Share

Home Stories

Stories 19 Oktober 2024

Jejak Jumlah Menteri Kabinet Indonesia dari Presiden ke Presiden

Perjalanan kabinet Indonesia, dari 108 menteri di era Sukarno hingga rencana kabinet besar Prabowo, mencerminkan dinamika politik yang terus berubah.

Kabinet Wilopo/GNFI

Context.id, JAKARTA - Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, kabinet pemerintahan telah menjadi panggung utama bagi dinamika politik yang bergejolak.

Setiap kabinet, dengan jumlah menteri yang beragam, mencerminkan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh negara dalam konteks zamannya.

Mari kita menelusuri perjalanan kabinet Indonesia dari era Sukarno hingga Jokowi, memahami bagaimana sejarah ini membentuk wajah pemerintahan saat ini.

Di bawah kepemimpinan Sukarno, kabinet pertama Indonesia terbentuk dengan 32 kursi menteri. Ini bukan hanya sekadar angka; setiap menteri mewakili beragam kepentingan dari berbagai daerah dan latar belakang ideologi. 

Sukarno, yang dikenal dengan visi nasionalisme dan sosialisme, berusaha mengakomodasi semua elemen masyarakat untuk menciptakan persatuan.



Namun, kondisi politik yang tidak stabil, ditambah dengan berbagai konflik internal, sering kali mengganggu kinerja kabinet.

Kabinet Sukarno mengalami beberapa perubahan, termasuk periode ketika jumlah menteri mencapai puncaknya, yaitu 108 menteri dalam Kabinet Dwikora pada tahun 1966. 

Angka ini mencerminkan upaya Sukarno untuk mengakomodasi berbagai kekuatan politik yang ada. Namun, banyaknya menteri tidak selalu menjamin efektivitas, dan sering kali menyebabkan kebingungan dalam pengambilan keputusan.

Setelah itu, Soeharto mengambil alih kendali dan merombak kabinet menjadi lebih ramping dengan hanya 22 menteri pada awal pemerintahannya.

Keputusan ini dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menciptakan stabilitas. 

Namun, pengurangan jumlah menteri ini juga menciptakan atmosfer otoritarian. Di sinilah keputusan-keputusan besar sering kali diambil tanpa banyak pertimbangan dari berbagai pihak.

Sistem yang tertutup ini menciptakan efek jangka panjang, di mana kritik terhadap pemerintah sering kali dibungkam, dan kebijakan diambil tanpa melibatkan suara rakyat.

Seiring berjalannya waktu, kabinet Soeharto pun mengalami perubahan, dengan jumlah menteri bervariasi antara 23 hingga 35 menteri dalam periode 1970-an hingga 1990-an.

Meskipun ada penambahan jumlah menteri, struktur pemerintahan tetap cenderung sentralistik, di mana keputusan penting tetap berada di tangan Soeharto dan beberapa loyalisnya.

Setelah jatuhnya Soeharto, Indonesia memasuki era Reformasi. Di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, kabinet kembali melambung, mencapai 34 menteri. Langkah ini menunjukkan komitmen untuk mengakomodasi berbagai suara dan mengedepankan inklusivitas. 

Namun, meski kabinet yang besar ini membawa harapan baru, tantangan tetap mengemuka. Korupsi, inefisiensi, dan ketidakpuasan publik terhadap hasil kerja kabinet menjadi sorotan utama, menunjukkan bahwa jumlah menteri yang banyak tidak selalu menjamin kinerja yang baik.

Seiring dengan pergantian zaman, kabinet Jokowi muncul dengan visi yang berbeda. Ia berusaha menciptakan kabinet yang tidak hanya besar, tetapi juga kompak dan efisien. 

Jokowi mengundang menteri-menteri dari latar belakang beragam, termasuk profesional dan pengusaha, dengan harapan dapat memaksimalkan potensi pemerintahan.

Pendekatan ini juga berfokus pada penciptaan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta penguatan kebijakan yang berorientasi pada rakyat.

Hari Minggu (20/10) besok, presiden terpilih Prabowo Subianto akan dilantik dan dikabarkan segera mengumumkan susunan kabinetnya yang kabarnya akan sangat gemuk.

Pasalnya, beberapa hari sebelum pelantikan Prabowo memanggil puluhan orang calon menteri dan wakil menteri, yang menandakan gemuknya porsi kabinet di bawahnya.

Sempat beredar kabar jumlah pejabatnya (menteri/wamen) akan berjumlah di atas 100 orang. Jika benar, ini akan menyamai kabinet Soekarno pada periode 66 sebelum kejatuhannya. 

Tentunya keputusan ini menuai berbagai reaksi, dari optimisme akan inklusivitas hingga skeptisisme mengenai efektivitas dari pemerintahan yang besar.

Banyak yang mempertanyakan apakah banyaknya menteri akan mampu bekerja secara harmonis, atau justru sebaliknya, akan menciptakan kebingungan dan konflik di dalam kabinet.

Perjalanan kabinet Indonesia dari masa ke masa tidak hanya mencerminkan evolusi politik, tetapi juga menjadi cermin bagi masyarakat untuk memahami dinamika pemerintahan.

Seiring waktu, penting bagi rakyat untuk terus mengawasi bagaimana kekuasaan itu dikelola; apakah untuk kebaikan bangsa atau golongan dan kelompok tertentu.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 19 Oktober 2024

Jejak Jumlah Menteri Kabinet Indonesia dari Presiden ke Presiden

Perjalanan kabinet Indonesia, dari 108 menteri di era Sukarno hingga rencana kabinet besar Prabowo, mencerminkan dinamika politik yang terus berubah.

Kabinet Wilopo/GNFI

Context.id, JAKARTA - Sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, kabinet pemerintahan telah menjadi panggung utama bagi dinamika politik yang bergejolak.

Setiap kabinet, dengan jumlah menteri yang beragam, mencerminkan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi oleh negara dalam konteks zamannya.

Mari kita menelusuri perjalanan kabinet Indonesia dari era Sukarno hingga Jokowi, memahami bagaimana sejarah ini membentuk wajah pemerintahan saat ini.

Di bawah kepemimpinan Sukarno, kabinet pertama Indonesia terbentuk dengan 32 kursi menteri. Ini bukan hanya sekadar angka; setiap menteri mewakili beragam kepentingan dari berbagai daerah dan latar belakang ideologi. 

Sukarno, yang dikenal dengan visi nasionalisme dan sosialisme, berusaha mengakomodasi semua elemen masyarakat untuk menciptakan persatuan.



Namun, kondisi politik yang tidak stabil, ditambah dengan berbagai konflik internal, sering kali mengganggu kinerja kabinet.

Kabinet Sukarno mengalami beberapa perubahan, termasuk periode ketika jumlah menteri mencapai puncaknya, yaitu 108 menteri dalam Kabinet Dwikora pada tahun 1966. 

Angka ini mencerminkan upaya Sukarno untuk mengakomodasi berbagai kekuatan politik yang ada. Namun, banyaknya menteri tidak selalu menjamin efektivitas, dan sering kali menyebabkan kebingungan dalam pengambilan keputusan.

Setelah itu, Soeharto mengambil alih kendali dan merombak kabinet menjadi lebih ramping dengan hanya 22 menteri pada awal pemerintahannya.

Keputusan ini dimaksudkan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan menciptakan stabilitas. 

Namun, pengurangan jumlah menteri ini juga menciptakan atmosfer otoritarian. Di sinilah keputusan-keputusan besar sering kali diambil tanpa banyak pertimbangan dari berbagai pihak.

Sistem yang tertutup ini menciptakan efek jangka panjang, di mana kritik terhadap pemerintah sering kali dibungkam, dan kebijakan diambil tanpa melibatkan suara rakyat.

