Jokowi Digempur Petisi dari Akademisi yang Mengkritisi Nasib Demokrasi
Para sivitas akademika kampus UGM, UII, STF Driyarkara dan pegiat HAM serta tokoh masyarakat mengkritisi nasib demokrasi di Indonesia yang dikebiri di era Presiden Jokowi
Context.id, JAKARTA – Para akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni mengungkapkan keprihatinan sekaligus kekecewaan terhadap manuver politik yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini.
Kekecewaan itu mereka sampaikan dengan menerbitkan Petisi Bulaksumur yang ditujukan kepada Jokowi. Sivitas akademika merasa presiden yang merupakan lulusan kampus UGM sudah melakukan penyimpangan demokrasi demi ambisi politik keluarga.
Profesor Koentjoro mewakili sivitas akademika UGM membacakan Petisi Bulaksumur di atas mimbar ditemani para guru besar UGM.
“Setelah mencermati dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir sekaligus mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri Universitas Gadjah Mada (UGM), kami menyampaikan keprihatinan atas penyimpangan yang justru terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar UGM. Keprihatinan yang mendalam terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial,” ucap Profesor Koentjoro, Rabu (31/1/2023)
BACA JUGA
Petisi tersebut menyebutkan beberapa kasus yang menjadi catatan, antara lain pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan dan intervensi aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, hingga pernyataan Jokowi tentang bolehnya keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik yang dinilai kontradiktif.
Sivitas akademika UGM menilai bahwa sebagai alumnus, Jokowi semestinya berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, dengan turut memperkuat demokratisasi agar berjalan sesuai standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah.
“Presiden Joko Widodo semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni Universitas Gadjah Mada: bagi kami almamater kuberjanji setia, kupenuhi dharma bhakti untuk ibu pertiwi, dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku, kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara,” lanjut petisi tersebut, merujuk pada Himne Gadjah Mada.
Itu sebabnya, sivitas akademika UGM mendesak Jokowi beserta pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakangnya untuk segera kembali pada koridor demokrasi, serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
Desakan juga ditujukan pada DPR dan MPR RI untuk mengambil sikap dan langkah konkret terkait Pemilu 2024 agar berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat.
Mengikuti langkah sivitas akademika UGM, hari ini Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta juga akan membacakan pernyataan sikap mengenai kondisi kenegaraan.
Dalam undangan terbuka yang tersebar di sejumlah grup WhatsApp, pernyataan sikap tersebut terkait dengan Indonesia Darurat Kenegarawanan.
Para dosen dan mahasiswa akan bertemu pada hari ini, Kamis (1/2/2024), di kampus terpadu UII.
Gempuran Petisi
Jauh sebelumnya, puluhan tokoh masyarakat, pegiat HAM dan akademisi berkumpul dan membacakan Maklumat Juanda berjudul "Reformasi Kembali ke Titik Nol" yang mengkritisi putusan MK terkait uji materi batas usia capres-cawapres yang akhirnya meloloskan putera sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Juru Bicara Maklumat Juanda Usman Hamid yang membacakan maklumat itu mengatakan reformasi dan demokrasi yang telah ditegakkan dalam 25 tahun terakhir ini terjadi kemunduran dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti.
"Konflik kepentingan pejabat kabinet sangat kuat, prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar sejak era orde baru atau rezim Soeharto," ujar Usman, Oktober 2023 lalu.
Usman yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia itu menggarisbawahi terkait jalannya dinasti politik yang terus berjalan di Indonesia.
Pada proses Pemilu 2024, kata dia, presiden bahkan melakukan manuver untuk memuluskan langkah demi menjamin kepentingan sendiri dan dinasti keluarga.
Putusan MK yang menambah aturan baru ihwal syarat capres-cawapres semakin mewarnai jalannya pesta demokrasi serentak 2024.
Ini dinilai sebagai upaya memuluskan jalan dinasti politik di Indonesia agar langkah Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024 tidak ada hambatan.
"Politik dinasti terasa kental ketika presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri," katanya.
Adapun sejumlah tokoh yang tercantum dalam penyampai maklumat di antaranya, Goenawan Mohamad, Erry Riyana Hardjapamekas, Karlina Supelli, Butet Kartaredjasa, Allisa Wahid, Prof (Emeritus) Mayling Oey-Gardiner, Prof Sulistyowati Irianto, Prof Riris K. Toha Sarumpaet dan beberapa tokoh lainnya.
Tak lama setelah Maklumat Juanda, keprihatinan dan kritik terhadap pelemahan demokratisasi di Indonesia juga disuarakan oleh puluhan aktivis, tokoh antikorupsi, tokoh pers, pengajar dan guru besar yang berkumpul di di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Rawasari, Jakarta Pusat, November 2023 untuk menggelar mimbar bebas.
Pertemuan yang diinisiasi Forum Lintas Generasi ini mengeluarkan Seruan Jembatan Serong yang menegaskan hari-hari mendatang ini, nasib demokrasi Indonesia dipertaruhkan.
Apakah tanah air akan berjalan sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan dasar Pancasila, atau sebaliknya menjadi ajang permainan politik dinasti dan oligarki.
Menurut seruan itu, demokrasi kita kehilangan adab karena penguasa memanipulasi lembaga negara untuk kepentingan politik keturunannya. Praktik ini memprihatinkan dan mengingatkan kita kepada amanat reformasi, yakni penghapusan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sampai saat ini masih diperjuangkan.
Ini berarti spirit republik hilang dalam penyelenggaraan negara. Politik dipertontonkan tanpa peduli pada kepantasan etik dan moral bangsa demi kelanjutan kekuasaan.
“Untuk itulah kami berseru dan bertekad untuk menegakkan negeri yang adil dan merdeka, yang menyediakan kesempatan yang setara kepada tiap putra-putri Indonesia. Tanpa nepotisme, tanpa kelompok dan keluarga dengan hak-hak istimewa. Kami meminta seluruh lembaga tinggi negara menjamin pemilu yang jujur dan adil,” demikian seruan tersebut.
RELATED ARTICLES
Jokowi Digempur Petisi dari Akademisi yang Mengkritisi Nasib Demokrasi
Para sivitas akademika kampus UGM, UII, STF Driyarkara dan pegiat HAM serta tokoh masyarakat mengkritisi nasib demokrasi di Indonesia yang dikebiri di era Presiden Jokowi
Context.id, JAKARTA – Para akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa dan alumni mengungkapkan keprihatinan sekaligus kekecewaan terhadap manuver politik yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) belakangan ini.
Kekecewaan itu mereka sampaikan dengan menerbitkan Petisi Bulaksumur yang ditujukan kepada Jokowi. Sivitas akademika merasa presiden yang merupakan lulusan kampus UGM sudah melakukan penyimpangan demokrasi demi ambisi politik keluarga.
Profesor Koentjoro mewakili sivitas akademika UGM membacakan Petisi Bulaksumur di atas mimbar ditemani para guru besar UGM.
“Setelah mencermati dinamika yang terjadi dalam perpolitikan nasional selama beberapa waktu terakhir sekaligus mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri Universitas Gadjah Mada (UGM), kami menyampaikan keprihatinan atas penyimpangan yang justru terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar UGM. Keprihatinan yang mendalam terhadap tindakan sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat yang menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial,” ucap Profesor Koentjoro, Rabu (31/1/2023)
BACA JUGA
Petisi tersebut menyebutkan beberapa kasus yang menjadi catatan, antara lain pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi (MK), keterlibatan dan intervensi aparat penegak hukum dalam proses demokrasi, hingga pernyataan Jokowi tentang bolehnya keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik yang dinilai kontradiktif.
Sivitas akademika UGM menilai bahwa sebagai alumnus, Jokowi semestinya berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila, dengan turut memperkuat demokratisasi agar berjalan sesuai standar moral yang tinggi dan dapat mencapai tujuan pembentukan pemerintahan yang sah.
“Presiden Joko Widodo semestinya selalu mengingat janjinya sebagai alumni Universitas Gadjah Mada: bagi kami almamater kuberjanji setia, kupenuhi dharma bhakti untuk ibu pertiwi, dalam persatuanmu jiwa seluruh bangsaku, kujunjung kebudayaanmu kejayaan Nusantara,” lanjut petisi tersebut, merujuk pada Himne Gadjah Mada.
