Pengamat Pendidikan: Data Keluarga Miskin Jadi Instrumen Politisasi
Pencabutan bantuan KJP dan KJMU tak bisa serta-merta menyelesaikan masalah akurasi bantuan pendidikan di Jakarta.
Context.id, JAKARTA - Baru-baru ini masyarakat DKI Jakarta tengah digegerkan oleh kebijakan pencabutan bantuan sejumlah penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).
Kebijakan baru in diterapkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono yang mengklaim bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah melakukan sinkronisasi data penerima KJP dan KJMU.
Melansir Bisnis, Pelaksana tugas (Plt) Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Purwosusilo menyebut pemerintah mencabut bantuan KJMU dari 771 orang.
Dirinya mengklaim, pengurangan bantuan tersebut merupakan hasil dari penyesuaian data agar bantuan pendidikan tepat sasaran.
“Penerima KJMU tahap 2 tahun 2023 itu sebanyak 19.042 mahasiswa. Dari data itu dilakukan pemadanan dengan tujuan untuk ketepatan sasaran, supaya tepat sasaran,” jelasnya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (14/3/2024).
BACA JUGA
Dirinya menambahkan, pemerintah kini melakukan sinkronisasi data yang dimiliki Pemprov dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) milik Kementerian Sosial.
Pengamat pendidikan dari Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema mengatakan pencabutan bantuan KJP dan KJMU tak bisa serta-merta menyelesaikan masalah akurasi bantuan pendidikan di Jakarta.
Alasannya, data-data keluarga miskin yang dimiliki pemerintah dinilai tak bisa menjadi acuan karena banyak kesalahan pendataan dan seringkali hanya dijadikan alat politik oleh pejabat.
“Data-data keluarga miskin ini selama ini kan selama ini jadi instrumen politisasi. Kalau lagi ada bantuan langsung, data keluarga miskinnya dinaikkan, nanti kalau ada penilaian mengatasi keluarga miskin, datanya dikecilkan. Ini kan memanfaatkan data untuk kepentingan kelompok tertentu,” ucap Doni kepada Bisniscom
Rekam jejak data keluarga miskin di Indonesia juga disebut seringkali keliru. Di berbagai daerah, manipulasi data untuk mendapat bantuan masih banyak ditemukan dengan modus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Oleh karena itu, Doni menilai DTKS dan data Regsosek tak bisa serta-merta digunakan sebagai acuan untuk mencabut bantuan pendidikan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Sebelumnya, Komisi X DPR RI mendesak Heru Budi untuk meninjau kembali kebijakan sinkronisasi data tersebut.
Alasannya, DTKS memiliki periode verifikasi dan validasi data yang bisa menyebabkan perubahan status penerima manfaat secara sementara.
Pemerintah juga disebut seharusnya tak mencabut bantuan secara tiba-tiba tak menimbulkan potensi putus sekolah bagi warga yang bantuannya dicabut.
Doni juga menyoroti anggaran pendidikan DKI Jakarta yang sebenarnya tiap tahun selalu meningkat. Bahkan, tahun 2024 anggaran pendidikan naik sebesar Rp17 triliun.
“Harusnya, dengan anggaran sebesar itu, pemerintah DKI bisa memberikan akses pendidikan dari dasar sampai tinggi gratis loh bagi warga kota Jakarta,” ucapnya.
Menurutnya, pemerintah saat ini masih belum punya ketegasan dan komitmen yang jelas untuk mengedepankan pendidikan bagi masyarakat sehingga kebijakan terkait pendidikan masih sangat minimalis.
“Pemerintah DKI harusnya lebih clear, lebih jelas komitmennya karena punya sumber daya dan sumber dana yang lebih dibanding daerah lain,” ujar Doni.
Sampai saat ini, polemik pencabutan KJP dan KJMU masih terus berlanjut. DPR RI dan DPRD DKI Jakarta masih melayangkan permintaan peninjauan kembali kebijakan oleh Pj Heru.
Sementara, beredar pula kabar yang menduga pencabutan bantuan sebagai langkah untuk menutupi kekurangan anggaran di DKI Jakarta
Penulis: Ridho Danu
RELATED ARTICLES
Pengamat Pendidikan: Data Keluarga Miskin Jadi Instrumen Politisasi
Pencabutan bantuan KJP dan KJMU tak bisa serta-merta menyelesaikan masalah akurasi bantuan pendidikan di Jakarta.
