Share

Stories 23 Januari 2024

Platform DDL Kian Panaskan Perseteruan Musisi dan LMKN?

Sistem ini bakal lebih efisien, efektif serta tepat sasaran dalam pembayaran royalti

Context.id, JAKARTA - Ketidakpuasan para musisi terhadap skema pembayaran royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional kian panas

Ketidakpuasan itu mendorong Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) meluncurkan sistem menyusul lahirnya sistem digital direct license alias DDL.

Cara ini diklaim sebagai solusi terhadap permasalahan pembayaran royalti dari karya musik dalam event yang digelar secara langsung.

AKSI optimistis sistem ini bakal lebih efisien, efektif serta tepat sasaran dalam pembayaran royalti untuk pencipta lagu atau seniman.

Pasalnya, DDL merupakan sistem lisensi dan pembayaran royalti secara langsung antara pencipta lagu secara individu dengan pengguna karya cipta tersebut.



Ketua AKSI Piyu mengatakan bahwa sistem itu akan dikemas dalam sebuah platform digital yang baka; dihubungkan dengan Online Single Submission (OSS).

"Setelah diluncurkan nanti platform DDL ini akan terus dipantau dan diperbarui secara langsung, sehingga apabila ada permintaan pembayaran royalti para pencipta lagu atau karya musik bakal mendapatkan pemberitahuan dan pencipta lagu langsung dapat menerima pembayaran royaltinya di rekening mereka," ujarnya kepada media, awal pekan ini.

Dia melanjutkan, platform tersebut mempunyai standar yan berkaitan dengan perhitungan pembayaran royalti yang diklaim tidak merugikan para pihak.

Pengguna karya juga menurutnya akan merasa nyaman karena harga lagu yang digunakan sesuai standar dan para pencipta lagu tidak bisa sesukanya mematok harga pada karyanya.

Lanjutnya, setelah platform DDL ini beroperasi, bisa langsung dapat digunakan oleh anggota AKSI yang terdaftar. Saat ini melalui DDL, tuturnya, AKSI membantu pembayaran royalti live event atau konser terlebih dulu.

Penyusunan platform ini merupakan bagian dari ketidakpuasan para musisi terhadap LMKN. Pasalnya, tidak sedikit dari kalangan pencipta lagu yang ingin agar mereka mendapatkan pembayaran royalti secara langsung.

Selama ini, dalam hal pemungutan royalti karya cipta, sistem itu diejawantahkan dengan terbentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LKMN) yang dibentuk pada 2015.

LMKN dibentuk berdasarkan amanah UU Hak Cipta hasil revisi yang disahkan tahun lalu. Lembaga ini menjadi koordinator LMK yang telah ada, merumuskan kode etik, penetapan sistem dan tata cara perhitungan pembayaran royalti, penetapan tata cara pendistribusian royalti, dan besaran royalti.

LMK bukanlah hal baru dan bukan hanya satu-dua. Pada 1990 terbentuk Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) yang mengklaim sebagai collective management organization (CMO) atau LMK pertama di Indonesia.

Pada 2006 terbentuk pula Wahana Musik Indonesia (Wami) yang digawangi beberapa penerbit musik Indonesia.

Wami adalah satu-satunya anggota International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC) dari Indonesia saat ini. Selama 2013, lembaga ini telah menghimpun royalti 7,8 miliar euro dari seluruh dunia.

Selain Wami dan YKCI, ada pula Royalti Musik Indonesia (RMI) yang khusus untuk musik dangdut dan Performer’s Rights Society of Indonesia (Prisindo) yang menarik royalti untuk pelaku pertunjukan.

Adapun untuk karya tulis ada The Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI). Banyaknya LMK sering menimbulkan tumpang tindih, terutama bagi user yang ditarik royalti atas penggunaan secara komersial karya cipta orang lain. Bisa-bisa mereka ditarik dua kali oleh LMK yang berbeda.

Selain soal tumpang tindih, yang dikeluhkan selama ini adalah soal transparansi karena publik tidak bisa mengetahui royalti yang didapat dan yang disalurkan kapada penulis lagu dan kreator lain.

Namun, UU Hak Cipta kini menegaskan bahwa LMK harus mengaudit keuangan dan kinerja serta diumumkan hasilnya di media cetak dan elektronik.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 23 Januari 2024

Platform DDL Kian Panaskan Perseteruan Musisi dan LMKN?

