju seumur hidup terlilit utang yang menindas.
Warga AS lebih mengarahkan anak-anaknya untuk sekolah kejuruan atau berinvestasi dengan cara lain untuk membangun kekayaan. Namun pada akhirnya, riset itu menuliskan semua itu bergantung pada apa yang mereka putuskan untuk karier mereka dan persyaratan yang diperlukan."
Aria Rafzar, profesor pendidikan di Chicago's College of Education, University of Illinois mengatakan beberapa pekerjaan bagus juga tidak memerlukan gelar, seperti menjadi pembuat aplikasi atau pekerjaan-pekerjaan lain di bidang teknologi yang saat ini berkembang pesat dan tidak selalu menjadi lulusan kampus sebagai hal utama.
"Munculnya industri teknologi, dengan berkurangnya ketergantungan pada sertifikasi perguruan tinggi, telah menyebabkan banyak siswa Generasi Z dan keluarga mereka bertanya-tanya apakah mereka benar-benar membutuhkan pendidikan tinggi," seperti dikutip dari Newsweek.
Tidak jauh berbeda dengan pernyataan Aria, survei Varying Degrees 2024 yang dilakukan New America menemukan mayoritas 63% anak muda Amerika dari Generasi Z setuju ada banyak pekerjaan tetap dengan gaji tinggi bagi orang yang hanya memiliki ijazah sekolah menengah atas.
Namun, lebih banyak lagi yang setuju bahwa akan lebih mudah bagi mereka yang memiliki gelar sarjana.
Memang, menurut survei ini mengatakan ada beberapa perusahaan menghapus persyaratan untuk gelar sarjana dan mengutamakan keterampilan serta pengalaman dibandingkan pendidikan.
Intelligent, perusahaan persiapan kuliah juga melakukan survei untuk bertanya seberapa penting perusahaan memperhatikan latar belakang pendidikan pekerja. Dari riset itu ditemukan, satu dari tiga perusahaan di AS mengatakan telah menghapus persyaratan gelar sarjana dari beberapa posisi pada tahun 2024.
Survei ini meneliti 750 perusahaan di AS dan menemukan 59% perusahaan menghapus syarat itu untuk posisi tingkat pemula, 54% untuk posisi tingkat menengah dan 18% untuk posisi tingkat senior.
Huy Nguyen penaseht utama Intelligent mengatakan perusahaan memperoleh akses ke kumpulan bakat yang lebih besar dan lebih beragam, terutama saat ingin mengisi peran di industri yang menghadapi kekurangan tenaga kerja atau mencari keterampilan khusus yang mungkin tidak dipelajari siswa di perguruan tinggi.
Hilangnya kepercayaan
Sean Reardon, seorang profesor kemiskinan dan kesenjangan dalam pendidikan di Universitas Stanford kepada Newsweek mengatakan sangat terkejut warga AS kehilangan kepercayaan pada pendidikan tinggi saat nilai ekonomi dari gelar sarjana tetap sangat tinggi.
Pada periode 50 dan 60-an, mereka yang tidak memiliki gelar sarjana dapat memperoleh pekerjaan yang baik di bidang manufaktur atau industri otomotif, misalnya, katanya.
Namun, saat ini Sean menilai pasar tenaga kerja sudah sangat berbeda dan sebagian besar pekerjaan bergaji tinggi memerlukan gelar sarjana atau lebih, tanpa gelar tersebut seseorang kemungkinan besar hanya akan memperoleh pekerjaan bergaji rendah.
Bukan hanya itu, meskipun kepercayaan terhadap pendidikan tinggi menurun, jumlah pendaftaran perguruan tinggi telah meningkat selama setahun terakhir.
Perguruan tinggi di seluruh negeri mengalami penurunan pendaftaran mahasiswa sarjana selama pandemi Covid-19 .
Namun, meskipun angka pendaftaran mahasiswa sarjana masih di bawah tingkat sebelum pandemi, jumlah tersebut meningkat pada musim semi ini dan musim gugur lalu, menurut laporan terbaru dari National Student Clearinghouse.
Lebih dari separuh pertumbuhan tersebut disebabkan oleh perguruan tinggi negeri, tetapi laporan tersebut mengatakan pendaftaran di lembaga pendidikan empat tahun nirlaba negeri dan swasta juga meningkat pada musim semi ini setelah bertahun-tahun mengalami penurunan.
Jika melihat dari uraian sebelumnya, alasan paling jelas untuk terkikisnya kepercayaan terhadap pendidikan tinggi selama dekade terakhir adalah ekonomi.
Pendanaan untuk pendidikan tinggi negeri telah menurun secara signifikan sejak resesi 2008 sehingga kampus mengalihkan beban keuangan kepada mahasiswa dan keluarga.
