Share

Stories 23 Februari 2024

Tuntut Perbaikan Upah, Dokter di Korsel Mogok Kerja

Unjuk rasa ini menjadi salah satu aksi mogok kerja terbesar dalam sejarah Korea Selatan. Negeri Gingseng ini sering diwarnai unjuk rasa gerakan profesi dan pekerja.

Ilustrasi Dokter - Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Ribuan dokter dan tenaga kesehatan menggelar demonstrasi atau unjuk rasa menuntut perbaikan kondisi kerja, termasuk soal kenaikan upah mereka.  Unjuk rasa ini menjadi salah satu aksi mogok kerja terbesar dalam sejarah Korea Selatan.  

Selain menuntut upah layak dan perbaikan kondisi kerja, mogok ini juga salah satu upaya menentang kebijakan pemerintah yang ingin meningkatkan jumlah dokter secara signifikan. 

Melansir Bloomberg, Presiden Yoon Suk Yeol berencana menambah 2.000 sekolah kedokteran dari 3.058 sekolah yang sudah ada hingga saat ini. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi masalah kekurangan dokter di Negeri Ginseng ini. 

Selain itu, pemerintah Korsel juga berniat menambah 10.000 mahasiswa kedokteran aktif pada tahun 2035, sehingga totalnya menjadi 5.000 pada tahun akademik 2025 dari 3.000 yang telah ada pada saat ini.

Menurut data OECD, Korsel salah satu negara maju dengan rasio dokter per penduduk terendah. Populasinya sebesar 52 juta jiwa. Pada 2022, mereka memiliki 2,6 dokter per 1.000 orang jauh di bawah rata-rata yakni 3,7 di negara maju.



Selain itu, negara ini juga mengalami masalah demografi karena salah satu populasi yang paling cepat menua secara global. 

Hal inilah yang membuat pemerintah Korsel mengambil kebijakan meningkatkan kuota pendaftaran sekolah kedokteran. Kebijakan ini bisa dibilang yang pertama kalinya dalam 19 tahun terakhir dalam upaya untuk mengatasi masalah ini. 

Namun, organisasi-organisasi profesi dokter di Korea Selatan berpendapat bahwa rencana pemerintah tersebut tidak akan mengatasi masalah-masalah mendasar dalam sistem pelayanan kesehatan negara itu. 

Mereka berpendapat sudah ada cukup banyak dokter di Korea Selatan dan sebelum merekrut lebih banyak mahasiswa, pemerintah harus meningkatkan upah dan kondisi kerja para dokter saat ini, terutama di bidang-bidang kritis seperti dokter spesialis dan pediatri.

Para demonstran itu berpendapat, menambah lebih banyak dokter berarti persaingan akan semakin ketat dan penghasilan mereka akan menurun. 

Cabut Izin

Pemerintah Korsel sudah bersiap dengan demonstrasi besar-besaran itu. Melalui UU Pelayanan Medis, pemerintah akan untuk menekan aksi buruh dokter dengan alasan membahayakan sistem pelayanan kesehatan nasional, termasuk membahayakan nyawa pasien. 

Sanksi paling berat dari UU itu adalah pencabutan izin praktek dokter dan juga pembubaran asosiasi medis yang menaungi dokter yang ikut unjuk rasa itu. 

Pasalnya pemerintah menganggap aksi dokter itu lebih banyak tentang persoalan penghasilan, bukan tuntutan meningkatkan kualitas perawatan kesehatan atau perbaikan kondisi kerja dokter.

Namun di sisi lain, pemerintah sedang mempertimbangkan opsi yang tidak terlalu ekstrim dengan memperbanyak telemedicine di seluruh negeri dan membuka ruang gawat darurat di 12 rumah sakit militer untuk umum. 

Sejak demonstrasi atas rencana pemerintah untuk meningkatkan pendaftaran mahasiswa kedokteran dimulai minggu ini, Kementerian Kesehatan mencatat kurang lebih sekitar 7.813 dokter berhenti bekerja.

Dampak langsung dari pemogokan para dokter sudah terlihat jelas, dengan pemotongan operasi hingga 50 persen dan operasional rumah sakit terganggu secara signifikan. 

