Sepenggal Kisah di Balik Perhelatan World Water Forum
Aksi pemberangusan kebebasan berpendapat dialami para aktivis dan jurnalis di acara People Water Forum (PWF) Bali
Context.id, JAKARTA - Ada sisa kisah dari Bali, mengenai perhelatan People Water Forum (PWF) yang merupakan kegiatan tandingan World Water Forum (WWF).
Kisah itu terkait dugaan aksi pemberangusan kebebasan berpendapat yang dialami para aktivis organisasi sipil di gelaran PWF.
Berdasarkan publikasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tindakan represi itu dilakukan oleh salah satu organisasi kemasyarakatan di Bali. Saat itu para pelaku pembubaran bedalih melakukan pengamanan di sekitar Bali.
Panitia pelaksana disebut telah mengalami berbagai intimidasi yang diduga dilakukan guna menghambat pelaksanaan PWF.
Intimidasi tersebut bermula dari pihak kepolisian yang mendatangi kediaman Direktur Yayasan Bintang Gana, selaku panitia nasional pelaksana.
BACA JUGA
Bukan hanya itu, pengintimidasi juga melakukan pembatalan secara sepihak lokasi pelaksanaan dan penginapan, hingga peretasan ponsel dan tautan registrasi.
Pada hari pelaksanaan, kelompok ormas berulang kali mendatangi tempat kegiatan dan meminta pelaksanaan PWF 2024 agar dihentikan dan segera dibubarkan karena dianggap melanggar himbauan lisan PJ Gubernur Bali terkait WWF di Bali.
Pembubaran tersebut dilakukan dengan melakukan perampasan banner, baliho, atribut agenda secara paksa, dan melakukan kekerasan fisik kepada beberapa peserta forum.
Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia mengatakan apa yang terjadi di Bali ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB.
“Pertama, jika benar pembubaran ini dilakukan karena alasan menghambat jalannya konferensi internasional, ini patut kita pertanyakan. Kedua, seharusnya hari ini kita merayakan 26 tahun Reformasi namun kita justru berkabung karena terjadi intimidasi,” ujarnya sebagaimana dikutip, Rabu (29/5/2024).
Pihaknya menilai berbagai kekerasan yang terjadi di PWF 2024 telah melanggar berbagai hak yang telah dijamin oleh konstitusi, di antaranya hak atas rasa aman, hak atas bebas berkumpul dan bebas untuk mengemukakan pendapat.
Pengaturan mengenai hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23 dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
“Kami mendapat aduan bahwa sekitar delapan orang yang terlibat dan bahkan yang tidak terlibat dalam kepanitiaan PWF mendapatkan upaya pengambilalihan akun WhatsApp. Pengabaian terhadap upaya intimidasi dan peretasan terhadap panitia dan orang-orang yang terlibat menunjukkan gelagat otoritarianisme digital yang dilakukan oleh negara,” ujar Nenden Sekar Arum dari SAFEnet.
Selain isu peretasan dan intimidasi, disebutkan pula bahywa ormas juga melakukan penghalang-halangan pada kerja jurnalis.
Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menekankan bahwa jurnalis harus diberikan ruang untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme tanpa mendapatkan ancaman.
“Dalam melakukan pekerjaannya wartawan/ jurnalis dilindungi UU Pers no 40/1999. Jurnalis juga memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi yang berguna untuk publik,” tuturnya.
Fanny Tri Jambore dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menegaskan terkait dengan intimidasi terhadap pembela lingkungan yang semakin banyak.
“Dalam catatan WALHI ada 827 kejadian seperti kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, angka ini sangat tinggi dan belum selesai jika rezim masih melakukan praktek yang sama,” jelasnya.
RELATED ARTICLES
Sepenggal Kisah di Balik Perhelatan World Water Forum
Aksi pemberangusan kebebasan berpendapat dialami para aktivis dan jurnalis di acara People Water Forum (PWF) Bali
Context.id, JAKARTA - Ada sisa kisah dari Bali, mengenai perhelatan People Water Forum (PWF) yang merupakan kegiatan tandingan World Water Forum (WWF).
Kisah itu terkait dugaan aksi pemberangusan kebebasan berpendapat yang dialami para aktivis organisasi sipil di gelaran PWF.
Berdasarkan publikasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tindakan represi itu dilakukan oleh salah satu organisasi kemasyarakatan di Bali. Saat itu para pelaku pembubaran bedalih melakukan pengamanan di sekitar Bali.
Panitia pelaksana disebut telah mengalami berbagai intimidasi yang diduga dilakukan guna menghambat pelaksanaan PWF.
Intimidasi tersebut bermula dari pihak kepolisian yang mendatangi kediaman Direktur Yayasan Bintang Gana, selaku panitia nasional pelaksana.
BACA JUGA
Bukan hanya itu, pengintimidasi juga melakukan pembatalan secara sepihak lokasi pelaksanaan dan penginapan, hingga peretasan ponsel dan tautan registrasi.
Pada hari pelaksanaan, kelompok ormas berulang kali mendatangi tempat kegiatan dan meminta pelaksanaan PWF 2024 agar dihentikan dan segera dibubarkan karena dianggap melanggar himbauan lisan PJ Gubernur Bali terkait WWF di Bali.
Pembubaran tersebut dilakukan dengan melakukan perampasan banner, baliho, atribut agenda secara paksa, dan melakukan kekerasan fisik kepada beberapa peserta forum.
Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia mengatakan apa yang terjadi di Bali ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB.
“Pertama, jika benar pembubaran ini dilakukan karena alasan menghambat jalannya konferensi internasional, ini patut kita pertanyakan. Kedua, seharusnya hari ini kita merayakan 26 tahun Reformasi namun kita justru berkabung karena terjadi intimidasi,” ujarnya sebagaimana dikutip, Rabu (29/5/2024).
Pihaknya menilai berbagai kekerasan yang terjadi di PWF 2024 telah melanggar berbagai hak yang telah dijamin oleh konstitusi, di antaranya hak atas rasa aman, hak atas bebas berkumpul dan bebas untuk mengemukakan pendapat.
Pengaturan mengenai hak-hak tersebut diatur dalam Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 23 dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Pasal 19 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
“Kami mendapat aduan bahwa sekitar delapan orang yang terlibat dan bahkan yang tidak terlibat dalam kepanitiaan PWF mendapatkan upaya pengambilalihan akun WhatsApp. Pengabaian terhadap upaya intimidasi dan peretasan terhadap panitia dan orang-orang yang terlibat menunjukkan gelagat otoritarianisme digital yang dilakukan oleh negara,” ujar Nenden Sekar Arum dari SAFEnet.
Selain isu peretasan dan intimidasi, disebutkan pula bahywa ormas juga melakukan penghalang-halangan pada kerja jurnalis.
Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menekankan bahwa jurnalis harus diberikan ruang untuk melakukan kerja-kerja jurnalisme tanpa mendapatkan ancaman.
“Dalam melakukan pekerjaannya wartawan/ jurnalis dilindungi UU Pers no 40/1999. Jurnalis juga memiliki hak untuk mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi yang berguna untuk publik,” tuturnya.
Fanny Tri Jambore dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menegaskan terkait dengan intimidasi terhadap pembela lingkungan yang semakin banyak.
“Dalam catatan WALHI ada 827 kejadian seperti kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan, angka ini sangat tinggi dan belum selesai jika rezim masih melakukan praktek yang sama,” jelasnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES