Share

Stories 27 Februari 2024

MUI Terbitkan Fatwa Haramkan Deforestasi dan Pembalakan

Fatwa ini untuk mencegah kerusakan iklim yang lebih besar mudaratnya akibat adanya pembalakan liar atau penebangan hutan secara ilegal

Penerbitan Fatwa/ Dok. MUI

Context.id, JAKARTA - Dekade ini, isu iklim dan permasalahan lingkungan ramai diperbincangkan di berbagai forum dunia seperti di G20 dan KTT Asean belum lama ini.  

Pasalnya fenomena global ini menimbulkan berbagai resiko yang harus dihadapi manusia seperti kekeringan atau banjir yang berimbas pada kegagalan panen serta mengancam ketahanan pangan dunia. 

Menurut survei The Global Risk Report 2024 yang dirilis World Economic Forum (WEF), sebanyak 66% responden dari 1490 orang merasa bahwa kejadian yang paling membahayakan kehidupan global adalah krisis iklim.

Beragam upaya dilakukan oleh negara maupun organisasi atau kelompok masyarakat sipil untuk meminimalisir dampak negatif dari krisis iklim global ini. Baru-baru ini, MUI atau Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa baru mengenai hukum pengendalian perubahan iklim global.

“Ketentuan dalam fatwa tersebut untuk mencegah terjadinya krisis iklim yakni mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam, deforestasi, dan pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim” ujar Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo seperti dilansir dari website MUI, Selasa (27/2) .



Pengesahan fatwa Nomor 86/2023 ini bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti ECONUSA, Manka, Ummah For Earth dan Lembaga Pemulihan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya MUI dengan harapan mencegah terjadinya krisis yang berkesinambungan.

“Fatwa ini juga mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan” tutur Hayu Prabowo. 

Ia juga mengatakan bahwa penyebab perubahan iklim dan pemanasan global menjadikan cuaca beberapa tahun terakhir cenderung ekstrim, seperti kemarau panjang, curah hujan tinggi, dan kenaikan permukaan air laut yang dapat menyebabkan bencana hidrometeorologi dan pertanian nasional.

“Untuk mengendalikan perubahan iklim diperlukan usaha kolaboratif dari berbagai pihak baik dari pemerintah dan masyarakat, penggunaan energi terbarukan, serta mendukung upaya pemerintah dalam pelaksanaan energi transisi yang berkeadilan” imbuhnya.

Tidak hanya itu, MUI juga melakukan kunjungan langsung bersama lembaga-lembaga pemerhati lingkungan untuk mencari bukti konkret serta dampak krisis iklim pada kehidupan masyarakat. 

MUI menegaskan bahwa dalam perancangan fatwa Nomor 86 Tahun 2023 pihaknya telah melaksanakan group discussion dan berkolaborasi bersama pemerintah, akademisi, dan masyarakat.

“Harapan kami, semoga fatwa Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global yang didukung dengan modalitas lembaga keagamaan dalam bidang pendidikan dan dakwah dapat menjangkau dan menggalang dukungan khalayak luas untuk memprioritaskan isu perubahan iklim dalam kehidupan masyarakat Indonesia," pungkasnya. 

Isu Krisis Iklim Menjadi Permasalahan Global, MUI Mengeluarkan Fatwa Baru Mengenai Pengendalian Perubahan Iklim

Context.id, JAKARTA - Dekade ini, isu iklim dan permasalahan lingkungan ramai diperbincangkan di berbagai forum dunia seperti di G20 dan KTT Asean belum lama ini.  
Pasalnya fenomena global ini menimbulkan berbagai resiko yang harus dihadapi manusia seperti kekeringan atau banjir yang berimbas pada kegagalan panen serta mengancam ketahanan pangan dunia. 

Menurut survei The Global Risk Report 2024 yang dirilis World Economic Forum (WEF), sebanyak 66% responden dari 1490 orang merasa bahwa kejadian yang paling membahayakan kehidupan global adalah krisis iklim.

Beragam upaya dilakukan oleh negara maupun organisasi atau kelompok masyarakat sipil untuk meminimalisir dampak negatif dari krisis iklim global ini. Baru-baru ini, MUI atau Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa baru mengenai hukum pengendalian perubahan iklim global.