Seiring berjalannya waktu, kabinet Soeharto pun mengalami perubahan, dengan jumlah menteri bervariasi antara 23 hingga 35 menteri dalam periode 1970-an hingga 1990-an.

Meskipun ada penambahan jumlah menteri, struktur pemerintahan tetap cenderung sentralistik, di mana keputusan penting tetap berada di tangan Soeharto dan beberapa loyalisnya.

Setelah jatuhnya Soeharto, Indonesia memasuki era Reformasi. Di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, kabinet kembali melambung, mencapai 34 menteri. Langkah ini menunjukkan komitmen untuk mengakomodasi berbagai suara dan mengedepankan inklusivitas. 

Namun, meski kabinet yang besar ini membawa harapan baru, tantangan tetap mengemuka. Korupsi, inefisiensi, dan ketidakpuasan publik terhadap hasil kerja kabinet menjadi sorotan utama, menunjukkan bahwa jumlah menteri yang banyak tidak selalu menjamin kinerja yang baik.

Seiring dengan pergantian zaman, kabinet Jokowi muncul dengan visi yang berbeda. Ia berusaha menciptakan kabinet yang tidak hanya besar, tetapi juga kompak dan efisien. 

Jokowi mengundang menteri-menteri dari latar belakang beragam, termasuk profesional dan pengusaha, dengan harapan dapat memaksimalkan potensi pemerintahan.

Pendekatan ini juga berfokus pada penciptaan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta penguatan kebijakan yang berorientasi pada rakyat.

Hari Minggu (20/10) besok, presiden terpilih Prabowo Subianto akan dilantik dan dikabarkan segera mengumumkan susunan kabinetnya yang kabarnya akan sangat gemuk.

Pasalnya, beberapa hari sebelum pelantikan Prabowo memanggil puluhan orang calon menteri dan wakil menteri, yang menandakan gemuknya porsi kabinet di bawahnya.

Sempat beredar kabar jumlah pejabatnya (menteri/wamen) akan berjumlah di atas 100 orang. Jika benar, ini akan menyamai kabinet Soekarno pada periode 66 sebelum kejatuhannya. 

Tentunya keputusan ini menuai berbagai reaksi, dari optimisme akan inklusivitas hingga skeptisisme mengenai efektivitas dari pemerintahan yang besar.

Banyak yang mempertanyakan apakah banyaknya menteri akan mampu bekerja secara harmonis, atau justru sebaliknya, akan menciptakan kebingungan dan konflik di dalam kabinet.

Perjalanan kabinet Indonesia dari masa ke masa tidak hanya mencerminkan evolusi politik, tetapi juga menjadi cermin bagi masyarakat untuk memahami dinamika pemerintahan.

Seiring waktu, penting bagi rakyat untuk terus mengawasi bagaimana kekuasaan itu dikelola; apakah untuk kebaikan bangsa atau golongan dan kelompok tertentu.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Aplikasi yang Tak Bisa Dilepaskan Para Kreator di 2025

Kira-kira aplikasi apa yang paling penting di ponsel Anda?

Renita Sukma . 05 June 2025

Astronaut, Popok dan Martabat Manusia di Antariksa

Mengapa mengompol di luar angkasa bukanlah aib, tapi keharusan profesional

Renita Sukma . 04 June 2025

Vietnam Blokir Telegram, Antara Keamanan Negara dan Sensor Digital

Pemerintah Vietnam kembali menjadi sorotan setelah memerintahkan pemblokiran Telegram yang sangat populer di negara komunis itu

Renita Sukma . 03 June 2025

Gara-gara Konklaf UMKM Roma Raih Keuntungan Besar

Peziarah dan turis habiskan dana sampai 600 Juta Euro saat berkunjung ke Roma

Noviarizal Fernandez . 03 June 2025