Ekspresi Diri di Setiap Gigitan: Gen Z dan Fenomena Camilan Sehat Mahal
Gen Z mengekspresikan diri dan status sosial melalui camilan sehat yang mahal
Context.id, JAKARTA - Di tengah hiruk-pikuk kota Los Angeles, fenomena baru muncul di antara generasi muda, khususnya Gen Z. Toko-toko camilan sehat dengan embel-embel organik dan mahal ramai oleh pembeli muda.
Menurut analisis dari Business Insider, kebiasaan Gen Z berbelanja makanan bukan lagi hanya soal memenuhi kebutuhan, melainkan cara mereka mengekspresikan diri.
Jika dulu barang-barang seperti tas desainer atau sepatu mewah menjadi simbol status, kini makanan—camilan dan minuman premium—mengambil alih peran tersebut.
Salah satu contoh tren ini terlihat dalam video TikTok viral milik Jade Lily, seorang pengguna TikTok berusia 26 tahun. Dalam videonya, Lily memamerkan belanjaan dari Erewhon senilai $500, yang terdiri dari suplemen selebriti hingga camilan organik.
"Aku penggemar Olipop sampai mati," katanya, sambil memegang minuman bersoda probiotik yang menjadi favorit banyak orang. Dalam video tersebut, Lily tak hanya berbagi daftar belanja, tetapi juga menarasikan identitas pribadinya melalui setiap item yang ia beli.
BACA JUGA
Fenomena ini bukanlah sekadar tren sementara. Sebuah laporan dari McKinsey Februari lalu menunjukkan Gen Z dan milenial saat ini lebih memilih menghabiskan uang mereka untuk bahan makanan dibandingkan dengan makan di luar, perjalanan, atau kebugaran.
Banyak dari mereka bahkan mengambil pekerjaan tambahan demi membiayai kebiasaan belanja makanan sehat mereka.
Di tengah ketidakpastian ekonomi, berinvestasi dalam makanan berkualitas menjadi cara bagi mereka untuk menunjukkan perhatian pada kesehatan dan gaya hidup.
Makanan simbol status
Meskipun harga bahan makanan terus meningkat, survei Credit Karma menunjukkan sebagian besar Gen Z rela mengorbankan pengeluaran lain untuk tetap membeli makanan sehat dan premium.
Contohnya, mereka lebih memilih membeli kentang organik seharga US$45 atau sereal berbentuk croissant seharga US$53 daripada barang-barang mewah tradisional seperti tas desainer yang harganya bisa mencapai ribuan dolar.
Andrea Hernández, penulis newsletter Snaxshot, menyebut fenomena ini sebagai "efek lipstik," di mana generasi muda memanjakan diri dengan kemewahan kecil di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Bagi Gen Z, camilan mahal bukan sekadar makanan, melainkan simbol status yang menunjukkan meskipun harga-harga naik, mereka tetap mampu menikmati sesuatu yang berkualitas.
Ekspresi diri via makanan
Makanan sebagai simbol status sebenarnya bukanlah hal baru. Pada tahun 1986, New York Times pernah menuliskan pilihan makanan dapat mencerminkan posisi atau status seseorang dalam masyarakat.
Namun, Gen Z membawa konsep ini ke level yang lebih tinggi, menggunakan makanan sebagai alat untuk mengekspresikan identitas dan aspirasi mereka.
Setiap pilihan makanan menjadi bagian dari narasi pribadi yang mereka bagikan kepada dunia melalui media sosial.
Salah satu contoh bagaimana makanan menjadi ekspresi diri adalah munculnya kolaborasi antara merek fesyen dan produsen makanan.
Laporan dari Vogue Business menyebutkan bahwa perubahan tren ini telah mempengaruhi industri fesyen.
Kini, beberapa merek fesyen bahkan bekerja sama dengan produsen makanan untuk menarik perhatian konsumen muda yang menghargai keunikan dan kualitas.