“Ketentuan dalam fatwa tersebut untuk mencegah terjadinya krisis iklim yakni mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam, deforestasi, dan pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim” ujar Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo seperti dilansir dari website MUI, Selasa (27/2) .

Pengesahan fatwa Nomor 86/2023 ini bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti ECONUSA, Manka, Ummah For Earth dan Lembaga Pemulihan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya MUI dengan harapan mencegah terjadinya krisis yang berkesinambungan.

“Fatwa ini juga mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan” tutur Hayu Prabowo. 

Ia juga mengatakan bahwa penyebab perubahan iklim dan pemanasan global menjadikan cuaca beberapa tahun terakhir cenderung ekstrim, seperti kemarau panjang, curah hujan tinggi, dan kenaikan permukaan air laut yang dapat menyebabkan bencana hidrometeorologi dan pertanian nasional.

“Untuk mengendalikan perubahan iklim diperlukan usaha kolaboratif dari berbagai pihak baik dari pemerintah dan masyarakat, penggunaan energi terbarukan, serta mendukung upaya pemerintah dalam pelaksanaan energi transisi yang berkeadilan” imbuhnya.

Tidak hanya itu, MUI juga melakukan kunjungan langsung bersama lembaga-lembaga pemerhati lingkungan untuk mencari bukti konkret serta dampak krisis iklim pada kehidupan masyarakat. 

MUI menegaskan bahwa dalam perancangan fatwa Nomor 86 Tahun 2023 pihaknya telah melaksanakan group discussion dan berkolaborasi bersama pemerintah, akademisi, dan masyarakat.

“Harapan kami, semoga fatwa Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global yang didukung dengan modalitas lembaga keagamaan dalam bidang pendidikan dan dakwah dapat menjangkau dan menggalang dukungan khalayak luas untuk memprioritaskan isu perubahan iklim dalam kehidupan masyarakat Indonesia," pungkasnya. 

Penulis: Candra Soemirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 27 Februari 2024

MUI Terbitkan Fatwa Haramkan Deforestasi dan Pembalakan

Fatwa ini untuk mencegah kerusakan iklim yang lebih besar mudaratnya akibat adanya pembalakan liar atau penebangan hutan secara ilegal

Penerbitan Fatwa/ Dok. MUI

Context.id, JAKARTA - Dekade ini, isu iklim dan permasalahan lingkungan ramai diperbincangkan di berbagai forum dunia seperti di G20 dan KTT Asean belum lama ini.  

Pasalnya fenomena global ini menimbulkan berbagai resiko yang harus dihadapi manusia seperti kekeringan atau banjir yang berimbas pada kegagalan panen serta mengancam ketahanan pangan dunia. 

Menurut survei The Global Risk Report 2024 yang dirilis World Economic Forum (WEF), sebanyak 66% responden dari 1490 orang merasa bahwa kejadian yang paling membahayakan kehidupan global adalah krisis iklim.

Beragam upaya dilakukan oleh negara maupun organisasi atau kelompok masyarakat sipil untuk meminimalisir dampak negatif dari krisis iklim global ini. Baru-baru ini, MUI atau Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa baru mengenai hukum pengendalian perubahan iklim global.

“Ketentuan dalam fatwa tersebut untuk mencegah terjadinya krisis iklim yakni mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam, deforestasi, dan pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim” ujar Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo seperti dilansir dari website MUI, Selasa (27/2) .



Pengesahan fatwa Nomor 86/2023 ini bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti ECONUSA, Manka, Ummah For Earth dan Lembaga Pemulihan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya MUI dengan harapan mencegah terjadinya krisis yang berkesinambungan.

“Fatwa ini juga mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan” tutur Hayu Prabowo. 

Ia juga mengatakan bahwa penyebab perubahan iklim dan pemanasan global menjadikan cuaca beberapa tahun terakhir cenderung ekstrim, seperti kemarau panjang, curah hujan tinggi, dan kenaikan permukaan air laut yang dapat menyebabkan bencana hidrometeorologi dan pertanian nasional.

“Untuk mengendalikan perubahan iklim diperlukan usaha kolaboratif dari berbagai pihak baik dari pemerintah dan masyarakat, penggunaan energi terbarukan, serta mendukung upaya pemerintah dalam pelaksanaan energi transisi yang berkeadilan” imbuhnya.

