Broadcash: Tantangan dan Peluang Pengelolaan Pariwisata Indonesia
Dalam mengelola pariwisata, pelaku usaha atau industri ini harus memahami paradigma yang berkembang di sektor ini
Context.id, JAKARTA - Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia tahun 2024 yang dikeluarkan oleh PBB, menempatkan Indonesia ke dalam posisi 112.
Posisi Indonesia jauh dari negara Asean lainnya seperti Singapura yang ada di urutan ke-9, Brunei Darussalam di peringkat 55, Malaysia ranking ke-63, Thailand urutan 66, dan Vietnam di urutan 107.
Azril Azhari, Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) mengatakan pembangunan manusia sangat mempengaruhi daya saing sektor pariwisata.
Menurutnya, pengelola pariwisata perlu memahami sektor ini secara komprehensif, semisal istilah yang bukan hanya diartikan sebagai kata saja.
"Semisal destinasi, itu adalah a new way of seeing things yang tidak hanya dianggap sebagai suatu tempat. Lalu ada juga istilah visitors atau pengunjung, bisa dilihat dua. Pertama turis atau wisatawan, yang kedua ekskursionis atau pelancong, yang melakukan perjalanan pulang pergi. Jadi jangan ngasal saja," jelasnya.
BACA JUGA
Pengunjung atau visitors erat kaitannya dengan aspek safety dan security dalam pariwisata. Kedua aspek tersebut masuk ke dalam laporan Travel and Tourism Development Index 2024 yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF).
Pada kategori lingkungan yang mendukung, Indonesia berada dalam peringkat ke-22 dengan skor 4,46. Azril menilai safety dan security dalam pariwisata harus berjalan beriringan.
Terkadang, soal keamanan menjadi tantangan bagi perkembangan pariwisata di negara-negara dunia ketiga. Bagi tturis dari negara maju, negara di Asia terkadang rawan untuk dikunjungi.
Soal ini juga jadi perhatian pemerintah. Soal safety dan security, ini tercantum dalam Indeks Pembangunan Kepariwisataan Nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan dan kualitas kepariwisataan Indonesia.
Menurut Azril, ada beberapa indikator yang dapat menjadi penilaian bagi sebuah negara agar aman dikunjungi. Pertama, kriminalitas seperti pembunuhan, pencurian, dan pembegalan.
Kedua, tingkat polusi, tempat dengan polusi tinggi dihindari oleh wisatawan. Ketiga, potensi bencana alam di negara tersebut. Keempat, lalu lintas.
Terakhir adalah physical carrying capacity, yaitu kapasitas terpasang untuk menampung wisatawan dalam satu tempat.
Paradigma Pariwisata
Terkait permasalahan pariwisata di Indonesia, Azril menyinggung soal pergeseran paradigma pariwisata. Menurutnya, sebelum 80an, Indonesia gencar menggalakkan mass tourism dengan tourist behaviournya yaitu 3S, sun (matahari), sand (pasir), dan sea (laut).
Namun sesudah periode itu mulai beralih ke paradigma alternative tourism yang lebih condong ke social culture.
Begitu memasuki periode 2000an, paradigmanya berubah lagi menjadi quality tourism yang mengedepankan tiga aspek, serenity (ketenangan), spirituality (spiritualitas), dan sustainability (keberlanjutan).
Memasuki pandemi covid pada 2020, berganti paradigma menjadi customize tourism, dengan tiga komponen yaitu personalize, localize, dan small in size.
Ketiga komponen ini mengarah kepada minat khusus dalam tourist behaviour termasuk safety dan security.
Dari sini berkembang lagi paradigma science and technology tourism, yang tidak hanya mengedepankan aspek safety dan security tetapi juga sehat dan higienis.
Indonesia yang sudah beberapa kali diterpa bencana alam sebenarnya bisa membuka peluang dalam sektor pariwisata.
Menurut Azril, hal itu lazim disebut dengan dark tourism atau wisata hitam. Salah satu contohnya adalah Museum Tsunami Aceh yang dibangun untuk pengingat simbolis bencana yang terjadi tahun 2004.
Azril menambahkan, sebenarnya hal seperti itu mampu menjadi peluang yang bagus untuk dikaji.
Tak hanya sebagai ajang edukasi, peluang ini juga dapat melibatkan penduduk setempat atau yang Azril sebut sebagai participatory atau involvement dari pengunjung.
