Dutch Wife, Guling dan Era Kolonial
Pada masa penjajahan Belanda, guling lebih dikenal dengan nama Dutch Wife yang secara arti adalah istri Belanda
Context.id, JAKARTA - Saat tidur, umumnya orang Indonesia akan menggunakan bantal dan guling sebagai pelengkap. Tak afdol rasanya jika tidur tidak menggunakan kedua benda tadi.
Guling yang berbentuk tabung dengan panjang hampir menyamai tinggi badan manusia dipadukan dengan bantal persegi panjang sebagai sandaran kepala adalah kombinasi yang nyaman saat tidur.
Namun siapa sangka bahwa ternyata guling hanya ada di Indonesia bahkan sejak zaman kolonial.
Pada masa penjajahan Belanda, guling lebih dikenal dengan nama “Dutch Wife” yang secara arti adalah istri Belanda.
Penggunaan istilah tersebut bukan tanpa alasan. Guling sendiri merupakan hasil dari kebiasaan melajang para tentara dan pejabat negeri kincir angin di Hindia Belanda dulu.
BACA JUGA
Saat itu banyak sekali orang Belanda yang tidak memboyong istri atau pasangannya ke Indonesia.
Imbas tidak adanya wanita Eropa kala itu, para pria Belanda mencari bermacam cara agar bisa menyalurkan hasratnya.
Bagi pria Belanda bergelimang uang tentu saja tidak akan kesulitan untuk mendatangkan istri atau pasangannya ke Indonesia.
Jika pun uangnya pas-pasan, pilihannya adalah menjadikan wanita pribumi sebagai Nyai.
Rumah bordil menjadi persinggahan selanjutnya tatkala orang-orang Belanda tidak mau menjadikan wanita pribumi sebagai Nyai.
Menjadi kaya memang tidak secepat kilat, tapi libido bukanlah hal lain. Pilihan terakhir yang orang Belanda bisa lakukan adalah menyulap guling sebagai sarana fantasi pelepas hasrat.
Terdapat beberapa literasi menyinggung soal sejarah guling.
Dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 (2000), karya Haryoto Kunto & Deddy H. Pakpahan menyebut, guling menjadi peralatan tidur khas Belanda dan seringkali disebut “Dutch Wife” alias Istri Belanda.
Selain itu, Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1965), mengatakan bahwa Soekarno merasa bangga dengan adanya guling sebagai identitas bangsa.
Kutipan tersebut berbunyi:
“Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kami lah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat‐ panjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam.”
Selain di Indonesia, guling juga dikenal di kawasan Asia Timur meski hanya pemakaian dan bahan baku pembuatannya saja yang berbeda dengan yang ada di Asia Tenggara.
Di Korea Selatan, tepatnya pada masa Dinasti Goryeo, guling terbuat dari anyaman bambu dengan nama Jukbuin.
Jukbuin digunakan saat musim panas agar membantu orang cepat tidur di cuaca yang terik.
Guling ini dibuat dengan mengikat helaian bambu yang dipotong tipis dan dirangkai menjadi tabung besar.
Bagian dalamnya dikosongkan supaya aliran udara dapat masuk, sehingga permukaan bantal menjadi lebih sejuk dan mengurangi rasa panas.
Kontributor: Fadlan Priatna
RELATED ARTICLES
Dutch Wife, Guling dan Era Kolonial
Pada masa penjajahan Belanda, guling lebih dikenal dengan nama Dutch Wife yang secara arti adalah istri Belanda
Context.id, JAKARTA - Saat tidur, umumnya orang Indonesia akan menggunakan bantal dan guling sebagai pelengkap. Tak afdol rasanya jika tidur tidak menggunakan kedua benda tadi.
Guling yang berbentuk tabung dengan panjang hampir menyamai tinggi badan manusia dipadukan dengan bantal persegi panjang sebagai sandaran kepala adalah kombinasi yang nyaman saat tidur.
Namun siapa sangka bahwa ternyata guling hanya ada di Indonesia bahkan sejak zaman kolonial.
Pada masa penjajahan Belanda, guling lebih dikenal dengan nama “Dutch Wife” yang secara arti adalah istri Belanda.
Penggunaan istilah tersebut bukan tanpa alasan. Guling sendiri merupakan hasil dari kebiasaan melajang para tentara dan pejabat negeri kincir angin di Hindia Belanda dulu.
BACA JUGA
Saat itu banyak sekali orang Belanda yang tidak memboyong istri atau pasangannya ke Indonesia.
Imbas tidak adanya wanita Eropa kala itu, para pria Belanda mencari bermacam cara agar bisa menyalurkan hasratnya.
Bagi pria Belanda bergelimang uang tentu saja tidak akan kesulitan untuk mendatangkan istri atau pasangannya ke Indonesia.
Jika pun uangnya pas-pasan, pilihannya adalah menjadikan wanita pribumi sebagai Nyai.
Rumah bordil menjadi persinggahan selanjutnya tatkala orang-orang Belanda tidak mau menjadikan wanita pribumi sebagai Nyai.
Menjadi kaya memang tidak secepat kilat, tapi libido bukanlah hal lain. Pilihan terakhir yang orang Belanda bisa lakukan adalah menyulap guling sebagai sarana fantasi pelepas hasrat.
Terdapat beberapa literasi menyinggung soal sejarah guling.
Dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 (2000), karya Haryoto Kunto & Deddy H. Pakpahan menyebut, guling menjadi peralatan tidur khas Belanda dan seringkali disebut “Dutch Wife” alias Istri Belanda.
Selain itu, Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1965), mengatakan bahwa Soekarno merasa bangga dengan adanya guling sebagai identitas bangsa.
Kutipan tersebut berbunyi:
“Manusia Indonesia hidup dengan getaran perasaan. Kami lah satu‐satunya bangsa di dunia yang mempunyai sejenis bantal yang dipergunakan sekedar untuk dirangkul. Di setiap tempat‐tidur orang Indonesia terdapat sebuah bantal sebagai kalang hulu dan sebuah lagi bantal kecil berbentuk bulat‐ panjang yang dinamai guling. Guling ini bagi kami gunanya hanya untuk dirangkul sepanjang malam.”
Selain di Indonesia, guling juga dikenal di kawasan Asia Timur meski hanya pemakaian dan bahan baku pembuatannya saja yang berbeda dengan yang ada di Asia Tenggara.
Di Korea Selatan, tepatnya pada masa Dinasti Goryeo, guling terbuat dari anyaman bambu dengan nama Jukbuin.
Jukbuin digunakan saat musim panas agar membantu orang cepat tidur di cuaca yang terik.
Guling ini dibuat dengan mengikat helaian bambu yang dipotong tipis dan dirangkai menjadi tabung besar.
Bagian dalamnya dikosongkan supaya aliran udara dapat masuk, sehingga permukaan bantal menjadi lebih sejuk dan mengurangi rasa panas.
Kontributor: Fadlan Priatna
POPULAR
RELATED ARTICLES