Haruskah Tetap Belajar Coding di Dunia AI?
Kamp pelatihan coding dulunya tampak seperti tiket emas menuju masa depan yang aman secara ekonomi. Namun, saat janji itu memudar, apa yang harus Anda lakukan?
Context.id, JAKARTA - Jika anda berselancar di internet atau di media sosial, tawaran kursus atau pelatihan coding begitu banyak. Bahkan tidak sedikit yang membuka kelas untuk anak-anak usia sekolah dasar.
Belajar coding di era digital tentunya merupakan hal yang sangat penting karena keahlian itu akan dibutuhkan di dunia kerja.
Pertanyaannya, apakah belajar coding masih relevan di era bukan lagi sekadar digital, tapi era kecerdasan buatan alias AI?
Coba saja anda googling berita soal PHK di dunia teknologi, itu terjadi bukan hanya di AS, tapi di seluruh dunia. Ada sekitar 135.000 pekerja perusahaan rintisan dan industri teknologi diberhentikan dari pekerjaan mereka, catat Business Insider.
Pada saat yang sama, perangkat kecerdasan buatan baru seperti ChatGPT, chatbot daring dari OpenAI, yang dapat digunakan sebagai asisten coding, dengan cepat menjadi arus utama, dan prospek pekerjaan coding pun berubah.
BACA JUGA
Artinya lulusan kamp pelatihan coding di seluruh dunia menghadapi pasar kerja yang sama sulitnya.
Dibandingkan dengan lima tahun lalu, jumlah lowongan pekerjaan aktif untuk pengembang perangkat lunak telah turun 56%, menurut data yang dikumpulkan oleh CompTIA.
Untuk pengembang yang belum berpengalaman, penurunannya bahkan lebih parah, mencapai 67%.
“Saya akan mengatakan ini adalah lingkungan terburuk untuk pekerjaan tingkat pemula di bidang teknologi, tanpa diragukan, yang pernah saya lihat dalam 25 tahun,” kata Venky Ganesan, mitra di perusahaan modal ventura Menlo Ventures seperti dikutip Business Insider.
Selama bertahun-tahun, nasihat karier dari semua pihak penting mulai dari CEO Apple Tim Cook hingga guru-guru adalah “belajar pemrograman.”
Rasanya seperti persamaan yang tak tergoyahkan: Keahlian pemrograman + kerja keras = pekerjaan yang nyaman dan mapan. Namun sekarang, persoalannya tidak lagi terlihat sesederhana itu.
Pesona AI
Sejak kemunculannya pada pertengahan 2010-an, kursus intensif keterampilan pemrograman dasar dipuji sebagai jalur cepat menuju karier dengan bayaran tinggi, terutama bagi mereka yang tidak lulus perguruan tinggi.
Organisasi nirlaba mendirikan program tersebut untuk mendorong orang-orang dari latar belakang beragam masuk ke karier teknologi dan universitas seperti Harvard hingga Berkeley menawarkan versi mereka sendiri.
Dalam survei tahun 2020 terhadap 3.000 lulusan bootcamp oleh CourseReport, 79% responden mengatakan kursus tersebut membantu mereka mendapatkan pekerjaan di bidang teknologi, dengan peningkatan gaji rata-rata sebesar 56%
Namun, industri teknologi mengurangi perekrutan pada saat yang sama alat pemrograman berbasis AI baru mulai menjadi arus utama.
Pada 2022, tim AI Google, DeepMind, melaporkan mereka telah menguji model AI-nya, AlphaCode, dalam kompetisi pemrograman dan menunjukkan kinerjanya sebanding dengan “seorang pemrogram pemula dengan beberapa bulan hingga satu tahun pelatihan.”
Dibutuhkan beberapa tahun lagi, tetapi alat-alat yang tersedia bagi pemrogram pada umumnya kini telah meningkat secara signifikan.
Pada bulan September, OpenAI merilis versi baru ChatGPT, yang menghitung jawaban dengan cara berbeda dari model sebelumnya dan mungkin lebih baik dalam menulis kode.
Alat seperti AlphaCode dari Google dan Copilot dari GitHub menghasilkan cuplikan kode untuk tujuan tertentu, menguji atau mengoptimalkan kode yang ada dan menemukan bug.
Bukti nyatanya ada di antara para pengembang: Sekitar 60% dari 65.000 pengembang yang disurvei pada bulan Mei oleh StackOverflow, komunitas pengembang perangkat lunak, mengatakan mereka telah menggunakan alat pemrograman berbasis AI tahun ini.
Namun tidak semua orang melihat perkembangan ini sebagai lonceng kematian bagi pekerjaan pemrograman.
AI tidak sempurna
Armando Solar-Lezama, yang, sebagai pemimpin Kelompok Pemrograman Berbantuan Komputer MIT, menghabiskan hari-harinya memikirkan cara untuk menghadirkan lebih banyak otomatisasi ke dalam pemrograman.
Lezama mengatakan perangkat AI masih kekurangan banyak keterampilan penting, bahkan yang dimiliki oleh programmer junior.
Penelitiannya telah menunjukkan, misalnya, bagaimana model bahasa besar seperti GPT-4 gagal memahami masalah yang mereka pecahkan dengan kode dan terkadang membuat kesalahan konyol.
"Jika kita berbicara tentang keterampilan yang lebih mendasar, seperti mengetahui cara bernalar tentang sepotong kode, mengetahui cara melacak bug dalam sistem yang besar, itu adalah hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh model saat ini," katanya.
Meski begitu, AI mengubah cara pembuatan perangkat lunak. Dalam satu studi, asisten AI Coding membuat pengembang 20% lebih produktif.
Kepala eksekutif Google, Sundar Pichai, mengatakan lebih dari seperempat kode baru perusahaan kini dibuat oleh AI, tetapi ditinjau dan diterima oleh para insinyur
Seperti halnya diskusi tentang otomatisasi, ada dua cara orang cenderung memperkirakan hasil dari perkembangan ini.
Lezama percaya perangkat AI merupakan kabar baik bagi karier pemrograman.
Baginya jika sistem pengodean menjadi lebih mudah kita akan membuat perangkat lunak yang lebih banyak dan lebih baik.
Kita akan menggunakannya untuk memecahkan masalah yang sebelumnya tidak sepadan dengan kesulitannya, dan standar akan meroket.
Pandangan lainnya begitu pesimistis. Seperti yang dkatakan Zach Sims, salah seorang pendiri Codecademy, sebuah perusahaan tutorial coding online yang merasa masa depan pekerjaan coding bagi lulusan kamp pelatihan suram.
Matt Beane, asisten profesor manajemen teknologi di Universitas California, Santa Barbara, sedang mempelajari bagaimana penggunaan alat AI telah memengaruhi pembuat kode tingkat pemula di lima perusahaan besar di berbagai industri seperti perbankan dan asuransi.
"Frasa monyet GPT muncul berulang kali dan secara independen," katanya. "Mereka merasa seperti terdegradasi ke tugas-tugas kecil yang mereka kerjakan dengan bantuan beberapa alat terkait AI."
Terkadang, programmer baru yang ia pantau bahkan tidak mendapat kesempatan untuk melakukan itu.
Karena kode yang dihasilkan AI penuh dengan kesalahan yang sulit dikenali tanpa pengalaman, terkadang developer senior merasa lebih mudah untuk membuat dan mengeditnya sendiri daripada menyerahkannya kepada programmer junior.
MIT, Cornell, Northwestern, Columbia dan universitas besar lainnya kini justru banyak menyelenggarakan sertifikasi AI.
Menurut CompTIA, jabatan yang paling populer untuk terkait pekerjaan dengan AI adalah "insinyur pembelajaran mesin" dan "insinyur kecerdasan buatan".
Beberapa keterampilan yang tercantum dalam lowongan pekerjaan ini adalah "menerapkan dan menskalakan model pembelajaran mesin" dan "mengotomatiskan pelatihan model bahasa besar, pembuatan versi, pemantauan, dan proses penerapan."
Anda tidak dapat mempelajarinya dengan cepat tanpa latar belakang matematika atau pengkodean.
Dalam survei terbaru yang dilakukan oleh Microsoft dan LinkedIn terhadap lebih dari 9.000 eksekutif, 66% mengatakan mereka tidak akan mempekerjakan seseorang tanpa keterampilan AI, tetapi tidak jelas, seperti apa sebenarnya keterampilan tersebut.
RELATED ARTICLES
Haruskah Tetap Belajar Coding di Dunia AI?
Kamp pelatihan coding dulunya tampak seperti tiket emas menuju masa depan yang aman secara ekonomi. Namun, saat janji itu memudar, apa yang harus Anda lakukan?
Context.id, JAKARTA - Jika anda berselancar di internet atau di media sosial, tawaran kursus atau pelatihan coding begitu banyak. Bahkan tidak sedikit yang membuka kelas untuk anak-anak usia sekolah dasar.
Belajar coding di era digital tentunya merupakan hal yang sangat penting karena keahlian itu akan dibutuhkan di dunia kerja.
Pertanyaannya, apakah belajar coding masih relevan di era bukan lagi sekadar digital, tapi era kecerdasan buatan alias AI?
Coba saja anda googling berita soal PHK di dunia teknologi, itu terjadi bukan hanya di AS, tapi di seluruh dunia. Ada sekitar 135.000 pekerja perusahaan rintisan dan industri teknologi diberhentikan dari pekerjaan mereka, catat Business Insider.
Pada saat yang sama, perangkat kecerdasan buatan baru seperti ChatGPT, chatbot daring dari OpenAI, yang dapat digunakan sebagai asisten coding, dengan cepat menjadi arus utama, dan prospek pekerjaan coding pun berubah.
BACA JUGA
Artinya lulusan kamp pelatihan coding di seluruh dunia menghadapi pasar kerja yang sama sulitnya.
Dibandingkan dengan lima tahun lalu, jumlah lowongan pekerjaan aktif untuk pengembang perangkat lunak telah turun 56%, menurut data yang dikumpulkan oleh CompTIA.
Untuk pengembang yang belum berpengalaman, penurunannya bahkan lebih parah, mencapai 67%.
“Saya akan mengatakan ini adalah lingkungan terburuk untuk pekerjaan tingkat pemula di bidang teknologi, tanpa diragukan, yang pernah saya lihat dalam 25 tahun,” kata Venky Ganesan, mitra di perusahaan modal ventura Menlo Ventures seperti dikutip Business Insider.
Selama bertahun-tahun, nasihat karier dari semua pihak penting mulai dari CEO Apple Tim Cook hingga guru-guru adalah “belajar pemrograman.”
Rasanya seperti persamaan yang tak tergoyahkan: Keahlian pemrograman + kerja keras = pekerjaan yang nyaman dan mapan. Namun sekarang, persoalannya tidak lagi terlihat sesederhana itu.
Pesona AI
Sejak kemunculannya pada pertengahan 2010-an, kursus intensif keterampilan pemrograman dasar dipuji sebagai jalur cepat menuju karier dengan bayaran tinggi, terutama bagi mereka yang tidak lulus perguruan tinggi.
Organisasi nirlaba mendirikan program tersebut untuk mendorong orang-orang dari latar belakang beragam masuk ke karier teknologi dan universitas seperti Harvard hingga Berkeley menawarkan versi mereka sendiri.
Dalam survei tahun 2020 terhadap 3.000 lulusan bootcamp oleh CourseReport, 79% responden mengatakan kursus tersebut membantu mereka mendapatkan pekerjaan di bidang teknologi, dengan peningkatan gaji rata-rata sebesar 56%
Namun, industri teknologi mengurangi perekrutan pada saat yang sama alat pemrograman berbasis AI baru mulai menjadi arus utama.
Pada 2022, tim AI Google, DeepMind, melaporkan mereka telah menguji model AI-nya, AlphaCode, dalam kompetisi pemrograman dan menunjukkan kinerjanya sebanding dengan “seorang pemrogram pemula dengan beberapa bulan hingga satu tahun pelatihan.”
Dibutuhkan beberapa tahun lagi, tetapi alat-alat yang tersedia bagi pemrogram pada umumnya kini telah meningkat secara signifikan.
Pada bulan September, OpenAI merilis versi baru ChatGPT, yang menghitung jawaban dengan cara berbeda dari model sebelumnya dan mungkin lebih baik dalam menulis kode.
Alat seperti AlphaCode dari Google dan Copilot dari GitHub menghasilkan cuplikan kode untuk tujuan tertentu, menguji atau mengoptimalkan kode yang ada dan menemukan bug.