Surat Kabar JoongAng Daily melaporkan banyak ruangan kosong di banyak unit gawat darurat RS dan tak sedikit layanan kesehatan yang membatalkan jadwal operasi pasien. 

Salah satu rumah sakit, Asan Medical Center di Seoul, memasang tanda yang menyatakan unit gawat daruratnya hanya menangani kasus serangan jantung. 

Unit gawat darurat di empat rumah sakit lainnya juga berada dalam status "siaga merah', yang berarti mereka tidak punya tempat untuk menangani pasien lantaran nihil dokter bertugas.

Tradisi Demonstrasi

Korea Selatan bisa dibilang sebagai salah satu negara maju di Asia yang iklim demokrasinya berjalan dengan cukup baik. Kesadaran politik sektor-sektor pekerja atau profesi di negara ini cukup kuat. 

Hal itu terlihat dengan seringnya kegiatan unjuk rasa yang diorganisir buruh, guru, dokter, pelajar menentang kebijakan yang dianggap merugikan publik. 

Menurut penelitian Retno Ayu Oktaviani dan Agus Mulyana berjudul Perlawanan Masyarakat Korea Selatan Menuju Gerbang Demokrasi Tahun 1980 (2018), perjalanan demokratisasi di Korea Selatan tidak lepas dari peran buruh yang membuka gerakan menuju keadilan dalam perekonomian dan politik. 

Salah satu gerakan yang paling besar dan akhirnya menjadi titik tolak demokratisasi di Korsel adalah Gerakan Busan-Masan yang terjadi selama lima hari yaitu pada tanggal 16 Oktober 1979-20 Oktober 1979. 

Pemberontakan yang secara resmi diberi nama Gerakan Demokratik Gwangju itu merupakan perlawanan warga untuk mendongkel rezim, melawan militer sehingga membangun rezim demokrasi yang demokratis. 

Pada akhirnya bagi masyarakat Korsel, telah timbul kesadaran dalam menjalankan pemerintahan demokrasi yang baik perlu adanya gerakan untuk ikut ambil dalam permasalahan politik yang ada, termasuk lewat unjuk rasa. 

Penulis: Candra Soemirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 23 Februari 2024

Tuntut Perbaikan Upah, Dokter di Korsel Mogok Kerja

Unjuk rasa ini menjadi salah satu aksi mogok kerja terbesar dalam sejarah Korea Selatan. Negeri Gingseng ini sering diwarnai unjuk rasa gerakan profesi dan pekerja.

Ilustrasi Dokter - Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Ribuan dokter dan tenaga kesehatan menggelar demonstrasi atau unjuk rasa menuntut perbaikan kondisi kerja, termasuk soal kenaikan upah mereka.  Unjuk rasa ini menjadi salah satu aksi mogok kerja terbesar dalam sejarah Korea Selatan.  

Selain menuntut upah layak dan perbaikan kondisi kerja, mogok ini juga salah satu upaya menentang kebijakan pemerintah yang ingin meningkatkan jumlah dokter secara signifikan. 

Melansir Bloomberg, Presiden Yoon Suk Yeol berencana menambah 2.000 sekolah kedokteran dari 3.058 sekolah yang sudah ada hingga saat ini. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi masalah kekurangan dokter di Negeri Ginseng ini. 

Selain itu, pemerintah Korsel juga berniat menambah 10.000 mahasiswa kedokteran aktif pada tahun 2035, sehingga totalnya menjadi 5.000 pada tahun akademik 2025 dari 3.000 yang telah ada pada saat ini.

Menurut data OECD, Korsel salah satu negara maju dengan rasio dokter per penduduk terendah. Populasinya sebesar 52 juta jiwa. Pada 2022, mereka memiliki 2,6 dokter per 1.000 orang jauh di bawah rata-rata yakni 3,7 di negara maju.



Selain itu, negara ini juga mengalami masalah demografi karena salah satu populasi yang paling cepat menua secara global. 

Hal inilah yang membuat pemerintah Korsel mengambil kebijakan meningkatkan kuota pendaftaran sekolah kedokteran. Kebijakan ini bisa dibilang yang pertama kalinya dalam 19 tahun terakhir dalam upaya untuk mengatasi masalah ini. 

