Kemenangan Uni Eropa Melawan Raksasa Teknologi AS
Uni Eropa memberikan banyak denda kepada raksasa teknologi asal AS seperti Apple dan Google yang dianggap mengambil banyak keuntungan ekonomi
Context.id, JAKARTA - Dewan Uni Eropa telah bertarung dengan perusahaan teknologi raksasa, terutama yang berasal dari AS selama bertahun-tahun terkait isu-isu mulai dari privasi data hingga disinformasi.
Kemenangan hari Selasa (10/9) kemarin atas Apple di Pengadilan Uni Eropa merupakan terobosan. Sebelumnya Komisi Eropa selalu gagal membuktikan perusahaan teknologi seperti Apple dan Google telah melanggar hukum dengan mengalihkan keuntungan ke negara-negara dengan pajak rendah seperti Irlandia dan Luksemburg.
Melansir Reuters, pengadilan tertinggi Uni Eropa membuat putusan final perusahaan pembuat MacBook itu harus membayar 13 miliar euro atau sekitar US$14,3 miliar dalam bentuk pajak tertunda kepada Irlandia, menguatkan keputusan komisi pada tahun 2016 bahwa kesepakatan istimewa antara Apple dan pemerintah Dublin adalah ilegal.
Apple juga terkena pelanggaran aturan persaingan. Uni Eropa menjatuhkan denda sebesar 1,8 miliar euro kepada perusahaan asal California tersebut awal tahun ini karena mencegah pengguna Eropa mengakses informasi tentang layanan streaming musik yang lebih murah.
Uni Eropa pada bulan Juni kemaren juga sudah mengultimatum Apple bahwa App Store-nya melanggar aturan persaingan. Merespon itu, Apple mengumumkan pihkanya membolehkan pengguna Eropa menghapus aplikasi termasuk App Store dan browser Safari di perangkat mereka.
BACA JUGA
Komisi juga sedang berjuang dalam kasus serupa melawan Amazon, yang juga menang dalam banding terhadap perintah untuk membayar kembali 250 juta euro dalam bentuk pajak tertunda kepada Luksemburg.
Komisi Uni Eropa telah menjatuhkan lebih dari 10 miliar euro dalam bentuk denda kepada perusahaan teknologi karena menyalahgunakan posisi dominan mereka di pasar. Dari putusan itu, Google yang paling terkena dampak terbesar.
Pada hari yang sama, Pengadilan Uni Eropa juga memutuskan denda sebesar 2,4 miliar euro yang pertama kali dijatuhkan kepada Google pada tahun 2017 karena secara ilegal mengutamakan layanan pembayaran digital miliknya sendiri.
Sebelumnya, seperti dituliskan Fortune, Google juga dikenai denda lebih dari empat miliar euro pada tahun 2018 karena memonopoli sistem pencarian miliknya di sistem operasi mobile Android.
Komisi merekomendasikan tahun lalu agar Google menjual sebagian bisnisnya dan dapat dikenakan denda hingga 10 persen dari pendapatan globalnya jika gagal mematuhi aturan.
Melanggar privasi
Selain persoalan monopoli dan juga pengemplangan pajak, raksa teknologi AS juga dinilai melanggar peraturan perlindungan data umum (GDPR) Uni Eropa, yang disahkan pada tahun 2018.
Aturan itu tentunya membatasi cara perusahaan dapat mengumpulkan dan menyimpan informasi pribadi. Sedangkan model bisnis perusahaan seperti Meta dan Google bergantung pada pengumpulan data untuk dijual kepada pengiklan atau untuk mengembangkan produk baru.
Selain perusahaan AS, Komisi Eropa juga menjatuhkan denda kepada korporasi teknologi asal China, TikTok sebesar 345 juta euro karena salah menangani data anak-anak pada bulan September lalu.
Denda itu dikenakan beberapa bulan setelah Meta dikenai denda sebesar 1,2 miliar euro karena secara ilegal mentransfer data pribadi antara Eropa dan Amerika Serikat, seperti ditulis Reuters.
Sebelumnya, Luksemburg memegang rekor denda data setelah menghukum Amazon dengan denda sebesar 746 juta euro pada tahun 2021.
Keluhan tentang data pribadi yang diambil demi keuntungan perusahaan juga ramai dikeluhkan di Eropa, terutama kepada Meta dan platform X milik Elon Musk yang ingin mengembangkan produk AI mereka.