Hal ini juga yang membuat bidang studi humaniora dan seni kehilangan peminatnya atau bahkan ditutup karena dianggap tidak bisa menghasilkan uang yang banyak dibandingkan bidang sains, bisnis atau teknologi
Tidak jauh berbeda dengan di Amerika Serikat, saat ini biaya pendidikan tinggi di Indonesia juga terus melejit. Belum lama ini, bahkan banyak mahasiswa di seluruh kampus negeri di Indonesia yang menggelar unjuk rasa karena menolak untuk meminjam uang kuliah di pinjaman online (pinjol)
Beberapa kampus diketahui sudah menjalin kerja sama dengan pinjol untuk memberikan pinjaman bagi mahasiswa yang nunggak kuliah. Persoalannya, pinjaman di pinjol itu memiliki bunga yang tinggi dan membuat mahasiswa terjerat utang.
Dalam pemberitaan Context sebelumnya, pemerintah juga sedang mengkaji skema pinjaman mahasiswa mengikuti AS dan beberapa negara maju lainnya.
RELATED ARTICLES
Warga Amerika Sebut Kuliah Tidak Lagi Bermanfaat, Kenapa?
Biaya yang semakin tinggi sehingga membuat mahasiswa terjerat utang pinjaman kuliah membuat warga AS banyak yang tidak ingin kuliah
Context.id, JAKARTA - Apakah kuliah memberikan nilai tambah dan peluang untuk lebih maju? Jika pertanyaan ini diajukan kepada orang-orang Amerika Serikat, anda pasti akan mendapatkan jawaban; tidak!
Menurut survei Gallup Juni-Juli lalu, semakin banyak orang Amerika yang kehilangan kepercayaan pada pendidikan tinggi.
Akibatnya, warga Amerika kini terbagi hampir sama antara mereka yang memiliki keyakinan sangat tinggi atau cukup tinggi (36%), cukup yakin (32%), atau kurang atau tidak yakin (32%) terhadap pendidikan tinggi.
Melansir Newsweek, angka tersebut turun drastis dari satu dekade lalu, ketika 57% melaporkan memiliki kepercayaan yang sangat atau cukup besar pada pendidikan tinggi dan hanya 10 persen yang mengatakan bahwa mereka sedikit atau tidak memiliki kepercayaan sama sekali.
Bagi mereka yang mengatakan bahwa mereka sangat kurang atau tidak memiliki rasa percaya diri, 41% berbicara tentang perguruan tinggi yang "terlalu liberal" atau mencoba untuk "mengindoktrinasi" atau "mencuci otak" mahasiswa.
BACA JUGA
Sekitar 37% mengkritik perguruan tinggi yang tidak mengajarkan keterampilan yang relevan atau lulusan yang tidak dapat memperoleh pekerjaan, sementara 23% menyatakan kekhawatiran tentang biaya kuliah yang mahal atau utang yang menumpuk akibat mengambil pinjaman mahasiswa.
Survei lain yang dilakukan oleh EAB, yang sebelumnya bernama Education Advisory Board, menemukan sekitar 60% orang tua mahasiswa yang mendaftar ke perguruan tinggi paling khawatir tentang biaya kuliah.
Sementara sekitar 40% terkait tidak dapat penerimaan beasiswa dan 39% terkait dengan jumlah utang mahasiswa yang bunganya sangat mencekik. Setelah itu, kekhawatiran terbesar mereka adalah keselamatan anak-anak mereka di kampus, kekhawatiran ini muncul dari keluarga kulit berwarna atau hitam.
Beberapa orang tua juga lebih suka anak-anak mereka mendapatkan pengalaman hidup—dengan mendapatkan pekerjaan, mengikuti pelatihan kejuruan, memulai bisnis, atau melakukan pengabdian masyarakat—daripada langsung melanjutkan pendidikan tinggi.
Sekitar 46% orang tua mengatakan dalam survei Gallup tahun 2021 bahwa mereka lebih suka anak-anak mereka tidak mendaftar di perguruan tinggi empat tahun segera setelah sekolah menengah atas.
Banyak orang tua atau anak muda AS yang merasa tidak mendapatkan hal yang baru dan mengatakan pendidikan tinggi tidak akan meningkatkan prospek kariernya. Bagi mereka yang menolak pendidikan tinggi, pengalaman lebih membuat mereka berharga ketimbang ijazah.
Agenda politik
Bukan hanya soal itu, dari riset Gallup itu juga diketahui sebagian besar orang yang menolak kuliah menganggap kampus sebagai tempat di mana agenda politik didorong dan mahasiswa tidak diajarkan keterampilan yang mereka butuhkan untuk meraih kesuksesan dalam hidup, tetapi justru menempatkan mereka pada jalan menuju seumur hidup terlilit utang yang menindas.
Warga AS lebih mengarahkan anak-anaknya untuk sekolah kejuruan atau berinvestasi dengan cara lain untuk membangun kekayaan. Namun pada akhirnya, riset itu menuliskan semua itu bergantung pada apa yang mereka putuskan untuk karier mereka dan persyaratan yang diperlukan."
Aria Rafzar, profesor pendidikan di Chicago's College of Education, University of Illinois mengatakan beberapa pekerjaan bagus juga tidak memerlukan gelar, seperti menjadi pembuat aplikasi atau pekerjaan-pekerjaan lain di bidang teknologi yang saat ini berkembang pesat dan tidak selalu menjadi lulusan kampus sebagai hal utama.
