Dari Pengusaha Menjadi Sosok Dermawan; Tren Filantropis Pendiri Big Tech
Banyak yang meragukan mengapa para taipan Big Tech menjadi filantropi, salah satunya tudingan menghindari pajak
Context.id, JAKARTA - Di tengah hiruk-pikuk Silicon Valley, tempat inovasi teknologi bersinar terang dan berkumpulnya sejumlah miliarder dunia, lahir sebuah kegemaran baru; filantropi.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, tren filantropi di kalangan pemimpin teknologi semakin terlihat Menurut laporan dari Chronicle of Philanthropy, hampir 60% dari filantropis terbesar di dunia berasal dari industri ini, seperti dikutip dari Financial Times.
Bill Gates, sebagai salah satu contoh paling terkenal, telah menyumbangkan lebih dari US$36 miliar melalui Bill & Melinda Gates Foundation yang fokus memerangi kemiskinan, penyakit, dan meningkatkan pendidikan di seluruh dunia.
Langkah Bill Gates telah menginspirasi banyak orang super kaya untuk terlibat dalam filantropi. Ambil nama lain yang juga tidak asing, Mark Zuckerberg, pemilik Meta Group, induk dari Facebook dan Instagram.
Bersama istrinya, Priscilla Chan, Zuckerberg pada 2015 lalu mengatakan selama hidup mereka, mereka akan menyumbangkan sekitar sembilan puluh sembilan persen saham Facebook mereka untuk tujuan filantropi.
BACA JUGA
Michael Dell, pendiri Dell Technologies, menunjukkan komitmen sosialnya dengan menyumbangkan sekitar 8,9% dari kekayaannya untuk membantu anak-anak dari keluarga miskin.
Di sisi lain, Carlos Slim, pemilik America Movil, telah menyumbangkan sekitar $4 miliar melalui Carlos Slim Foundation untuk pendidikan dan kesehatan. Lalu ada juga Johanna Småros, pendiri Relex, muncul sebagai salah satu dari sekian banyak tokoh yang menunjukkan bahwa kekayaan tidak hanya untuk kepentingan pribadi.
Mendirikan Relex Foundation dan menyuntikkan dana awal sebesar 100 juta euro, Småros berkomitmen untuk melindungi keanekaragaman hayati yang terancam, menegaskan filantropi adalah warisan yang ingin ia tinggalkan untuk generasi mendatang.
Namun, Småros, Zuckerberg, Gates dan jangan lupa Elon Musk hanyalah sekian banyak individu yang terlibat dalam gerakan filantropi modern. Di luar dunia teknologi, nama seperti Andrew Carnegie, Jamshedji Tata dari Tata Griup juga menandai pentingnya kontribusi sosial.
Filantropi sebagai alat perubahan?
Filantropi modern tidak hanya menciptakan perubahan, tetapi juga memperkenalkan tantangan baru. Melalui inisiatif mereka, kita bisa melihat kekayaan dapat digunakan untuk menciptakan dampak sosial yang nyata.
Masing-masing dari mereka menciptakan dampak yang signifikan, membuktikan setiap sumbangan, besar atau kecil, memiliki potensi untuk mengubah hidup orang banyak.
Hanya saja yang masih perlu dipertanyakan, sumbangan besar dari para taipan itu tentunya membawa dampak besar, tetapi apakah ini menciptakan solusi jangka panjang atau hanya menutupi masalah yang lebih mendasar?
Dalam era di mana ketidaksetaraan semakin mencolok, munculnya tokoh-tokoh filantropis ini tidak lepas dari tantangan etis. Kedermawanan besar sering kali memunculkan pertanyaan tentang keadilan pajak dan dampaknya terhadap demokrasi.
Meskipun Zuckerberg menegaskan Chan Zuckerberg Initiative tidak akan mencari status bebas pajak, banyak yang meragukan apakah tindakan mereka benar-benar berkontribusi pada keadilan sosial.
Masalahnya, Zuckerberg dan Chan, seperti juga Gates dan bahkan Musk, memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi kebijakan publik. Keterlibatan mereka dalam dunia filantropi bukan tidaj punya dampak, bahkan malah terlihat sebagai upaya untuk mempengaruhi arah kebijakan yang lebih luas.