Bukti nyatanya ada di antara para pengembang: Sekitar 60% dari 65.000 pengembang yang disurvei pada bulan Mei oleh StackOverflow, komunitas pengembang perangkat lunak, mengatakan mereka telah menggunakan alat pemrograman berbasis AI tahun ini.
Namun tidak semua orang melihat perkembangan ini sebagai lonceng kematian bagi pekerjaan pemrograman.
AI tidak sempurna
Armando Solar-Lezama, yang, sebagai pemimpin Kelompok Pemrograman Berbantuan Komputer MIT, menghabiskan hari-harinya memikirkan cara untuk menghadirkan lebih banyak otomatisasi ke dalam pemrograman.
Lezama mengatakan perangkat AI masih kekurangan banyak keterampilan penting, bahkan yang dimiliki oleh programmer junior.
Penelitiannya telah menunjukkan, misalnya, bagaimana model bahasa besar seperti GPT-4 gagal memahami masalah yang mereka pecahkan dengan kode dan terkadang membuat kesalahan konyol.
"Jika kita berbicara tentang keterampilan yang lebih mendasar, seperti mengetahui cara bernalar tentang sepotong kode, mengetahui cara melacak bug dalam sistem yang besar, itu adalah hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh model saat ini," katanya.
Meski begitu, AI mengubah cara pembuatan perangkat lunak. Dalam satu studi, asisten AI Coding membuat pengembang 20% lebih produktif.
Kepala eksekutif Google, Sundar Pichai, mengatakan lebih dari seperempat kode baru perusahaan kini dibuat oleh AI, tetapi ditinjau dan diterima oleh para insinyur
Seperti halnya diskusi tentang otomatisasi, ada dua cara orang cenderung memperkirakan hasil dari perkembangan ini.
Lezama percaya perangkat AI merupakan kabar baik bagi karier pemrograman.
Baginya jika sistem pengodean menjadi lebih mudah kita akan membuat perangkat lunak yang lebih banyak dan lebih baik.
Kita akan menggunakannya untuk memecahkan masalah yang sebelumnya tidak sepadan dengan kesulitannya, dan standar akan meroket.
Pandangan lainnya begitu pesimistis. Seperti yang dkatakan Zach Sims, salah seorang pendiri Codecademy, sebuah perusahaan tutorial coding online yang merasa masa depan pekerjaan coding bagi lulusan kamp pelatihan suram.
Matt Beane, asisten profesor manajemen teknologi di Universitas California, Santa Barbara, sedang mempelajari bagaimana penggunaan alat AI telah memengaruhi pembuat kode tingkat pemula di lima perusahaan besar di berbagai industri seperti perbankan dan asuransi.
"Frasa monyet GPT muncul berulang kali dan secara independen," katanya. "Mereka merasa seperti terdegradasi ke tugas-tugas kecil yang mereka kerjakan dengan bantuan beberapa alat terkait AI."
Terkadang, programmer baru yang ia pantau bahkan tidak mendapat kesempatan untuk melakukan itu.
Karena kode yang dihasilkan AI penuh dengan kesalahan yang sulit dikenali tanpa pengalaman, terkadang developer senior merasa lebih mudah untuk membuat dan mengeditnya sendiri daripada menyerahkannya kepada programmer junior.
MIT, Cornell, Northwestern, Columbia dan universitas besar lainnya kini justru banyak menyelenggarakan sertifikasi AI.
Menurut CompTIA, jabatan yang paling populer untuk terkait pekerjaan dengan AI adalah "insinyur pembelajaran mesin" dan "insinyur kecerdasan buatan".
Beberapa keterampilan yang tercantum dalam lowongan pekerjaan ini adalah "menerapkan dan menskalakan model pembelajaran mesin" dan "mengotomatiskan pelatihan model bahasa besar, pembuatan versi, pemantauan, dan proses penerapan."
Anda tidak dapat mempelajarinya dengan cepat tanpa latar belakang matematika atau pengkodean.
Dalam survei terbaru yang dilakukan oleh Microsoft dan LinkedIn terhadap lebih dari 9.000 eksekutif, 66% mengatakan mereka tidak akan mempekerjakan seseorang tanpa keterampilan AI, tetapi tidak jelas, seperti apa sebenarnya keterampilan tersebut.
POPULAR
RELATED ARTICLES