Dampingi Korban Kekerasan Seksual Malah Terjerat UU ITE
Penyidik dianggap tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus kekerasan seksual
Context.id, JAKARTA - Nahas dialami Meila Nurul Fajriah. Getol mendampingi korban kekerasan seksual, dia malah dijadikan tersangka melalui pasal karet di UU ITE.
Pada Senin, (24/6/2024), penyidik Polda DIY menetapkan Meila Nurul Fajriah sebagai tersangka pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE jo Pasal 45 Ayat (3) UU ITE.
Penetapan ini bermula saat Meila yang merupakan pengacara pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, melakukan pendampingan kasus kekerasan seksual di daerah itu.
Berdasarkan catatan tertulis yang disebarkan diterima Jumat (26/7/2024), pendampingan kasus ini dimulai pada April 2020.
Saat itu, dia 30 korban kekerasan seksual baik langsung maupun secara online yang diduga kuat dilakukan oleh satu pelaku yakni IM yang adalah mahasiswa pada Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
BACA JUGA
Pada tahun yang sama, IM kemudian melaporkan tiga orang pengacara LBH Yogyakarta termasuk Meila ke Polda DIY dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menyebutkan nama lengkapnya saat melakukan siaran pers.
Alih-alih mendapatkan dukungan dan perlindungan oleh aparat penegak hukum, Meila justru ditetapkan tersangka.
Selama proses penanganan kasus ini, penyidik dinilai oleh koalisi masyarakat sipil, tidak berdiri atas asas kredibilitas dalam penyidikan sebagaimana diatur dalam Perkapolri No 15/2006 tentang Kode Etik Profesi Penyidik Polri.
Penyidik dianggap tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus kekerasan seksual.
Padahal dalam waktu yang bersamaan, LBH Yogyakarta juga telah menginformasikan bahwa kasus ini telah diselidiki oleh pihak universitas dan yang salah satunya telah dibuktikan oleh rektor UII sebagai dasar pencopotan status IM sebagai mahasiswa berprestasi (Mawapres UII).
Patut diketahui, pasca dicabutnya gelar mahasiswa berprestasi tersebut, IM juga melayangkan gugatan ke UII lewat PTUN Yogyakarta.
Dalam persidangan tersebut, Rektor UII melalui Tim Pendampingan dan Advokasi setidaknya menemukan fakta bahwa terdapat empat korban dan berdampak buruk kondisi psikologis korban, bahkan satu di antaranya sempat berpikir untuk lakukan bunuh diri.
“Putusan serta pemeriksaan yang dilakukan oleh Rektor UII di atas tidak dijadikan muatan penting oleh Polda DIY sebagai kenyataan bahwa IM telah melakukan tindakan kekerasan seksual," ujar Indiah Wahyu Andari, Direktur Rifka Annisa Woman Crisis Centre.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU ITE tahun 2021 yang menyebutkan bahwa menyampaikan kenyataan atau fakta bukanlah bagian dari delik pencemaran nama baik.
Dai menilai penetapan tersangka oleh Polda DIY merupakan serangan serius terhadap pendamping korban kekerasan seksual yang pada akhirnya menjadi preseden buruk kepada seluruh korban kekerasan seksual di tanah air.
Polda DIY dinilai telah serampangan dan menganulir hak impunitas advokat sebagaimana diatur dalam UU 18/2003 tentang Advokat, hak impunitas pemberi bantuan hukum sebagaimana dalam UU 16/2011 Bantuan Hukum dan hak impunitas pendamping korban dalam UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Perempuan pembela HAM seharusnya menjadi salah satu elemen kunci dalam mendorong penegakan HAM di masyarakat. Kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM menggambarkan perlindungan kepada perempuan, baik korban maupun pembela HAM belum sepenuhnya dilakukan dan menjadi perhatian negara,” pungkasnya.