Sistem ini bakal lebih efisien, efektif serta tepat sasaran dalam pembayaran royalti

Context.id, JAKARTA - Ketidakpuasan para musisi terhadap skema pembayaran royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional kian panas

Ketidakpuasan itu mendorong Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) meluncurkan sistem menyusul lahirnya sistem digital direct license alias DDL.

Cara ini diklaim sebagai solusi terhadap permasalahan pembayaran royalti dari karya musik dalam event yang digelar secara langsung.

AKSI optimistis sistem ini bakal lebih efisien, efektif serta tepat sasaran dalam pembayaran royalti untuk pencipta lagu atau seniman.

Pasalnya, DDL merupakan sistem lisensi dan pembayaran royalti secara langsung antara pencipta lagu secara individu dengan pengguna karya cipta tersebut.



Ketua AKSI Piyu mengatakan bahwa sistem itu akan dikemas dalam sebuah platform digital yang baka; dihubungkan dengan Online Single Submission (OSS).

"Setelah diluncurkan nanti platform DDL ini akan terus dipantau dan diperbarui secara langsung, sehingga apabila ada permintaan pembayaran royalti para pencipta lagu atau karya musik bakal mendapatkan pemberitahuan dan pencipta lagu langsung dapat menerima pembayaran royaltinya di rekening mereka," ujarnya kepada media, awal pekan ini.

Dia melanjutkan, platform tersebut mempunyai standar yan berkaitan dengan perhitungan pembayaran royalti yang diklaim tidak merugikan para pihak.

Pengguna karya juga menurutnya akan merasa nyaman karena harga lagu yang digunakan sesuai standar dan para pencipta lagu tidak bisa sesukanya mematok harga pada karyanya.

Lanjutnya, setelah platform DDL ini beroperasi, bisa langsung dapat digunakan oleh anggota AKSI yang terdaftar. Saat ini melalui DDL, tuturnya, AKSI membantu pembayaran royalti live event atau konser terlebih dulu.

Penyusunan platform ini merupakan bagian dari ketidakpuasan para musisi terhadap LMKN. Pasalnya, tidak sedikit dari kalangan pencipta lagu yang ingin agar mereka mendapatkan pembayaran royalti secara langsung.

Selama ini, dalam hal pemungutan royalti karya cipta, sistem itu diejawantahkan dengan terbentuknya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LKMN) yang dibentuk pada 2015.

LMKN dibentuk berdasarkan amanah UU Hak Cipta hasil revisi yang disahkan tahun lalu. Lembaga ini menjadi koordinator LMK yang telah ada, merumuskan kode etik, penetapan sistem dan tata cara perhitungan pembayaran royalti, penetapan tata cara pendistribusian royalti, dan besaran royalti.

LMK bukanlah hal baru dan bukan hanya satu-dua. Pada 1990 terbentuk Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) yang mengklaim sebagai collective management organization (CMO) atau LMK pertama di Indonesia.

Pada 2006 terbentuk pula Wahana Musik Indonesia (Wami) yang digawangi beberapa penerbit musik Indonesia.

Wami adalah satu-satunya anggota International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC) dari Indonesia saat ini. Selama 2013, lembaga ini telah menghimpun royalti 7,8 miliar euro dari seluruh dunia.

Selain Wami dan YKCI, ada pula Royalti Musik Indonesia (RMI) yang khusus untuk musik dangdut dan Performer’s Rights Society of Indonesia (Prisindo) yang menarik royalti untuk pelaku pertunjukan.

Adapun untuk karya tulis ada The Yayasan Reproduksi Cipta Indonesia (YRCI). Banyaknya LMK sering menimbulkan tumpang tindih, terutama bagi user yang ditarik royalti atas penggunaan secara komersial karya cipta orang lain. Bisa-bisa mereka ditarik dua kali oleh LMK yang berbeda.

Selain soal tumpang tindih, yang dikeluhkan selama ini adalah soal transparansi karena publik tidak bisa mengetahui royalti yang didapat dan yang disalurkan kapada penulis lagu dan kreator lain.

Namun, UU Hak Cipta kini menegaskan bahwa LMK harus mengaudit keuangan dan kinerja serta diumumkan hasilnya di media cetak dan elektronik.



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan meskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus memb ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024