"Munculnya industri teknologi, dengan berkurangnya ketergantungan pada sertifikasi perguruan tinggi, telah menyebabkan banyak siswa Generasi Z dan keluarga mereka bertanya-tanya apakah mereka benar-benar membutuhkan pendidikan tinggi," seperti dikutip dari Newsweek.
Tidak jauh berbeda dengan pernyataan Aria, survei Varying Degrees 2024 yang dilakukan New America menemukan mayoritas 63% anak muda Amerika dari Generasi Z setuju ada banyak pekerjaan tetap dengan gaji tinggi bagi orang yang hanya memiliki ijazah sekolah menengah atas.
Namun, lebih banyak lagi yang setuju bahwa akan lebih mudah bagi mereka yang memiliki gelar sarjana.
Memang, menurut survei ini mengatakan ada beberapa perusahaan menghapus persyaratan untuk gelar sarjana dan mengutamakan keterampilan serta pengalaman dibandingkan pendidikan.
Intelligent, perusahaan persiapan kuliah juga melakukan survei untuk bertanya seberapa penting perusahaan memperhatikan latar belakang pendidikan pekerja. Dari riset itu ditemukan, satu dari tiga perusahaan di AS mengatakan telah menghapus persyaratan gelar sarjana dari beberapa posisi pada tahun 2024.
Survei ini meneliti 750 perusahaan di AS dan menemukan 59% perusahaan menghapus syarat itu untuk posisi tingkat pemula, 54% untuk posisi tingkat menengah dan 18% untuk posisi tingkat senior.
Huy Nguyen penaseht utama Intelligent mengatakan perusahaan memperoleh akses ke kumpulan bakat yang lebih besar dan lebih beragam, terutama saat ingin mengisi peran di industri yang menghadapi kekurangan tenaga kerja atau mencari keterampilan khusus yang mungkin tidak dipelajari siswa di perguruan tinggi.
Hilangnya kepercayaan
Sean Reardon, seorang profesor kemiskinan dan kesenjangan dalam pendidikan di Universitas Stanford kepada Newsweek mengatakan sangat terkejut warga AS kehilangan kepercayaan pada pendidikan tinggi saat nilai ekonomi dari gelar sarjana tetap sangat tinggi.
Pada periode 50 dan 60-an, mereka yang tidak memiliki gelar sarjana dapat memperoleh pekerjaan yang baik di bidang manufaktur atau industri otomotif, misalnya, katanya.
Namun, saat ini Sean menilai pasar tenaga kerja sudah sangat berbeda dan sebagian besar pekerjaan bergaji tinggi memerlukan gelar sarjana atau lebih, tanpa gelar tersebut seseorang kemungkinan besar hanya akan memperoleh pekerjaan bergaji rendah.
Bukan hanya itu, meskipun kepercayaan terhadap pendidikan tinggi menurun, jumlah pendaftaran perguruan tinggi telah meningkat selama setahun terakhir.
Perguruan tinggi di seluruh negeri mengalami penurunan pendaftaran mahasiswa sarjana selama pandemi Covid-19 .
Namun, meskipun angka pendaftaran mahasiswa sarjana masih di bawah tingkat sebelum pandemi, jumlah tersebut meningkat pada musim semi ini dan musim gugur lalu, menurut laporan terbaru dari National Student Clearinghouse.
Lebih dari separuh pertumbuhan tersebut disebabkan oleh perguruan tinggi negeri, tetapi laporan tersebut mengatakan pendaftaran di lembaga pendidikan empat tahun nirlaba negeri dan swasta juga meningkat pada musim semi ini setelah bertahun-tahun mengalami penurunan.
Jika melihat dari uraian sebelumnya, alasan paling jelas untuk terkikisnya kepercayaan terhadap pendidikan tinggi selama dekade terakhir adalah ekonomi.
Pendanaan untuk pendidikan tinggi negeri telah menurun secara signifikan sejak resesi 2008 sehingga kampus mengalihkan beban keuangan kepada mahasiswa dan keluarga.
Hal ini juga yang membuat bidang studi humaniora dan seni kehilangan peminatnya atau bahkan ditutup karena dianggap tidak bisa menghasilkan uang yang banyak dibandingkan bidang sains, bisnis atau teknologi
Tidak jauh berbeda dengan di Amerika Serikat, saat ini biaya pendidikan tinggi di Indonesia juga terus melejit. Belum lama ini, bahkan banyak mahasiswa di seluruh kampus negeri di Indonesia yang menggelar unjuk rasa karena menolak untuk meminjam uang kuliah di pinjaman online (pinjol)
Beberapa kampus diketahui sudah menjalin kerja sama dengan pinjol untuk memberikan pinjaman bagi mahasiswa yang nunggak kuliah. Persoalannya, pinjaman di pinjol itu memiliki bunga yang tinggi dan membuat mahasiswa terjerat utang.
Dalam pemberitaan Context sebelumnya, pemerintah juga sedang mengkaji skema pinjaman mahasiswa mengikuti AS dan beberapa negara maju lainnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES