Kewajiban Iuran Tapera 3%, Menguntungkan atau Merugikan?
Kebijakan iurann Tapera belum tersosialisasi dengan baik dan belum melalui kajian yang matang
Context.id, JAKARTA - Beberapa hari terakhir, iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tengah menjadi perbincangan hangat masyarakat di berbagai ruang publik.
Iuran Tapera (dulunya Bapertarum-PNS) yang awalnya hanya berlaku bagi PNS, kini pesertanya diperluas kepada pemberi kerja, pekerja swasta, TNI/Polri dan juga pekerja mandiri.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 turunan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Perumahan Rakyat.
Menyikapi hal tersebut, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menyatakan PP Nomor 21 itu belum melalui kajian yang matang, sehingga belum diperhitungkan dampak dari kebijakan ini nantinya.
“Tentu niat kebijakannya baik dalam rangka memberikan perlindungan, akses maupun bantuan kepada masyarakat. Akan tetapi kebijakan ini belum tersosialisasi dan belum melalui kajian yang matang,” ucap Trubus, seperti dikutip dari Podcast Broadcash Bisnis Indonesia, Kamis, (6/6).
BACA JUGA
Pengusaha dan serikat pekerja menolak kebijakan ini karena dianggap memberatkan sekaligus tumpang tindih dengan kebijakan serupa yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
“Berarti kan dobel-dobel gitu ya, tapi pemerintah berdalih itu sebagai bentuk gotong royong, kebersamaan,” kata Trubus.
Selain itu, masalah lainnya adalah negara sama sekali tidak membantu memberikan subsidi atau bantuan iuran. Iuran Tapera hanya dibebankan kepada pekerja sebesar 2,5% dan pemberi kerja 0,5% atau total 3%.
“Harusnya tidak semuanya dibebankan kepada pekerja maupun pengusaha, meskipun ini sifatnya tabungan. Jadi memang harus ada kewajiban negara,” ujar Trubus.
Trubus melakukan simulasi hitungan kasar, jika pungutan Tapera 3% adalah sebesar Rp150 ribu, artinya dalam setahun hanya menghasilkan Rp1,8 juta.
Jadi selama 40 tahun tabungan itu hanya terkumpul sekitar Rp75 juta. Jumlah itu sangat jauh untuk dapat meringankan penerima manfaat membeli rumah yang harganya tiap tahun terus melonjak.
Terlebih lagi menurut Trubus, kategori Gen Z saat ini tidak suka lagi memiliki rumah dan lebih memilih untuk menyewa. Sehingga baginya tidak menjadi kebutuhan yang strategis bagi generasi berikutnya.
Trubus juga mengatakan pengusaha pasti keberatan karena sudah banyak kewajiban yang ditanggung oleh pelaku usaha seperti pajak, retribusi dan BPJS Ketenagakerjaan.
“Kewajiban 0,5% itu berat bagi pengusaha, bayangkan saja misalnya UMP Rp5 juta dipotong 3% itu sekitar Rp150 ribu, pekerjanya disuruh membayar Rp125 ribu sementara pelaku usaha harus membayar Rp25 ribu, kalau karyawannya banyak itu sangat membebani” pungkas Trubus.
Menurutnya, seharusnya pemerintah mengubah Tapera menjadi sebuah opsional dan bukan sebuah kewajiban sehingga tidak menimbulkan keberatan atau resistensi dari masyarakat.
Penulis: Candra Soemirat
RELATED ARTICLES
Kewajiban Iuran Tapera 3%, Menguntungkan atau Merugikan?
Kebijakan iurann Tapera belum tersosialisasi dengan baik dan belum melalui kajian yang matang
Context.id, JAKARTA - Beberapa hari terakhir, iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tengah menjadi perbincangan hangat masyarakat di berbagai ruang publik.
Iuran Tapera (dulunya Bapertarum-PNS) yang awalnya hanya berlaku bagi PNS, kini pesertanya diperluas kepada pemberi kerja, pekerja swasta, TNI/Polri dan juga pekerja mandiri.
Hal itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 turunan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Perumahan Rakyat.
Menyikapi hal tersebut, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menyatakan PP Nomor 21 itu belum melalui kajian yang matang, sehingga belum diperhitungkan dampak dari kebijakan ini nantinya.
“Tentu niat kebijakannya baik dalam rangka memberikan perlindungan, akses maupun bantuan kepada masyarakat. Akan tetapi kebijakan ini belum tersosialisasi dan belum melalui kajian yang matang,” ucap Trubus, seperti dikutip dari Podcast Broadcash Bisnis Indonesia, Kamis, (6/6).
BACA JUGA
Pengusaha dan serikat pekerja menolak kebijakan ini karena dianggap memberatkan sekaligus tumpang tindih dengan kebijakan serupa yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
“Berarti kan dobel-dobel gitu ya, tapi pemerintah berdalih itu sebagai bentuk gotong royong, kebersamaan,” kata Trubus.
Selain itu, masalah lainnya adalah negara sama sekali tidak membantu memberikan subsidi atau bantuan iuran. Iuran Tapera hanya dibebankan kepada pekerja sebesar 2,5% dan pemberi kerja 0,5% atau total 3%.
“Harusnya tidak semuanya dibebankan kepada pekerja maupun pengusaha, meskipun ini sifatnya tabungan. Jadi memang harus ada kewajiban negara,” ujar Trubus.
Trubus melakukan simulasi hitungan kasar, jika pungutan Tapera 3% adalah sebesar Rp150 ribu, artinya dalam setahun hanya menghasilkan Rp1,8 juta.
Jadi selama 40 tahun tabungan itu hanya terkumpul sekitar Rp75 juta. Jumlah itu sangat jauh untuk dapat meringankan penerima manfaat membeli rumah yang harganya tiap tahun terus melonjak.
Terlebih lagi menurut Trubus, kategori Gen Z saat ini tidak suka lagi memiliki rumah dan lebih memilih untuk menyewa. Sehingga baginya tidak menjadi kebutuhan yang strategis bagi generasi berikutnya.
Trubus juga mengatakan pengusaha pasti keberatan karena sudah banyak kewajiban yang ditanggung oleh pelaku usaha seperti pajak, retribusi dan BPJS Ketenagakerjaan.
“Kewajiban 0,5% itu berat bagi pengusaha, bayangkan saja misalnya UMP Rp5 juta dipotong 3% itu sekitar Rp150 ribu, pekerjanya disuruh membayar Rp125 ribu sementara pelaku usaha harus membayar Rp25 ribu, kalau karyawannya banyak itu sangat membebani” pungkas Trubus.
Menurutnya, seharusnya pemerintah mengubah Tapera menjadi sebuah opsional dan bukan sebuah kewajiban sehingga tidak menimbulkan keberatan atau resistensi dari masyarakat.
Penulis: Candra Soemirat
POPULAR
RELATED ARTICLES