Share

Stories 21 Februari 2024

Teknologi Kecerdasan Buatan atau AI Sumbang Emisi Karbon, Kok Bisa?

Teknologi AI atau kecerdasan buatan diduga ikut menyumbang emisi karbon global dari konsumsi listrik yang berlebih dari server yang sangat besar.

Ilustrasi AI/ Dok. DJKN Kemenkeu

Context.id, JAKARTA - Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) selama dianggap hanya berurusan dengan persoalan teknologi atau iptek saja. Nyatanya, AI juga punya pengaruh dengan lingkungan, khususnya perubahan iklim.

Ya, AI ditengarai ikut menyumbang emisi karbon global. Sumbangan emisi itu dihasilkan dari konsumsi listrik yang berlebih dari server yang digunakan AI.

Server teknologi AI semisal ChatGPT itu akan bekerja semakin keras mengelola dan memproses data saat miliaran orang menggunakannya. Server yang bekerja lebih keras itu tentunya akan terus mengonsumsi daya listrik.

Selain itu, dengan semakin banyak teknologi AI seperti chatbot, itu membutuhkan server yang lebih besar untuk menyimpan, mengelola dan memproses data. Semakin besar, semakin boros juga kebutuhan daya listriknya.

Pada tahun 2022, pusat data yang menggerakkan seluruh komputer, termasuk sistem komputasi awan Amazon dan mesin pencari Google, menggunakan sekitar 1 hingga 1,3 persen listrik dunia



Konsumsi listrik yang tinggi selaras dengan sumbang emisi karbon, kendati tergantung dari mana pasokan listrik itu berasal. Apakah listrik yang dihasilkan energi fosil atau energi baru terbarukan (EBT).

Beberapa ahli memperkirakan teknologi AI dapat mengkonsumsi energi dengan jumlah yang lebih besar sehingga berdampak pada perubahan iklim yang semakin buruk.

Lapar listrik dan sumber konflik

Dikutip dari New Scientist, Senin (30/10/2023) Alex de Vries peneliti dari VU Amsterdam School of Business and Economics menyampaikan adanya ancaman penambahan emisi karbon dari pesatnya perkembangan AI global.

“Orang-orang mempunyai alat baru ini dan mereka berpikir, 'Oke, bagus sekali, kami akan menggunakannya', tanpa peduli apakah mereka benar-benar membutuhkannya,” ujar de Vries.

“Mereka lupa bertanya atau bertanya-tanya apakah pengguna memerlukannya atau akankah ini membuat hidup mereka lebih baik," tambahnya.

Dalam percakapannya dengan Scientific American, Vries juga mengatakan teknologi kecerdasan buatan memang lapar listrik. Server-server AI yang besar-besar itu juga membutuhkan mesin pendingin yang harus terjaga suhunya.

Ironisnya, pusat data global, rata-rata, akan menambah 50 persen biaya energi listrik hanya untuk menjaga mesin tetap dingin.

"Dalam skenario terburuk, jika kita memutuskan untuk melakukan segalanya dengan AI, maka setiap pusat data akan mengalami peningkatan konsumsi energi sebesar 10 kali lipat. Hal ini akan menjadi ledakan besar dalam konsumsi listrik global karena pusat data, tidak termasuk penambangan mata uang kripto, sudah mengonsumsi sekitar 1 persen listrik global. Ini adalah contoh yang berguna untuk menggambarkan bahwa AI sangat boros energi," terang Vries.

Itu baru contoh soal boros energi. Ada hal lain yang mengerikan dari teknologi AI dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada umumnya, yakni server atau perangkat keras teknologi AI itu membutuhkan bahan-bahan sumber daya langka seperti kobalt, lithium, dan tantalum.

Sumber daya langka itu penting bagi pembuatan cip prosesor dan merupakan bahan tambang yang penambangannya juga kadang menyisakan persoalan bagi lingkungan hidup.

Sebagai contoh, terjadinya konflik dengan masyarakat adat, pemerintah, dan perusahaan ekstraksi di negara Argentina, Bolivia, dan Chili akibat adanya penambangan litium.

Sementara itu terjadinya pencemaran sumber daya air di Republik Demokratik Kongo dikarenakan daerah tersebut menjadi limbah pertambangan dari ekstraksi tantalum.  

Perubahan iklim diperparah dengan adanya limbah elektronik yang mencapai 63,3 juta ton yang melebihi berat Tembok Besar China pada tahun 2021.

Sebagian besar limbah tersebut tidak didaur ulang sehingga masyarakat dan lingkungan terancam bahaya.

Limbah elektronik itu mengandung beragam zat beracun seperti merkuri yang tersebar di lingkungan hingga hidroklorofluorokarbon yang dapat menembus ke lingkungan, serta terjadinya peningkatan suhu global. 