Itu sebabnya, sivitas akademika UGM mendesak Jokowi beserta pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakangnya untuk segera kembali pada koridor demokrasi, serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
Desakan juga ditujukan pada DPR dan MPR RI untuk mengambil sikap dan langkah konkret terkait Pemilu 2024 agar berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat.
Mengikuti langkah sivitas akademika UGM, hari ini Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta juga akan membacakan pernyataan sikap mengenai kondisi kenegaraan.
Dalam undangan terbuka yang tersebar di sejumlah grup WhatsApp, pernyataan sikap tersebut terkait dengan Indonesia Darurat Kenegarawanan.
Para dosen dan mahasiswa akan bertemu pada hari ini, Kamis (1/2/2024), di kampus terpadu UII.
Gempuran Petisi
Jauh sebelumnya, puluhan tokoh masyarakat, pegiat HAM dan akademisi berkumpul dan membacakan Maklumat Juanda berjudul "Reformasi Kembali ke Titik Nol" yang mengkritisi putusan MK terkait uji materi batas usia capres-cawapres yang akhirnya meloloskan putera sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Juru Bicara Maklumat Juanda Usman Hamid yang membacakan maklumat itu mengatakan reformasi dan demokrasi yang telah ditegakkan dalam 25 tahun terakhir ini terjadi kemunduran dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti.
"Konflik kepentingan pejabat kabinet sangat kuat, prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar sejak era orde baru atau rezim Soeharto," ujar Usman, Oktober 2023 lalu.
Usman yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia itu menggarisbawahi terkait jalannya dinasti politik yang terus berjalan di Indonesia.
Pada proses Pemilu 2024, kata dia, presiden bahkan melakukan manuver untuk memuluskan langkah demi menjamin kepentingan sendiri dan dinasti keluarga.
Putusan MK yang menambah aturan baru ihwal syarat capres-cawapres semakin mewarnai jalannya pesta demokrasi serentak 2024.
Ini dinilai sebagai upaya memuluskan jalan dinasti politik di Indonesia agar langkah Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2024 tidak ada hambatan.
"Politik dinasti terasa kental ketika presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri," katanya.
Adapun sejumlah tokoh yang tercantum dalam penyampai maklumat di antaranya, Goenawan Mohamad, Erry Riyana Hardjapamekas, Karlina Supelli, Butet Kartaredjasa, Allisa Wahid, Prof (Emeritus) Mayling Oey-Gardiner, Prof Sulistyowati Irianto, Prof Riris K. Toha Sarumpaet dan beberapa tokoh lainnya.
Tak lama setelah Maklumat Juanda, keprihatinan dan kritik terhadap pelemahan demokratisasi di Indonesia juga disuarakan oleh puluhan aktivis, tokoh antikorupsi, tokoh pers, pengajar dan guru besar yang berkumpul di di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Rawasari, Jakarta Pusat, November 2023 untuk menggelar mimbar bebas.
Pertemuan yang diinisiasi Forum Lintas Generasi ini mengeluarkan Seruan Jembatan Serong yang menegaskan hari-hari mendatang ini, nasib demokrasi Indonesia dipertaruhkan.
Apakah tanah air akan berjalan sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan dasar Pancasila, atau sebaliknya menjadi ajang permainan politik dinasti dan oligarki.
Menurut seruan itu, demokrasi kita kehilangan adab karena penguasa memanipulasi lembaga negara untuk kepentingan politik keturunannya. Praktik ini memprihatinkan dan mengingatkan kita kepada amanat reformasi, yakni penghapusan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sampai saat ini masih diperjuangkan.
Ini berarti spirit republik hilang dalam penyelenggaraan negara. Politik dipertontonkan tanpa peduli pada kepantasan etik dan moral bangsa demi kelanjutan kekuasaan.
“Untuk itulah kami berseru dan bertekad untuk menegakkan negeri yang adil dan merdeka, yang menyediakan kesempatan yang setara kepada tiap putra-putri Indonesia. Tanpa nepotisme, tanpa kelompok dan keluarga dengan hak-hak istimewa. Kami meminta seluruh lembaga tinggi negara menjamin pemilu yang jujur dan adil,” demikian seruan tersebut.
POPULAR
RELATED ARTICLES