Share

Stories 22 Oktober 2024

Donasi Miliarder ke Kampus, Apakah hanya Cuma-cuma?

Pengaruh donasi miliarder pada kebijakan universitas elit di beberapa negara dalam konteks protes mahasiswa terkait konflik Israel-Hamas.

Kampus Harvard/jcpa.org

Context.id, JAKARTA - Ketika ketegangan antara Israel dan Hamas meningkat pada Oktober 2023, gelombang protes untuk menghentikan perang terjadi di seluruh penjuru dunia, terutama di kampus-kampus. 

Di Amerika Serikat, banyak mahasiswa dari universitas-universitas elit yang menggelar demonstrasi untuk menunjukkan solidaritasnya. 

Sebagai kelompok terpelajar, tentunya mereka mampu menyikapi secara kritis dan paham mengapa melakukan unjuk rasa. 

Persoalannya, universitas tempat mereka belajar berada dalam situasi dilematis, terutama soal hubungan antara alumni kaya yang justru mendukung sikap Israel membalas serangan Hamas meskipun mengorbankan warga biasa. 

Alhasil, para donatur kaya yang rata-rata alumni menuduh protes mahasiswa yang meluas merupakan bentuk antisemitisme. 



Dalam posisi inilah donasi yang sebelumnya dianggap sebagai ungkapan altruistik menjadi alat untuk mempengaruhi kebijakan dan identitas universitas.

Marc Rowan, salah satu pendiri Apollo Global Management dan alumni University of Pennsylvania, menjadi salah satu suara paling vokal sebagai donatur yang menggunakan kekuasaannya untuk menekan kampus.  

Dia menjadi yang paling terdepan menyerukan pengunduran diri Presiden Penn, Elizabeth Magill, karena dianggap tidak cukup tegas dalam menangani protes yang dianggapnya antisemit, seperti dilansir Financial Today

Rowan tidak hanya mengancam untuk menghentikan sumbangannya, tetapi juga berusaha mendorong donatur lain untuk melakukan hal yang sama, menciptakan tekanan yang signifikan pada manajemen universitas.

Sementara itu, Bill Ackman, pendiri Pershing Square Capital dan alumni Harvard, juga melontarkan kritik tajam kepada almamaternya. 

Ackman menyerukan reformasi tata kelola universitas agar lebih mirip dengan dewan direksi perusahaan, menuntut agar universitas lebih bertanggung jawab kepada para donatur besar. 

Pendekatan ini menunjukkan bagaimana donasi dapat digunakan sebagai senjata dalam mempertahankan atau mengubah kebijakan institusi.

Eropa dan China
Namun, di luar Amerika, tantangan yang dihadapi universitas-universitas elit di Eropa dan China menunjukkan dinamika yang berbeda. 

Di Eropa, universitas seperti Universitas Oxford dan Universitas Cambridge tetap bergantung pada model pendanaan campuran, dengan sumbangan dari alumni dan sponsor, namun tidak sebesar ketergantungan yang terlihat di AS. 

Di Oxford, misalnya, donor lebih cenderung terlibat dalam proyek-proyek spesifik tanpa mendikte arah kebijakan yang lebih luas. 

Hal ini menciptakan ruang bagi kebebasan akademik yang lebih besar, meskipun tantangan dari donor tetap ada.

Di China, situasi berbeda. Universitas-universitas elit seperti Tsinghua dan Peking University menerima dukungan besar dari pemerintah dan korporasi, sering kali dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kebijakan nasional. 

Pendekatan ini menciptakan keterikatan yang kuat antara pendidikan tinggi dan politik, karena bagaimanapun China merupakan negara komunis dan partai mengontrol semua sumber daya termasuk kampus.  

Sama seperti di AS, hal ini membatasi ruang gerak akademik dan dapat menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan akademik.

Di tengah dinamika ini, muncul pertanyaan mendasar tentang seberapa besar pengaruh yang seharusnya dimiliki para donatur besar dalam tata kelola universitas. 

Melansir FT.com, Amir Pasic, dekan Sekolah Filantropi Keluarga Lilly di University of Indiana, menegaskan sumbangan tidak seharusnya memberikan hak istimewa dalam menentukan kebijakan universitas. 

Namun, dirinya menyadari kenyataannya sering kali berbeda; donasi besar secara otomatis disertai dengan ekspektasi untuk mempengaruhi keputusan kampus, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Senada, Nicholas Dirks, mantan rektor Berkeley, mengungkapkan keprihatinan situasi ini mirip dengan fenomena "pemegang saham" di dunia korporat. 

"Ini jelas melampaui batas. Apakah tidak ada masalah dengan kebebasan akademik ketika orang-orang yang memberikan sumbangan besar mencoba memengaruhi penunjukan fakultas dan menentukan bagaimana kebebasan berbicara didefinisikan?” tegasnya. 

Arena perebutan kuasa
Pertanyaan ini mencerminkan ketegangan yang ada antara kebutuhan untuk penggalangan dana dan menjaga nilai-nilai akademik.

Lebih jauh lagi, sebuah laporan dari Heritage Foundation menyoroti risiko pengaruh asing yang tidak semestinya dalam universitas-universitas Amerika. 

Laporan tersebut menunjukkan hubungan keuangan dapat mengompromikan integritas akademik dan keamanan nasional, menciptakan kebutuhan mendesak untuk melindungi institusi pendidikan dari tekanan eksternal yang dapat membentuk kebijakan dan nilai-nilai mereka. 

Sebuah artikel dari Philanthropy Roundtable justru mendukung ide para donatur dapat memainkan peran penting dalam mengembalikan nilai-nilai Amerika dalam pendidikan tinggi. 

Donatur diharapkan tidak hanya memberikan sumbangan tetapi juga aktif terlibat dengan institusi, mempromosikan akuntabilitas dalam tata kelola dan pilihan kurikulum mereka 

Ulasan di Chronicle of Philanthropy mengungkapkan gejolak di Ivy League mencerminkan implikasi yang lebih luas untuk penggalangan dana di semua nonprofit. 

Sikap pendonor di universitas-universitas elit menunjukkan donatur semakin menuntut keselarasan antara nilai-nilai mereka dan kebijakan institusi. 

Lebih lanjut, sebuah studi yang diterbitkan dalam SAGE Open menggali dinamika evolusi pengaruh donatur dalam pendidikan tinggi dan mencatatkan sumbangan sering kali disertai dengan syarat yang dapat mengubah prioritas dan struktur tata kelola institusi secara fundamental. 

Dalam menghadapi tantangan politik dan keuangan yang semakin kompleks, universitas elit di seluruh dunia tentunya harus menemukan keseimbangan antara mempertahankan kebebasan akademik dan memenuhi tuntutan donatur. 

Tantangan terbesar mereka bukan hanya dalam penggalangan dana, tetapi juga dalam mempertahankan nilai-nilai fundamental pendidikan tinggi. 

Harus diakui, kampus tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai arena di mana berbagai kekuatan sosial dan politik bertarung untuk suatu kepentingan kelompok. 



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 22 Oktober 2024

Donasi Miliarder ke Kampus, Apakah hanya Cuma-cuma?

Pengaruh donasi miliarder pada kebijakan universitas elit di beberapa negara dalam konteks protes mahasiswa terkait konflik Israel-Hamas.

Kampus Harvard/jcpa.org

Context.id, JAKARTA - Ketika ketegangan antara Israel dan Hamas meningkat pada Oktober 2023, gelombang protes untuk menghentikan perang terjadi di seluruh penjuru dunia, terutama di kampus-kampus. 

Di Amerika Serikat, banyak mahasiswa dari universitas-universitas elit yang menggelar demonstrasi untuk menunjukkan solidaritasnya. 

Sebagai kelompok terpelajar, tentunya mereka mampu menyikapi secara kritis dan paham mengapa melakukan unjuk rasa. 

Persoalannya, universitas tempat mereka belajar berada dalam situasi dilematis, terutama soal hubungan antara alumni kaya yang justru mendukung sikap Israel membalas serangan Hamas meskipun mengorbankan warga biasa. 

Alhasil, para donatur kaya yang rata-rata alumni menuduh protes mahasiswa yang meluas merupakan bentuk antisemitisme. 



Dalam posisi inilah donasi yang sebelumnya dianggap sebagai ungkapan altruistik menjadi alat untuk mempengaruhi kebijakan dan identitas universitas.

Marc Rowan, salah satu pendiri Apollo Global Management dan alumni University of Pennsylvania, menjadi salah satu suara paling vokal sebagai donatur yang menggunakan kekuasaannya untuk menekan kampus.  

Dia menjadi yang paling terdepan menyerukan pengunduran diri Presiden Penn, Elizabeth Magill, karena dianggap tidak cukup tegas dalam menangani protes yang dianggapnya antisemit, seperti dilansir Financial Today

Rowan tidak hanya mengancam untuk menghentikan sumbangannya, tetapi juga berusaha mendorong donatur lain untuk melakukan hal yang sama, menciptakan tekanan yang signifikan pada manajemen universitas.

Sementara itu, Bill Ackman, pendiri Pershing Square Capital dan alumni Harvard, juga melontarkan kritik tajam kepada almamaternya. 

Ackman menyerukan reformasi tata kelola universitas agar lebih mirip dengan dewan direksi perusahaan, menuntut agar universitas lebih bertanggung jawab kepada para donatur besar. 

Pendekatan ini menunjukkan bagaimana donasi dapat digunakan sebagai senjata dalam mempertahankan atau mengubah kebijakan institusi.

Eropa dan China
Namun, di luar Amerika, tantangan yang dihadapi universitas-universitas elit di Eropa dan China menunjukkan dinamika yang berbeda. 

Di Eropa, universitas seperti Universitas Oxford dan Universitas Cambridge tetap bergantung pada model pendanaan campuran, dengan sumbangan dari alumni dan sponsor, namun tidak sebesar ketergantungan yang terlihat di AS. 

Di Oxford, misalnya, donor lebih cenderung terlibat dalam proyek-proyek spesifik tanpa mendikte arah kebijakan yang lebih luas. 