RELATED ARTICLES
Dampingi Korban Kekerasan Seksual Malah Terjerat UU ITE
Penyidik dianggap tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus kekerasan seksual
Context.id, JAKARTA - Nahas dialami Meila Nurul Fajriah. Getol mendampingi korban kekerasan seksual, dia malah dijadikan tersangka melalui pasal karet di UU ITE.
Pada Senin, (24/6/2024), penyidik Polda DIY menetapkan Meila Nurul Fajriah sebagai tersangka pencemaran nama baik sesuai dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE jo Pasal 45 Ayat (3) UU ITE.
Penetapan ini bermula saat Meila yang merupakan pengacara pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, melakukan pendampingan kasus kekerasan seksual di daerah itu.
Berdasarkan catatan tertulis yang disebarkan diterima Jumat (26/7/2024), pendampingan kasus ini dimulai pada April 2020.
Saat itu, dia 30 korban kekerasan seksual baik langsung maupun secara online yang diduga kuat dilakukan oleh satu pelaku yakni IM yang adalah mahasiswa pada Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
BACA JUGA
Pada tahun yang sama, IM kemudian melaporkan tiga orang pengacara LBH Yogyakarta termasuk Meila ke Polda DIY dengan tuduhan pencemaran nama baik karena menyebutkan nama lengkapnya saat melakukan siaran pers.
Alih-alih mendapatkan dukungan dan perlindungan oleh aparat penegak hukum, Meila justru ditetapkan tersangka.
Selama proses penanganan kasus ini, penyidik dinilai oleh koalisi masyarakat sipil, tidak berdiri atas asas kredibilitas dalam penyidikan sebagaimana diatur dalam Perkapolri No 15/2006 tentang Kode Etik Profesi Penyidik Polri.
Penyidik dianggap tidak memperhatikan dan berupaya mencari fakta-fakta yang akurat berkaitan dengan kasus kekerasan seksual.
Padahal dalam waktu yang bersamaan, LBH Yogyakarta juga telah menginformasikan bahwa kasus ini telah diselidiki oleh pihak universitas dan yang salah satunya telah dibuktikan oleh rektor UII sebagai dasar pencopotan status IM sebagai mahasiswa berprestasi (Mawapres UII).
Patut diketahui, pasca dicabutnya gelar mahasiswa berprestasi tersebut, IM juga melayangkan gugatan ke UII lewat PTUN Yogyakarta.
Dalam persidangan tersebut, Rektor UII melalui Tim Pendampingan dan Advokasi setidaknya menemukan fakta bahwa terdapat empat korban dan berdampak buruk kondisi psikologis korban, bahkan satu di antaranya sempat berpikir untuk lakukan bunuh diri.
“Putusan serta pemeriksaan yang dilakukan oleh Rektor UII di atas tidak dijadikan muatan penting oleh Polda DIY sebagai kenyataan bahwa IM telah melakukan tindakan kekerasan seksual," ujar Indiah Wahyu Andari, Direktur Rifka Annisa Woman Crisis Centre.
Hal ini sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tentang Pedoman Implementasi UU ITE tahun 2021 yang menyebutkan bahwa menyampaikan kenyataan atau fakta bukanlah bagian dari delik pencemaran nama baik.
Dai menilai penetapan tersangka oleh Polda DIY merupakan serangan serius terhadap pendamping korban kekerasan seksual yang pada akhirnya menjadi preseden buruk kepada seluruh korban kekerasan seksual di tanah air.
Polda DIY dinilai telah serampangan dan menganulir hak impunitas advokat sebagaimana diatur dalam UU 18/2003 tentang Advokat, hak impunitas pemberi bantuan hukum sebagaimana dalam UU 16/2011 Bantuan Hukum dan hak impunitas pendamping korban dalam UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Perempuan pembela HAM seharusnya menjadi salah satu elemen kunci dalam mendorong penegakan HAM di masyarakat. Kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM menggambarkan perlindungan kepada perempuan, baik korban maupun pembela HAM belum sepenuhnya dilakukan dan menjadi perhatian negara,” pungkasnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES