Share

Stories 20 Juni 2024

Fenomena Ageisme Bisa Pengaruhi Umur Lansia

Fenomena Ageisme atau prasangka dan diskriminasi terhadap individu berdasarkan usia saat ini terus menguat

A billboard used in England’s campaign to fight ageism. COURTESY OF CENTRE FOR AGING BETTER

Context.id, JAKARTA - Fenomena Ageisme atau prasangka dan diskriminasi terhadap individu berdasarkan usia saat ini terus menguat. Diskriminasi seperti ini hampir mirip dengan rasisme dan seksisme dan telah menjadi kebudayaan global yang patut disoroti oleh pemerintah.

Di tempat kerja, ageisme menganggap usia tertentu sudah tidak produktif lagi. Perusahaan cenderung akan mencari usia muda yang dianggap masih produktif atau sebaliknya, menganggap generasi Z termasuk generasi manja. Hal tersebut bisa berdampak pada etos kerja yang buruk bagi perusahaan.

Istilah ageisme pertama kali diperkenalkan oleh Robert Neil Butler yang menggunakannya ketika sedang wawancara soal proyek perumahan umum bagi lansia di Chevy Chase, Maryland. Proyek ini bertujuan untuk menempatkan lansia dalam satu lingkungan khusus dan menjauhkan dari publik.

Butler menegaskan bahwa proyek tersebut adalah bentuk prasangka terhadap lansia. Pihak pengembang perumahan menganggap lansia merepotkan sehingga tidak seharusnya ada di jalanan publik.

Ada tiga komponen ageisme menurut Butler. Komponen tersebut dapat berupa prasangka terhadap lansia, praktik diskriminasi terhadap orang lansia, serta stereotip lansia yang dilakukan oleh lembaga dan kebijakan secara terus menerus. 



Sikap ageisme ini seringkali membuat individu, masyarakat maupun institusi menganggap bahwa mereka yang lebih tua merupakan beban bagi masyarakat dan tidak dapat bersaing dengan generasi yang lebih muda.

Oleh karena itu, banyak pakar termasuk BRIN mengajak masyarakat untuk menjauhi diskriminasi usia, mengingat dampak kesehatan yang diberikan kepada mereka yang berusia tua sangat buruk.

“Fenomena ini harus diwaspadai karena berdampak buruk terhadap kesehatan lansia,” jelas peneliti Pusat Kajian Pembangunan Keluarga BRIN, Tri Suratmi, seperti dikutip dari Antara, Kamis, (20/6).

Melansir Firma Hukum Florin Roebig, adapun dampak buruk ageisme terhadap kesehatan lansia di antaranya adalah dapat mengurangi tingkat harapan hidup seseorang hingga 7,5 tahun dari mereka yang tidak mendapatkan diskriminasi ini.

Tak hanya itu, dampak buruk dari ageisme juga terbukti dapat meningkatkan kadar stres kardiovaskular ke level yang lebih tinggi dan dapat mengurangi tingkat potensi dan produktivitas lansia karena merasa terisolasi dari dunia luar.

Selain itu, ageisme juga dapat membatasi kemampuan individu para lansia untuk mengekspresikan seksualitas mereka dan juga dapat meningkatkan risiko kekerasan dan pelecehan terhadap mereka.

Bahkan ageisme juga turut berkontribusi terhadap kemiskinan dan ketidakamanan finansial di usia lanjut karena fenomena tersebut dapat mengurangi komitmen generasi muda terhadap tanggung jawab institusi bagi para lansia.

Oleh karena itu, banyak pakar termasuk BRIN dan American Psychology Association menyarankan untuk merekonstruksi perilaku dan budaya masyarakat untuk lebih terbuka terhadap peran lansia dalam struktur masyarakat.

“Meskipun kesalahpahaman dan keyakinan tentang penuaan sering kali sudah mengakar kuat. Gerakan sosial dapat mewujudkan masyarakat yang lebih berkeadilan usia,” ujar Becca Levy, Profesor Epidemiologi di Yale University, seperti dikutip dari APA, Kamis, (20/6).