Bukan itu saja, platform-platform asal AS juga telah lama menghadapi tuduhan gagal menangani ujaran kebencian, disinformasi, dan pembajakan. Sebagai bentuk pengabaian dari imbauan keras kepada perusahaan-perusahaan itu, pada akhirnya Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Layanan Digital (DSA) 2023.
UU itu memaksa perusahaan menangani masalah ini atau menghadapi denda hingga enam persen dari omset global mereka. Saat ini Komisi Eropa sedang menjalankan penyelidikan terhadap Facebook dan Instagram karena gagal menangani disinformasi terkait pemilu, dan menuduh X melanggar aturan dengan akun "terverifikasi" centang birunya.
Publisher Right
Sementara Google dan platform online lainnya juga dituduh menghasilkan miliaran dari berita tanpa membagikan pendapatan kepada mereka yang mengumpulkannya.
Untuk mengatasi ini, Uni Eropa menciptakan bentuk hak cipta yang memungkinkan media cetak menuntut kompensasi atas penggunaan konten mereka.
Prancis menjadi kasus uji coba aturan ini dan setelah penolakan awal, Google dan Facebook sama-sama setuju untuk membayar beberapa outlet Prancis untuk artikel yang ditampilkan dalam pencarian web.
Di Indonesia, peraturan serupa juga diberlakukan melalui terbitnya Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau Perpres Publisher Rights.
Dalam siaran resminya, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria mengatakan Perpres Publisher Rights bukan sekadar tren mengikuti negara lain.
Nezar menjelaskan aturan itu untuk memenuhi kebutuhan bangsa untuk mengatur hubungan bisnis antara platform digital seperti Google, Meta (induk Facebook dan Instagram), X atau Twitter, dll, dengan penerbit.
"Perpres ini dirancang untuk menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan kedua belah pihak untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan," kata Nezar
Dirinya juga menyatakan Perpres Publisher Rights memiliki karakteristik unik ketimbang aturan serupa di negara lain seperti Australia dan Kanada.
Menurutnya, fokus utama pengaturan Publisher Rights di Indonesia berkaitan dengan upaya mewujudkan jurnalisme berkualitas, sementara negara-negara maju lebih menitikberatkan pada aspek bisnis.
"Perpres ini menggabungkan dua elemen penting, yakni peningkatan kompetensi dan keterampilan jurnalis, serta penerapan etika jurnalisme yang kuat dalam setiap produk berita," imbuhnya.
Baginya tujuan utama Publisher Rights Indonesia untuk meminta platform digital memprioritaskan jurnalisme berkualitas yang sesuai dengan Undang-Undang Pers sekaligus sebagai peta jalan transformasi digital yang mengubah model bisnis termasuk industri media
RELATED ARTICLES
Kemenangan Uni Eropa Melawan Raksasa Teknologi AS
Uni Eropa memberikan banyak denda kepada raksasa teknologi asal AS seperti Apple dan Google yang dianggap mengambil banyak keuntungan ekonomi
Context.id, JAKARTA - Dewan Uni Eropa telah bertarung dengan perusahaan teknologi raksasa, terutama yang berasal dari AS selama bertahun-tahun terkait isu-isu mulai dari privasi data hingga disinformasi.
Kemenangan hari Selasa (10/9) kemarin atas Apple di Pengadilan Uni Eropa merupakan terobosan. Sebelumnya Komisi Eropa selalu gagal membuktikan perusahaan teknologi seperti Apple dan Google telah melanggar hukum dengan mengalihkan keuntungan ke negara-negara dengan pajak rendah seperti Irlandia dan Luksemburg.
Melansir Reuters, pengadilan tertinggi Uni Eropa membuat putusan final perusahaan pembuat MacBook itu harus membayar 13 miliar euro atau sekitar US$14,3 miliar dalam bentuk pajak tertunda kepada Irlandia, menguatkan keputusan komisi pada tahun 2016 bahwa kesepakatan istimewa antara Apple dan pemerintah Dublin adalah ilegal.
Apple juga terkena pelanggaran aturan persaingan. Uni Eropa menjatuhkan denda sebesar 1,8 miliar euro kepada perusahaan asal California tersebut awal tahun ini karena mencegah pengguna Eropa mengakses informasi tentang layanan streaming musik yang lebih murah.