Dengan dunia yang semakin terhubung melalui media sosial, troli belanja Gen Z telah berubah menjadi simbol status baru.
Makanan bukan lagi sekadar kebutuhan untuk bertahan hidup, tetapi juga sarana untuk menyampaikan identitas, nilai-nilai, dan gaya hidup.
Kebiasaan ngemil di Indonesia
Fenomena makanan mewah dan premium tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Di Indonesia, konsumsi makanan ringan juga mengalami peningkatan signifikan, terutama di kalangan Milenial dan Gen Z.
Menurut Statista Market Insight seperti dikutip dari Bisniscom, 55% konsumen makanan ringan di Indonesia berasal dari kelompok Milenial dan Gen Z.
Harianus Zebua, Head of Corporate and Marketing Communication OT Group, menjelaskan bahwa pasar makanan ringan di Indonesia diperkirakan mencapai USD 7,84 miliar pada tahun 2023.
"Generasi Milenial dan Gen Z merupakan konsumen terbesar, dan mereka cenderung menyukai hal-hal baru, termasuk dalam hal makanan ringan," ujarnya kepada Bisniscom.
Selain itu, data dari Euromonitor menunjukkan bahwa penjualan keju di Indonesia tumbuh lebih dari 150 persen sejak 2018 hingga 2022, menunjukkan produk olahan susu semakin diminati oleh masyarakat Indonesia.
Hal ini menjadi tantangan bagi produsen makanan untuk terus berinovasi menciptakan produk yang sesuai dengan selera generasi muda.
Bagi Gen Z, baik di Amerika Serikat maupun Indonesia, makanan bukan sekadar kebutuhan dasar. Ini adalah sarana untuk mengekspresikan diri, membangun citra, dan menunjukkan status sosial mereka.
Di tengah dunia yang semakin kompleks, makanan menjadi bahasa universal yang mereka gunakan untuk mengkomunikasikan siapa mereka dan apa yang mereka hargai.
RELATED ARTICLES
Ekspresi Diri di Setiap Gigitan: Gen Z dan Fenomena Camilan Sehat Mahal
Gen Z mengekspresikan diri dan status sosial melalui camilan sehat yang mahal
Context.id, JAKARTA - Di tengah hiruk-pikuk kota Los Angeles, fenomena baru muncul di antara generasi muda, khususnya Gen Z. Toko-toko camilan sehat dengan embel-embel organik dan mahal ramai oleh pembeli muda.
Menurut analisis dari Business Insider, kebiasaan Gen Z berbelanja makanan bukan lagi hanya soal memenuhi kebutuhan, melainkan cara mereka mengekspresikan diri.
Jika dulu barang-barang seperti tas desainer atau sepatu mewah menjadi simbol status, kini makanan—camilan dan minuman premium—mengambil alih peran tersebut.
Salah satu contoh tren ini terlihat dalam video TikTok viral milik Jade Lily, seorang pengguna TikTok berusia 26 tahun. Dalam videonya, Lily memamerkan belanjaan dari Erewhon senilai $500, yang terdiri dari suplemen selebriti hingga camilan organik.
"Aku penggemar Olipop sampai mati," katanya, sambil memegang minuman bersoda probiotik yang menjadi favorit banyak orang. Dalam video tersebut, Lily tak hanya berbagi daftar belanja, tetapi juga menarasikan identitas pribadinya melalui setiap item yang ia beli.
BACA JUGA
Fenomena ini bukanlah sekadar tren sementara. Sebuah laporan dari McKinsey Februari lalu menunjukkan Gen Z dan milenial saat ini lebih memilih menghabiskan uang mereka untuk bahan makanan dibandingkan dengan makan di luar, perjalanan, atau kebugaran.
Banyak dari mereka bahkan mengambil pekerjaan tambahan demi membiayai kebiasaan belanja makanan sehat mereka.
Di tengah ketidakpastian ekonomi, berinvestasi dalam makanan berkualitas menjadi cara bagi mereka untuk menunjukkan perhatian pada kesehatan dan gaya hidup.