Penulis: Candra Soemirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 20 Juni 2024

Fenomena Ageisme Bisa Pengaruhi Umur Lansia

Fenomena Ageisme atau prasangka dan diskriminasi terhadap individu berdasarkan usia saat ini terus menguat

A billboard used in England’s campaign to fight ageism. COURTESY OF CENTRE FOR AGING BETTER

Context.id, JAKARTA - Fenomena Ageisme atau prasangka dan diskriminasi terhadap individu berdasarkan usia saat ini terus menguat. Diskriminasi seperti ini hampir mirip dengan rasisme dan seksisme dan telah menjadi kebudayaan global yang patut disoroti oleh pemerintah.

Di tempat kerja, ageisme menganggap usia tertentu sudah tidak produktif lagi. Perusahaan cenderung akan mencari usia muda yang dianggap masih produktif atau sebaliknya, menganggap generasi Z termasuk generasi manja. Hal tersebut bisa berdampak pada etos kerja yang buruk bagi perusahaan.

Istilah ageisme pertama kali diperkenalkan oleh Robert Neil Butler yang menggunakannya ketika sedang wawancara soal proyek perumahan umum bagi lansia di Chevy Chase, Maryland. Proyek ini bertujuan untuk menempatkan lansia dalam satu lingkungan khusus dan menjauhkan dari publik.

Butler menegaskan bahwa proyek tersebut adalah bentuk prasangka terhadap lansia. Pihak pengembang perumahan menganggap lansia merepotkan sehingga tidak seharusnya ada di jalanan publik.

Ada tiga komponen ageisme menurut Butler. Komponen tersebut dapat berupa prasangka terhadap lansia, praktik diskriminasi terhadap orang lansia, serta stereotip lansia yang dilakukan oleh lembaga dan kebijakan secara terus menerus. 



Sikap ageisme ini seringkali membuat individu, masyarakat maupun institusi menganggap bahwa mereka yang lebih tua merupakan beban bagi masyarakat dan tidak dapat bersaing dengan generasi yang lebih muda.

Oleh karena itu, banyak pakar termasuk BRIN mengajak masyarakat untuk menjauhi diskriminasi usia, mengingat dampak kesehatan yang diberikan kepada mereka yang berusia tua sangat buruk.

“Fenomena ini harus diwaspadai karena berdampak buruk terhadap kesehatan lansia,” jelas peneliti Pusat Kajian Pembangunan Keluarga BRIN, Tri Suratmi, seperti dikutip dari Antara, Kamis, (20/6).

Melansir Firma Hukum Florin Roebig, adapun dampak buruk ageisme terhadap kesehatan lansia di antaranya adalah dapat mengurangi tingkat harapan hidup seseorang hingga 7,5 tahun dari mereka yang tidak mendapatkan diskriminasi ini.

Tak hanya itu, dampak buruk dari ageisme juga terbukti dapat meningkatkan kadar stres kardiovaskular ke level yang lebih tinggi dan dapat mengurangi tingkat potensi dan produktivitas lansia karena merasa terisolasi dari dunia luar.

Selain itu, ageisme juga dapat membatasi kemampuan individu para lansia untuk mengekspresikan seksualitas mereka dan juga dapat meningkatkan risiko kekerasan dan pelecehan terhadap mereka.

Bahkan ageisme juga turut berkontribusi terhadap kemiskinan dan ketidakamanan finansial di usia lanjut karena fenomena tersebut dapat mengurangi komitmen generasi muda terhadap tanggung jawab institusi bagi para lansia.

Oleh karena itu, banyak pakar termasuk BRIN dan American Psychology Association menyarankan untuk merekonstruksi perilaku dan budaya masyarakat untuk lebih terbuka terhadap peran lansia dalam struktur masyarakat.

“Meskipun kesalahpahaman dan keyakinan tentang penuaan sering kali sudah mengakar kuat. Gerakan sosial dapat mewujudkan masyarakat yang lebih berkeadilan usia,” ujar Becca Levy, Profesor Epidemiologi di Yale University, seperti dikutip dari APA, Kamis, (20/6).

Penulis: Candra Soemirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024