Kekayaan yang terkonsentrasi di tangan segelintir individu sama dengan kekuatan untuk menentukan apa yang dianggap baik untuk masyarakat semakin besar.
Terlebih lagi Elon Musk ini punya pengikut yang luar biasa banyak dan juga aktif dalam pemihakan kepada salah satu calon presiden yakni Donald Trump di Pilpres AS. Musk juga sering mengeluarkan gagasan-gagasan kontroversialnya di akun X miliknya. Hal ini tentu mempunyai pengaruh kepada pengikut Musk
Namun yang pasti, penting untuk mengingat pelajaran dari sejarah, tentang salah satu sosok yang melekat dengan dunia amal, yakni Andrew Carnegie. Carnegie yang lahir di Skotlandia dan meraih kesuksesan sebagai raja baja, menyadari kekayaan sejati datang dengan tanggung jawab sosial.
Setelah menjual bisnisnya, Carnegie mengabdikan hidupnya untuk mendirikan perpustakaan dan yayasan pendidikan. Ia percaya pendidikan adalah kunci untuk memperbaiki masyarakat, dan lebih dari 2.800 perpustakaan yang didirikannya menjadi simbol dedikasi terhadap peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.
Karya Carnegie, The Gospel of Wealth, menjelaskan pandangannya bahwa orang kaya memiliki tanggung jawab untuk menggunakan aset mereka demi kebaikan masyarakat. Prinsip ini masih relevan hingga hari ini, mengingat bagaimana individu-individu kaya di era modern berusaha menyalurkan kekayaan mereka untuk menciptakan dampak positif.
Kendati begitu bagi publik penting untuk tetap kritis terhadap dampak dari tindakan kedermawanan ini. Setiap sumbangan datang dengan tanggung jawab untuk memastikan suara masyarakat tidak terpinggirkan.
Filantropi yang tulus harus berfokus pada menciptakan dampak yang bertahan lama, menjembatani kesenjangan sosial, dan memastikan semua orang memiliki kesempatan untuk berkontribusi bukan malah menjadi tameng untuk kepentingan dirinya maupun kelompoknya.
RELATED ARTICLES
Dari Pengusaha Menjadi Sosok Dermawan; Tren Filantropis Pendiri Big Tech
Banyak yang meragukan mengapa para taipan Big Tech menjadi filantropi, salah satunya tudingan menghindari pajak
Context.id, JAKARTA - Di tengah hiruk-pikuk Silicon Valley, tempat inovasi teknologi bersinar terang dan berkumpulnya sejumlah miliarder dunia, lahir sebuah kegemaran baru; filantropi.
Memang dalam beberapa tahun terakhir, tren filantropi di kalangan pemimpin teknologi semakin terlihat Menurut laporan dari Chronicle of Philanthropy, hampir 60% dari filantropis terbesar di dunia berasal dari industri ini, seperti dikutip dari Financial Times.
Bill Gates, sebagai salah satu contoh paling terkenal, telah menyumbangkan lebih dari US$36 miliar melalui Bill & Melinda Gates Foundation yang fokus memerangi kemiskinan, penyakit, dan meningkatkan pendidikan di seluruh dunia.
Langkah Bill Gates telah menginspirasi banyak orang super kaya untuk terlibat dalam filantropi. Ambil nama lain yang juga tidak asing, Mark Zuckerberg, pemilik Meta Group, induk dari Facebook dan Instagram.
Bersama istrinya, Priscilla Chan, Zuckerberg pada 2015 lalu mengatakan selama hidup mereka, mereka akan menyumbangkan sekitar sembilan puluh sembilan persen saham Facebook mereka untuk tujuan filantropi.
BACA JUGA
Michael Dell, pendiri Dell Technologies, menunjukkan komitmen sosialnya dengan menyumbangkan sekitar 8,9% dari kekayaannya untuk membantu anak-anak dari keluarga miskin.
Di sisi lain, Carlos Slim, pemilik America Movil, telah menyumbangkan sekitar $4 miliar melalui Carlos Slim Foundation untuk pendidikan dan kesehatan. Lalu ada juga Johanna Småros, pendiri Relex, muncul sebagai salah satu dari sekian banyak tokoh yang menunjukkan bahwa kekayaan tidak hanya untuk kepentingan pribadi.