Namun, organisasi-organisasi profesi dokter di Korea Selatan berpendapat bahwa rencana pemerintah tersebut tidak akan mengatasi masalah-masalah mendasar dalam sistem pelayanan kesehatan negara itu. 

Mereka berpendapat sudah ada cukup banyak dokter di Korea Selatan dan sebelum merekrut lebih banyak mahasiswa, pemerintah harus meningkatkan upah dan kondisi kerja para dokter saat ini, terutama di bidang-bidang kritis seperti dokter spesialis dan pediatri.

Para demonstran itu berpendapat, menambah lebih banyak dokter berarti persaingan akan semakin ketat dan penghasilan mereka akan menurun. 

Cabut Izin

Pemerintah Korsel sudah bersiap dengan demonstrasi besar-besaran itu. Melalui UU Pelayanan Medis, pemerintah akan untuk menekan aksi buruh dokter dengan alasan membahayakan sistem pelayanan kesehatan nasional, termasuk membahayakan nyawa pasien. 

Sanksi paling berat dari UU itu adalah pencabutan izin praktek dokter dan juga pembubaran asosiasi medis yang menaungi dokter yang ikut unjuk rasa itu. 

Pasalnya pemerintah menganggap aksi dokter itu lebih banyak tentang persoalan penghasilan, bukan tuntutan meningkatkan kualitas perawatan kesehatan atau perbaikan kondisi kerja dokter.

Namun di sisi lain, pemerintah sedang mempertimbangkan opsi yang tidak terlalu ekstrim dengan memperbanyak telemedicine di seluruh negeri dan membuka ruang gawat darurat di 12 rumah sakit militer untuk umum. 

Sejak demonstrasi atas rencana pemerintah untuk meningkatkan pendaftaran mahasiswa kedokteran dimulai minggu ini, Kementerian Kesehatan mencatat kurang lebih sekitar 7.813 dokter berhenti bekerja.

Dampak langsung dari pemogokan para dokter sudah terlihat jelas, dengan pemotongan operasi hingga 50 persen dan operasional rumah sakit terganggu secara signifikan. 

Surat Kabar JoongAng Daily melaporkan banyak ruangan kosong di banyak unit gawat darurat RS dan tak sedikit layanan kesehatan yang membatalkan jadwal operasi pasien. 

Salah satu rumah sakit, Asan Medical Center di Seoul, memasang tanda yang menyatakan unit gawat daruratnya hanya menangani kasus serangan jantung. 

Unit gawat darurat di empat rumah sakit lainnya juga berada dalam status "siaga merah', yang berarti mereka tidak punya tempat untuk menangani pasien lantaran nihil dokter bertugas.

Tradisi Demonstrasi

Korea Selatan bisa dibilang sebagai salah satu negara maju di Asia yang iklim demokrasinya berjalan dengan cukup baik. Kesadaran politik sektor-sektor pekerja atau profesi di negara ini cukup kuat. 

Hal itu terlihat dengan seringnya kegiatan unjuk rasa yang diorganisir buruh, guru, dokter, pelajar menentang kebijakan yang dianggap merugikan publik. 

Menurut penelitian Retno Ayu Oktaviani dan Agus Mulyana berjudul Perlawanan Masyarakat Korea Selatan Menuju Gerbang Demokrasi Tahun 1980 (2018), perjalanan demokratisasi di Korea Selatan tidak lepas dari peran buruh yang membuka gerakan menuju keadilan dalam perekonomian dan politik. 

Salah satu gerakan yang paling besar dan akhirnya menjadi titik tolak demokratisasi di Korsel adalah Gerakan Busan-Masan yang terjadi selama lima hari yaitu pada tanggal 16 Oktober 1979-20 Oktober 1979. 

Pemberontakan yang secara resmi diberi nama Gerakan Demokratik Gwangju itu merupakan perlawanan warga untuk mendongkel rezim, melawan militer sehingga membangun rezim demokrasi yang demokratis. 

Pada akhirnya bagi masyarakat Korsel, telah timbul kesadaran dalam menjalankan pemerintahan demokrasi yang baik perlu adanya gerakan untuk ikut ambil dalam permasalahan politik yang ada, termasuk lewat unjuk rasa. 

Penulis: Candra Soemirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024