Makanan simbol status
Meskipun harga bahan makanan terus meningkat, survei Credit Karma menunjukkan sebagian besar Gen Z rela mengorbankan pengeluaran lain untuk tetap membeli makanan sehat dan premium.
Contohnya, mereka lebih memilih membeli kentang organik seharga US$45 atau sereal berbentuk croissant seharga US$53 daripada barang-barang mewah tradisional seperti tas desainer yang harganya bisa mencapai ribuan dolar.
Andrea Hernández, penulis newsletter Snaxshot, menyebut fenomena ini sebagai "efek lipstik," di mana generasi muda memanjakan diri dengan kemewahan kecil di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Bagi Gen Z, camilan mahal bukan sekadar makanan, melainkan simbol status yang menunjukkan meskipun harga-harga naik, mereka tetap mampu menikmati sesuatu yang berkualitas.
Ekspresi diri via makanan
Makanan sebagai simbol status sebenarnya bukanlah hal baru. Pada tahun 1986, New York Times pernah menuliskan pilihan makanan dapat mencerminkan posisi atau status seseorang dalam masyarakat.
Namun, Gen Z membawa konsep ini ke level yang lebih tinggi, menggunakan makanan sebagai alat untuk mengekspresikan identitas dan aspirasi mereka.
Setiap pilihan makanan menjadi bagian dari narasi pribadi yang mereka bagikan kepada dunia melalui media sosial.
Salah satu contoh bagaimana makanan menjadi ekspresi diri adalah munculnya kolaborasi antara merek fesyen dan produsen makanan.
Laporan dari Vogue Business menyebutkan bahwa perubahan tren ini telah mempengaruhi industri fesyen.
Kini, beberapa merek fesyen bahkan bekerja sama dengan produsen makanan untuk menarik perhatian konsumen muda yang menghargai keunikan dan kualitas.
Dengan dunia yang semakin terhubung melalui media sosial, troli belanja Gen Z telah berubah menjadi simbol status baru.
Makanan bukan lagi sekadar kebutuhan untuk bertahan hidup, tetapi juga sarana untuk menyampaikan identitas, nilai-nilai, dan gaya hidup.
Kebiasaan ngemil di Indonesia
Fenomena makanan mewah dan premium tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Di Indonesia, konsumsi makanan ringan juga mengalami peningkatan signifikan, terutama di kalangan Milenial dan Gen Z.
Menurut Statista Market Insight seperti dikutip dari Bisniscom, 55% konsumen makanan ringan di Indonesia berasal dari kelompok Milenial dan Gen Z.
Harianus Zebua, Head of Corporate and Marketing Communication OT Group, menjelaskan bahwa pasar makanan ringan di Indonesia diperkirakan mencapai USD 7,84 miliar pada tahun 2023.
"Generasi Milenial dan Gen Z merupakan konsumen terbesar, dan mereka cenderung menyukai hal-hal baru, termasuk dalam hal makanan ringan," ujarnya kepada Bisniscom.
Selain itu, data dari Euromonitor menunjukkan bahwa penjualan keju di Indonesia tumbuh lebih dari 150 persen sejak 2018 hingga 2022, menunjukkan produk olahan susu semakin diminati oleh masyarakat Indonesia.
Hal ini menjadi tantangan bagi produsen makanan untuk terus berinovasi menciptakan produk yang sesuai dengan selera generasi muda.
Bagi Gen Z, baik di Amerika Serikat maupun Indonesia, makanan bukan sekadar kebutuhan dasar. Ini adalah sarana untuk mengekspresikan diri, membangun citra, dan menunjukkan status sosial mereka.
Di tengah dunia yang semakin kompleks, makanan menjadi bahasa universal yang mereka gunakan untuk mengkomunikasikan siapa mereka dan apa yang mereka hargai.
POPULAR
RELATED ARTICLES