Share

Stories 28 Mei 2024

Iuran Tapera Dinilai Modus Bancakan Legal

Pengalaman buruk kasus Asabri dan Jiwasraya

Context.id, JAKARTA - Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mendapatkan sorotan penting dari berbagai organisasi buruh.

Peraturan yang memaksa buruh dan pengusaha untuk membayar iuran setiap bulan dinilai lebih banyak merugikan dari pada manfaatnya bagi buruh, karena uang buruh dan pengusaha akan mengendap hingga usia 58 tahun.

Menurut Jumhur Hidayat, Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), pemerintah sangat gemar mengumpulkan uang rakyat, lalu uang itu ditempatkan dalam berbagai instrumen investasi.

“Kita masih ingat kan kasus Asabri dan Jiwasraya yang dikorupsi belasan bahkan puluhan triliun itu. Belum lagi dana BPJS Ketenagakerjaan yang sempat rugi walau disebut unrealized lost”, ujarnya, Selasa (28/5/2024).

Dia melanjutkan, apabila dana iuran 2,5% dari buruh itu dikumpulkan dan pengusaha 0,5% dari nilai upah atau gaji, maka dengan rata-rata upah di Indonesia Rp2,5  juta sementara ada 58 juta pekerja formal artinya akan terkumpul dana sekitar Rp50 triliun setiap tahunnya. 

“Ini dana yang luar biasa besar dan pastinya menjadi bancakan para penguasa dengan cara digoreng-goreng di berbagai instrumen investasi sementara kaum buruh wajib setor tiap bulannya yang sama sekali tidak tahu manfaat bagi dirinya. Buruh itu sudah banyak sekali dapat potongan dalam gajinya, masa mau dipotong lagi. Kejam amat sih pemerintah ini”, katanya. 

Menurut Jumhur kalau memang pemerintah punya niat baik agar rakyat memiliki rumah maka banyak cara yang bisa dilakukan.

Misalnya pengadaan tanah yang murah, subsidi bunga dan skema tanpa uang muka, bahkan bisa juga mecarikan teknologi material yang bagus dan murah untuk perumahan.

”Kalau di otaknya ngebancak duit rakyat ya begitulah hasilnya, aturan-aturan yang diterbitkan ujung-ujungnya ngumpulin duit rakyat yang bertenor puluhan tahun agar duitnya yang puluhan bahkan ratusan triliun bisa digoreng-goreng,” pungkasnya.

Bukan hanya buruh, kalangan pengusaha juga menolak Tapera. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menekankan pihaknya konsisten menolak pemberlakuan program Tapera yang bakal dibebankan ke pekerja swasta. 

Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani mengungkapkan pihaknya telah menolak wacana program Tapera bagi pekerja swasta sejak munculnya UU No. 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. 

"Apindo dengan tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut. Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera," jelas Shinta dalam keterangannya, Selasa (28/5/2024). 

Shinta menekankan program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 28 Mei 2024

Iuran Tapera Dinilai Modus Bancakan Legal

Pengalaman buruk kasus Asabri dan Jiwasraya

Context.id, JAKARTA - Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) mendapatkan sorotan penting dari berbagai organisasi buruh.

Peraturan yang memaksa buruh dan pengusaha untuk membayar iuran setiap bulan dinilai lebih banyak merugikan dari pada manfaatnya bagi buruh, karena uang buruh dan pengusaha akan mengendap hingga usia 58 tahun.

Menurut Jumhur Hidayat, Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), pemerintah sangat gemar mengumpulkan uang rakyat, lalu uang itu ditempatkan dalam berbagai instrumen investasi.

“Kita masih ingat kan kasus Asabri dan Jiwasraya yang dikorupsi belasan bahkan puluhan triliun itu. Belum lagi dana BPJS Ketenagakerjaan yang sempat rugi walau disebut unrealized lost”, ujarnya, Selasa (28/5/2024).

Dia melanjutkan, apabila dana iuran 2,5% dari buruh itu dikumpulkan dan pengusaha 0,5% dari nilai upah atau gaji, maka dengan rata-rata upah di Indonesia Rp2,5  juta sementara ada 58 juta pekerja formal artinya akan terkumpul dana sekitar Rp50 triliun setiap tahunnya. 

“Ini dana yang luar biasa besar dan pastinya menjadi bancakan para penguasa dengan cara digoreng-goreng di berbagai instrumen investasi sementara kaum buruh wajib setor tiap bulannya yang sama sekali tidak tahu manfaat bagi dirinya. Buruh itu sudah banyak sekali dapat potongan dalam gajinya, masa mau dipotong lagi. Kejam amat sih pemerintah ini”, katanya. 

Menurut Jumhur kalau memang pemerintah punya niat baik agar rakyat memiliki rumah maka banyak cara yang bisa dilakukan.

Misalnya pengadaan tanah yang murah, subsidi bunga dan skema tanpa uang muka, bahkan bisa juga mecarikan teknologi material yang bagus dan murah untuk perumahan.

”Kalau di otaknya ngebancak duit rakyat ya begitulah hasilnya, aturan-aturan yang diterbitkan ujung-ujungnya ngumpulin duit rakyat yang bertenor puluhan tahun agar duitnya yang puluhan bahkan ratusan triliun bisa digoreng-goreng,” pungkasnya.

Bukan hanya buruh, kalangan pengusaha juga menolak Tapera. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menekankan pihaknya konsisten menolak pemberlakuan program Tapera yang bakal dibebankan ke pekerja swasta. 

Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani mengungkapkan pihaknya telah menolak wacana program Tapera bagi pekerja swasta sejak munculnya UU No. 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. 

"Apindo dengan tegas telah menolak diberlakukannya UU tersebut. Apindo telah melakukan sejumlah diskusi, koordinasi, dan mengirimkan surat kepada Presiden mengenai Tapera," jelas Shinta dalam keterangannya, Selasa (28/5/2024). 

Shinta menekankan program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024