Kontributor: Fadlan Priatna
RELATED ARTICLES
Broadcash: Tantangan dan Peluang Pengelolaan Pariwisata Indonesia
Dalam mengelola pariwisata, pelaku usaha atau industri ini harus memahami paradigma yang berkembang di sektor ini
Context.id, JAKARTA - Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia tahun 2024 yang dikeluarkan oleh PBB, menempatkan Indonesia ke dalam posisi 112.
Posisi Indonesia jauh dari negara Asean lainnya seperti Singapura yang ada di urutan ke-9, Brunei Darussalam di peringkat 55, Malaysia ranking ke-63, Thailand urutan 66, dan Vietnam di urutan 107.
Azril Azhari, Ketua Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia (ICPI) mengatakan pembangunan manusia sangat mempengaruhi daya saing sektor pariwisata.
Menurutnya, pengelola pariwisata perlu memahami sektor ini secara komprehensif, semisal istilah yang bukan hanya diartikan sebagai kata saja.
"Semisal destinasi, itu adalah a new way of seeing things yang tidak hanya dianggap sebagai suatu tempat. Lalu ada juga istilah visitors atau pengunjung, bisa dilihat dua. Pertama turis atau wisatawan, yang kedua ekskursionis atau pelancong, yang melakukan perjalanan pulang pergi. Jadi jangan ngasal saja," jelasnya.
BACA JUGA
Pengunjung atau visitors erat kaitannya dengan aspek safety dan security dalam pariwisata. Kedua aspek tersebut masuk ke dalam laporan Travel and Tourism Development Index 2024 yang dibuat oleh World Economic Forum (WEF).
Pada kategori lingkungan yang mendukung, Indonesia berada dalam peringkat ke-22 dengan skor 4,46. Azril menilai safety dan security dalam pariwisata harus berjalan beriringan.
Terkadang, soal keamanan menjadi tantangan bagi perkembangan pariwisata di negara-negara dunia ketiga. Bagi tturis dari negara maju, negara di Asia terkadang rawan untuk dikunjungi.
Soal ini juga jadi perhatian pemerintah. Soal safety dan security, ini tercantum dalam Indeks Pembangunan Kepariwisataan Nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan dan kualitas kepariwisataan Indonesia.
Menurut Azril, ada beberapa indikator yang dapat menjadi penilaian bagi sebuah negara agar aman dikunjungi. Pertama, kriminalitas seperti pembunuhan, pencurian, dan pembegalan.
Kedua, tingkat polusi, tempat dengan polusi tinggi dihindari oleh wisatawan. Ketiga, potensi bencana alam di negara tersebut. Keempat, lalu lintas.
Terakhir adalah physical carrying capacity, yaitu kapasitas terpasang untuk menampung wisatawan dalam satu tempat.
Paradigma Pariwisata
Terkait permasalahan pariwisata di Indonesia, Azril menyinggung soal pergeseran paradigma pariwisata. Menurutnya, sebelum 80an, Indonesia gencar menggalakkan mass tourism dengan tourist behaviournya yaitu 3S, sun (matahari), sand (pasir), dan sea (laut).
Namun sesudah periode itu mulai beralih ke paradigma alternative tourism yang lebih condong ke social culture.
Begitu memasuki periode 2000an, paradigmanya berubah lagi menjadi quality tourism yang mengedepankan tiga aspek, serenity (ketenangan), spirituality (spiritualitas), dan sustainability (keberlanjutan).
Memasuki pandemi covid pada 2020, berganti paradigma menjadi customize tourism, dengan tiga komponen yaitu personalize, localize, dan small in size.
Ketiga komponen ini mengarah kepada minat khusus dalam tourist behaviour termasuk safety dan security.
Dari sini berkembang lagi paradigma science and technology tourism, yang tidak hanya mengedepankan aspek safety dan security tetapi juga sehat dan higienis.
Indonesia yang sudah beberapa kali diterpa bencana alam sebenarnya bisa membuka peluang dalam sektor pariwisata.
Menurut Azril, hal itu lazim disebut dengan dark tourism atau wisata hitam. Salah satu contohnya adalah Museum Tsunami Aceh yang dibangun untuk pengingat simbolis bencana yang terjadi tahun 2004.
Azril menambahkan, sebenarnya hal seperti itu mampu menjadi peluang yang bagus untuk dikaji.
Tak hanya sebagai ajang edukasi, peluang ini juga dapat melibatkan penduduk setempat atau yang Azril sebut sebagai participatory atau involvement dari pengunjung.
Kontributor: Fadlan Priatna
POPULAR
RELATED ARTICLES