Hal ini menciptakan ruang bagi kebebasan akademik yang lebih besar, meskipun tantangan dari donor tetap ada.

Di China, situasi berbeda. Universitas-universitas elit seperti Tsinghua dan Peking University menerima dukungan besar dari pemerintah dan korporasi, sering kali dengan harapan untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan kebijakan nasional. 

Pendekatan ini menciptakan keterikatan yang kuat antara pendidikan tinggi dan politik, karena bagaimanapun China merupakan negara komunis dan partai mengontrol semua sumber daya termasuk kampus.  

Sama seperti di AS, hal ini membatasi ruang gerak akademik dan dapat menimbulkan kekhawatiran tentang kebebasan akademik.

Di tengah dinamika ini, muncul pertanyaan mendasar tentang seberapa besar pengaruh yang seharusnya dimiliki para donatur besar dalam tata kelola universitas. 

Melansir FT.com, Amir Pasic, dekan Sekolah Filantropi Keluarga Lilly di University of Indiana, menegaskan sumbangan tidak seharusnya memberikan hak istimewa dalam menentukan kebijakan universitas. 

Namun, dirinya menyadari kenyataannya sering kali berbeda; donasi besar secara otomatis disertai dengan ekspektasi untuk mempengaruhi keputusan kampus, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Senada, Nicholas Dirks, mantan rektor Berkeley, mengungkapkan keprihatinan situasi ini mirip dengan fenomena "pemegang saham" di dunia korporat. 

"Ini jelas melampaui batas. Apakah tidak ada masalah dengan kebebasan akademik ketika orang-orang yang memberikan sumbangan besar mencoba memengaruhi penunjukan fakultas dan menentukan bagaimana kebebasan berbicara didefinisikan?” tegasnya. 

Arena perebutan kuasa
Pertanyaan ini mencerminkan ketegangan yang ada antara kebutuhan untuk penggalangan dana dan menjaga nilai-nilai akademik.

Lebih jauh lagi, sebuah laporan dari Heritage Foundation menyoroti risiko pengaruh asing yang tidak semestinya dalam universitas-universitas Amerika. 

Laporan tersebut menunjukkan hubungan keuangan dapat mengompromikan integritas akademik dan keamanan nasional, menciptakan kebutuhan mendesak untuk melindungi institusi pendidikan dari tekanan eksternal yang dapat membentuk kebijakan dan nilai-nilai mereka. 

Sebuah artikel dari Philanthropy Roundtable justru mendukung ide para donatur dapat memainkan peran penting dalam mengembalikan nilai-nilai Amerika dalam pendidikan tinggi. 

Donatur diharapkan tidak hanya memberikan sumbangan tetapi juga aktif terlibat dengan institusi, mempromosikan akuntabilitas dalam tata kelola dan pilihan kurikulum mereka 

Ulasan di Chronicle of Philanthropy mengungkapkan gejolak di Ivy League mencerminkan implikasi yang lebih luas untuk penggalangan dana di semua nonprofit. 

Sikap pendonor di universitas-universitas elit menunjukkan donatur semakin menuntut keselarasan antara nilai-nilai mereka dan kebijakan institusi. 

Lebih lanjut, sebuah studi yang diterbitkan dalam SAGE Open menggali dinamika evolusi pengaruh donatur dalam pendidikan tinggi dan mencatatkan sumbangan sering kali disertai dengan syarat yang dapat mengubah prioritas dan struktur tata kelola institusi secara fundamental. 

Dalam menghadapi tantangan politik dan keuangan yang semakin kompleks, universitas elit di seluruh dunia tentunya harus menemukan keseimbangan antara mempertahankan kebebasan akademik dan memenuhi tuntutan donatur. 

Tantangan terbesar mereka bukan hanya dalam penggalangan dana, tetapi juga dalam mempertahankan nilai-nilai fundamental pendidikan tinggi. 

Harus diakui, kampus tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai arena di mana berbagai kekuatan sosial dan politik bertarung untuk suatu kepentingan kelompok. 



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Universitas Brown Kembalikan Lahan Bersejarah kepada Suku Indian Pokanoket

Brown University mengalihkan kepemilikan lahannya di Mount Hope kepada suku Pokanoket untuk menghormati warisan budaya dan sejarah leluhur mereka.

Context.id . 06 December 2024

Myanmar Menjadi Negara dengan Jumlah Korban Ranjau Darat Terbanyak

Laporan Landmine Monitor 2024 mencatat warga sipil, termasuk anak-anak, menanggung beban paling besar akibat ranjau darat

Context.id . 05 December 2024

Militer China Terus Memperbarui Senjata Hipersonik dan Elektromagnetiknya

China terus melakukan uji coba senjata kendaraan hipersonik dan elektromagnetiknya yang bisa melumpuhkan kawasan strategis musuh

Context.id . 04 December 2024

Bendung Dampak Perang Dagang Perusahaan China Merekrut Eksekutif Global

Serangan terhadap ekonomi China melalui perang tarif membuat perusahaan di Negeri Tirai Bambu ini mengambil strategi baru, merekrut eksekutif yang ...

Context.id . 04 December 2024