Mendirikan Relex Foundation dan menyuntikkan dana awal sebesar 100 juta euro, Småros berkomitmen untuk melindungi keanekaragaman hayati yang terancam, menegaskan filantropi adalah warisan yang ingin ia tinggalkan untuk generasi mendatang.
Namun, Småros, Zuckerberg, Gates dan jangan lupa Elon Musk hanyalah sekian banyak individu yang terlibat dalam gerakan filantropi modern. Di luar dunia teknologi, nama seperti Andrew Carnegie, Jamshedji Tata dari Tata Griup juga menandai pentingnya kontribusi sosial.
Filantropi sebagai alat perubahan?
Filantropi modern tidak hanya menciptakan perubahan, tetapi juga memperkenalkan tantangan baru. Melalui inisiatif mereka, kita bisa melihat kekayaan dapat digunakan untuk menciptakan dampak sosial yang nyata.
Masing-masing dari mereka menciptakan dampak yang signifikan, membuktikan setiap sumbangan, besar atau kecil, memiliki potensi untuk mengubah hidup orang banyak.
Hanya saja yang masih perlu dipertanyakan, sumbangan besar dari para taipan itu tentunya membawa dampak besar, tetapi apakah ini menciptakan solusi jangka panjang atau hanya menutupi masalah yang lebih mendasar?
Dalam era di mana ketidaksetaraan semakin mencolok, munculnya tokoh-tokoh filantropis ini tidak lepas dari tantangan etis. Kedermawanan besar sering kali memunculkan pertanyaan tentang keadilan pajak dan dampaknya terhadap demokrasi.
Meskipun Zuckerberg menegaskan Chan Zuckerberg Initiative tidak akan mencari status bebas pajak, banyak yang meragukan apakah tindakan mereka benar-benar berkontribusi pada keadilan sosial.
Masalahnya, Zuckerberg dan Chan, seperti juga Gates dan bahkan Musk, memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi kebijakan publik. Keterlibatan mereka dalam dunia filantropi bukan tidaj punya dampak, bahkan malah terlihat sebagai upaya untuk mempengaruhi arah kebijakan yang lebih luas.
Kekayaan yang terkonsentrasi di tangan segelintir individu sama dengan kekuatan untuk menentukan apa yang dianggap baik untuk masyarakat semakin besar.
Terlebih lagi Elon Musk ini punya pengikut yang luar biasa banyak dan juga aktif dalam pemihakan kepada salah satu calon presiden yakni Donald Trump di Pilpres AS. Musk juga sering mengeluarkan gagasan-gagasan kontroversialnya di akun X miliknya. Hal ini tentu mempunyai pengaruh kepada pengikut Musk
Namun yang pasti, penting untuk mengingat pelajaran dari sejarah, tentang salah satu sosok yang melekat dengan dunia amal, yakni Andrew Carnegie. Carnegie yang lahir di Skotlandia dan meraih kesuksesan sebagai raja baja, menyadari kekayaan sejati datang dengan tanggung jawab sosial.
Setelah menjual bisnisnya, Carnegie mengabdikan hidupnya untuk mendirikan perpustakaan dan yayasan pendidikan. Ia percaya pendidikan adalah kunci untuk memperbaiki masyarakat, dan lebih dari 2.800 perpustakaan yang didirikannya menjadi simbol dedikasi terhadap peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan masyarakat.
Karya Carnegie, The Gospel of Wealth, menjelaskan pandangannya bahwa orang kaya memiliki tanggung jawab untuk menggunakan aset mereka demi kebaikan masyarakat. Prinsip ini masih relevan hingga hari ini, mengingat bagaimana individu-individu kaya di era modern berusaha menyalurkan kekayaan mereka untuk menciptakan dampak positif.
Kendati begitu bagi publik penting untuk tetap kritis terhadap dampak dari tindakan kedermawanan ini. Setiap sumbangan datang dengan tanggung jawab untuk memastikan suara masyarakat tidak terpinggirkan.
Filantropi yang tulus harus berfokus pada menciptakan dampak yang bertahan lama, menjembatani kesenjangan sosial, dan memastikan semua orang memiliki kesempatan untuk berkontribusi bukan malah menjadi tameng untuk kepentingan dirinya maupun kelompoknya.
POPULAR
RELATED ARTICLES