Penulis: Diandra Zahra Adzani



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 21 Februari 2024

Teknologi Kecerdasan Buatan atau AI Sumbang Emisi Karbon, Kok Bisa?

Teknologi AI atau kecerdasan buatan diduga ikut menyumbang emisi karbon global dari konsumsi listrik yang berlebih dari server yang sangat besar.

Ilustrasi AI/ Dok. DJKN Kemenkeu

Context.id, JAKARTA - Teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) selama dianggap hanya berurusan dengan persoalan teknologi atau iptek saja. Nyatanya, AI juga punya pengaruh dengan lingkungan, khususnya perubahan iklim.

Ya, AI ditengarai ikut menyumbang emisi karbon global. Sumbangan emisi itu dihasilkan dari konsumsi listrik yang berlebih dari server yang digunakan AI.

Server teknologi AI semisal ChatGPT itu akan bekerja semakin keras mengelola dan memproses data saat miliaran orang menggunakannya. Server yang bekerja lebih keras itu tentunya akan terus mengonsumsi daya listrik.

Selain itu, dengan semakin banyak teknologi AI seperti chatbot, itu membutuhkan server yang lebih besar untuk menyimpan, mengelola dan memproses data. Semakin besar, semakin boros juga kebutuhan daya listriknya.

Pada tahun 2022, pusat data yang menggerakkan seluruh komputer, termasuk sistem komputasi awan Amazon dan mesin pencari Google, menggunakan sekitar 1 hingga 1,3 persen listrik dunia



Konsumsi listrik yang tinggi selaras dengan sumbang emisi karbon, kendati tergantung dari mana pasokan listrik itu berasal. Apakah listrik yang dihasilkan energi fosil atau energi baru terbarukan (EBT).

Beberapa ahli memperkirakan teknologi AI dapat mengkonsumsi energi dengan jumlah yang lebih besar sehingga berdampak pada perubahan iklim yang semakin buruk.

Lapar listrik dan sumber konflik

Dikutip dari New Scientist, Senin (30/10/2023) Alex de Vries peneliti dari VU Amsterdam School of Business and Economics menyampaikan adanya ancaman penambahan emisi karbon dari pesatnya perkembangan AI global.

“Orang-orang mempunyai alat baru ini dan mereka berpikir, 'Oke, bagus sekali, kami akan menggunakannya', tanpa peduli apakah mereka benar-benar membutuhkannya,” ujar de Vries.

“Mereka lupa bertanya atau bertanya-tanya apakah pengguna memerlukannya atau akankah ini membuat hidup mereka lebih baik," tambahnya.

Dalam percakapannya dengan Scientific American, Vries juga mengatakan teknologi kecerdasan buatan memang lapar listrik. Server-server AI yang besar-besar itu juga membutuhkan mesin pendingin yang harus terjaga suhunya.

Ironisnya, pusat data global, rata-rata, akan menambah 50 persen biaya energi listrik hanya untuk menjaga mesin tetap dingin.

"Dalam skenario terburuk, jika kita memutuskan untuk melakukan segalanya dengan AI, maka setiap pusat data akan mengalami peningkatan konsumsi energi sebesar 10 kali lipat. Hal ini akan menjadi ledakan besar dalam konsumsi listrik global karena pusat data, tidak termasuk penambangan mata uang kripto, sudah mengonsumsi sekitar 1 persen listrik global. Ini adalah contoh yang berguna untuk menggambarkan bahwa AI sangat boros energi," terang Vries.

Itu baru contoh soal boros energi. Ada hal lain yang mengerikan dari teknologi AI dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi pada umumnya, yakni server atau perangkat keras teknologi AI itu membutuhkan bahan-bahan sumber daya langka seperti kobalt, lithium, dan tantalum.

Sumber daya langka itu penting bagi pembuatan cip prosesor dan merupakan bahan tambang yang penambangannya juga kadang menyisakan persoalan bagi lingkungan hidup.

Sebagai contoh, terjadinya konflik dengan masyarakat adat, pemerintah, dan perusahaan ekstraksi di negara Argentina, Bolivia, dan Chili akibat adanya penambangan litium.

Sementara itu terjadinya pencemaran sumber daya air di Republik Demokratik Kongo dikarenakan daerah tersebut menjadi limbah pertambangan dari ekstraksi tantalum.  

Perubahan iklim diperparah dengan adanya limbah elektronik yang mencapai 63,3 juta ton yang melebihi berat Tembok Besar China pada tahun 2021.

Sebagian besar limbah tersebut tidak didaur ulang sehingga masyarakat dan lingkungan terancam bahaya.

Limbah elektronik itu mengandung beragam zat beracun seperti merkuri yang tersebar di lingkungan hingga hidroklorofluorokarbon yang dapat menembus ke lingkungan, serta terjadinya peningkatan suhu global. 

Penulis: Diandra Zahra Adzani



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024