Tidak hanya itu, MUI juga melakukan kunjungan langsung bersama lembaga-lembaga pemerhati lingkungan untuk mencari bukti konkret serta dampak krisis iklim pada kehidupan masyarakat. 

MUI menegaskan bahwa dalam perancangan fatwa Nomor 86 Tahun 2023 pihaknya telah melaksanakan group discussion dan berkolaborasi bersama pemerintah, akademisi, dan masyarakat.

“Harapan kami, semoga fatwa Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global yang didukung dengan modalitas lembaga keagamaan dalam bidang pendidikan dan dakwah dapat menjangkau dan menggalang dukungan khalayak luas untuk memprioritaskan isu perubahan iklim dalam kehidupan masyarakat Indonesia," pungkasnya. 

Isu Krisis Iklim Menjadi Permasalahan Global, MUI Mengeluarkan Fatwa Baru Mengenai Pengendalian Perubahan Iklim

Context.id, JAKARTA - Dekade ini, isu iklim dan permasalahan lingkungan ramai diperbincangkan di berbagai forum dunia seperti di G20 dan KTT Asean belum lama ini.  
Pasalnya fenomena global ini menimbulkan berbagai resiko yang harus dihadapi manusia seperti kekeringan atau banjir yang berimbas pada kegagalan panen serta mengancam ketahanan pangan dunia. 

Menurut survei The Global Risk Report 2024 yang dirilis World Economic Forum (WEF), sebanyak 66% responden dari 1490 orang merasa bahwa kejadian yang paling membahayakan kehidupan global adalah krisis iklim.

Beragam upaya dilakukan oleh negara maupun organisasi atau kelompok masyarakat sipil untuk meminimalisir dampak negatif dari krisis iklim global ini. Baru-baru ini, MUI atau Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa baru mengenai hukum pengendalian perubahan iklim global.

“Ketentuan dalam fatwa tersebut untuk mencegah terjadinya krisis iklim yakni mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan alam, deforestasi, dan pembakaran hutan dan lahan yang berdampak pada krisis iklim” ujar Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI, Hayu Prabowo seperti dilansir dari website MUI, Selasa (27/2) .

Pengesahan fatwa Nomor 86/2023 ini bekerja sama dengan lembaga-lembaga seperti ECONUSA, Manka, Ummah For Earth dan Lembaga Pemulihan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya MUI dengan harapan mencegah terjadinya krisis yang berkesinambungan.

“Fatwa ini juga mewajibkan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, mengurangi jejak karbon yang bukan merupakan kebutuhan pokok serta melakukan upaya transisi energi yang berkeadilan” tutur Hayu Prabowo. 

Ia juga mengatakan bahwa penyebab perubahan iklim dan pemanasan global menjadikan cuaca beberapa tahun terakhir cenderung ekstrim, seperti kemarau panjang, curah hujan tinggi, dan kenaikan permukaan air laut yang dapat menyebabkan bencana hidrometeorologi dan pertanian nasional.

“Untuk mengendalikan perubahan iklim diperlukan usaha kolaboratif dari berbagai pihak baik dari pemerintah dan masyarakat, penggunaan energi terbarukan, serta mendukung upaya pemerintah dalam pelaksanaan energi transisi yang berkeadilan” imbuhnya.

Tidak hanya itu, MUI juga melakukan kunjungan langsung bersama lembaga-lembaga pemerhati lingkungan untuk mencari bukti konkret serta dampak krisis iklim pada kehidupan masyarakat. 

MUI menegaskan bahwa dalam perancangan fatwa Nomor 86 Tahun 2023 pihaknya telah melaksanakan group discussion dan berkolaborasi bersama pemerintah, akademisi, dan masyarakat.

“Harapan kami, semoga fatwa Hukum Pengendalian Perubahan Iklim Global yang didukung dengan modalitas lembaga keagamaan dalam bidang pendidikan dan dakwah dapat menjangkau dan menggalang dukungan khalayak luas untuk memprioritaskan isu perubahan iklim dalam kehidupan masyarakat Indonesia," pungkasnya. 

Penulis: Candra Soemirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024