Context.id, JAKARTA - Baru-baru ini masyarakat DKI Jakarta tengah digegerkan oleh kebijakan pencabutan bantuan sejumlah penerima Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU).
Kebijakan baru in diterapkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono yang mengklaim bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah melakukan sinkronisasi data penerima KJP dan KJMU.
Melansir Bisnis, Pelaksana tugas (Plt) Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Purwosusilo menyebut pemerintah mencabut bantuan KJMU dari 771 orang.
Dirinya mengklaim, pengurangan bantuan tersebut merupakan hasil dari penyesuaian data agar bantuan pendidikan tepat sasaran.
“Penerima KJMU tahap 2 tahun 2023 itu sebanyak 19.042 mahasiswa. Dari data itu dilakukan pemadanan dengan tujuan untuk ketepatan sasaran, supaya tepat sasaran,” jelasnya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Kamis (14/3/2024).
BACA JUGA
Dirinya menambahkan, pemerintah kini melakukan sinkronisasi data yang dimiliki Pemprov dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) milik Kementerian Sosial.
Pengamat pendidikan dari Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) Doni Koesoema mengatakan pencabutan bantuan KJP dan KJMU tak bisa serta-merta menyelesaikan masalah akurasi bantuan pendidikan di Jakarta.
Alasannya, data-data keluarga miskin yang dimiliki pemerintah dinilai tak bisa menjadi acuan karena banyak kesalahan pendataan dan seringkali hanya dijadikan alat politik oleh pejabat.
“Data-data keluarga miskin ini selama ini kan selama ini jadi instrumen politisasi. Kalau lagi ada bantuan langsung, data keluarga miskinnya dinaikkan, nanti kalau ada penilaian mengatasi keluarga miskin, datanya dikecilkan. Ini kan memanfaatkan data untuk kepentingan kelompok tertentu,” ucap Doni kepada Bisniscom
Rekam jejak data keluarga miskin di Indonesia juga disebut seringkali keliru. Di berbagai daerah, manipulasi data untuk mendapat bantuan masih banyak ditemukan dengan modus KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).
Oleh karena itu, Doni menilai DTKS dan data Regsosek tak bisa serta-merta digunakan sebagai acuan untuk mencabut bantuan pendidikan bagi masyarakat yang membutuhkan.
Sebelumnya, Komisi X DPR RI mendesak Heru Budi untuk meninjau kembali kebijakan sinkronisasi data tersebut.
Alasannya, DTKS memiliki periode verifikasi dan validasi data yang bisa menyebabkan perubahan status penerima manfaat secara sementara.
Pemerintah juga disebut seharusnya tak mencabut bantuan secara tiba-tiba tak menimbulkan potensi putus sekolah bagi warga yang bantuannya dicabut.
Doni juga menyoroti anggaran pendidikan DKI Jakarta yang sebenarnya tiap tahun selalu meningkat. Bahkan, tahun 2024 anggaran pendidikan naik sebesar Rp17 triliun.
“Harusnya, dengan anggaran sebesar itu, pemerintah DKI bisa memberikan akses pendidikan dari dasar sampai tinggi gratis loh bagi warga kota Jakarta,” ucapnya.
Menurutnya, pemerintah saat ini masih belum punya ketegasan dan komitmen yang jelas untuk mengedepankan pendidikan bagi masyarakat sehingga kebijakan terkait pendidikan masih sangat minimalis.
“Pemerintah DKI harusnya lebih clear, lebih jelas komitmennya karena punya sumber daya dan sumber dana yang lebih dibanding daerah lain,” ujar Doni.
Sampai saat ini, polemik pencabutan KJP dan KJMU masih terus berlanjut. DPR RI dan DPRD DKI Jakarta masih melayangkan permintaan peninjauan kembali kebijakan oleh Pj Heru.
Sementara, beredar pula kabar yang menduga pencabutan bantuan sebagai langkah untuk menutupi kekurangan anggaran di DKI Jakarta
Penulis: Ridho Danu
POPULAR
RELATED ARTICLES