Uni Eropa pada bulan Juni kemaren juga sudah mengultimatum Apple bahwa App Store-nya melanggar aturan persaingan. Merespon itu, Apple mengumumkan pihkanya membolehkan pengguna Eropa menghapus aplikasi termasuk App Store dan browser Safari di perangkat mereka.
BACA JUGA
Komisi juga sedang berjuang dalam kasus serupa melawan Amazon, yang juga menang dalam banding terhadap perintah untuk membayar kembali 250 juta euro dalam bentuk pajak tertunda kepada Luksemburg.
Komisi Uni Eropa telah menjatuhkan lebih dari 10 miliar euro dalam bentuk denda kepada perusahaan teknologi karena menyalahgunakan posisi dominan mereka di pasar. Dari putusan itu, Google yang paling terkena dampak terbesar.
Pada hari yang sama, Pengadilan Uni Eropa juga memutuskan denda sebesar 2,4 miliar euro yang pertama kali dijatuhkan kepada Google pada tahun 2017 karena secara ilegal mengutamakan layanan pembayaran digital miliknya sendiri.
Sebelumnya, seperti dituliskan Fortune, Google juga dikenai denda lebih dari empat miliar euro pada tahun 2018 karena memonopoli sistem pencarian miliknya di sistem operasi mobile Android.
Komisi merekomendasikan tahun lalu agar Google menjual sebagian bisnisnya dan dapat dikenakan denda hingga 10 persen dari pendapatan globalnya jika gagal mematuhi aturan.
Melanggar privasi
Selain persoalan monopoli dan juga pengemplangan pajak, raksa teknologi AS juga dinilai melanggar peraturan perlindungan data umum (GDPR) Uni Eropa, yang disahkan pada tahun 2018.
Aturan itu tentunya membatasi cara perusahaan dapat mengumpulkan dan menyimpan informasi pribadi. Sedangkan model bisnis perusahaan seperti Meta dan Google bergantung pada pengumpulan data untuk dijual kepada pengiklan atau untuk mengembangkan produk baru.
Selain perusahaan AS, Komisi Eropa juga menjatuhkan denda kepada korporasi teknologi asal China, TikTok sebesar 345 juta euro karena salah menangani data anak-anak pada bulan September lalu.
Denda itu dikenakan beberapa bulan setelah Meta dikenai denda sebesar 1,2 miliar euro karena secara ilegal mentransfer data pribadi antara Eropa dan Amerika Serikat, seperti ditulis Reuters.
Sebelumnya, Luksemburg memegang rekor denda data setelah menghukum Amazon dengan denda sebesar 746 juta euro pada tahun 2021.
Keluhan tentang data pribadi yang diambil demi keuntungan perusahaan juga ramai dikeluhkan di Eropa, terutama kepada Meta dan platform X milik Elon Musk yang ingin mengembangkan produk AI mereka.
Bukan itu saja, platform-platform asal AS juga telah lama menghadapi tuduhan gagal menangani ujaran kebencian, disinformasi, dan pembajakan. Sebagai bentuk pengabaian dari imbauan keras kepada perusahaan-perusahaan itu, pada akhirnya Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Layanan Digital (DSA) 2023.
UU itu memaksa perusahaan menangani masalah ini atau menghadapi denda hingga enam persen dari omset global mereka. Saat ini Komisi Eropa sedang menjalankan penyelidikan terhadap Facebook dan Instagram karena gagal menangani disinformasi terkait pemilu, dan menuduh X melanggar aturan dengan akun "terverifikasi" centang birunya.
Publisher Right
Sementara Google dan platform online lainnya juga dituduh menghasilkan miliaran dari berita tanpa membagikan pendapatan kepada mereka yang mengumpulkannya.
Untuk mengatasi ini, Uni Eropa menciptakan bentuk hak cipta yang memungkinkan media cetak menuntut kompensasi atas penggunaan konten mereka.
Prancis menjadi kasus uji coba aturan ini dan setelah penolakan awal, Google dan Facebook sama-sama setuju untuk membayar beberapa outlet Prancis untuk artikel yang ditampilkan dalam pencarian web.
Di Indonesia, peraturan serupa juga diberlakukan melalui terbitnya Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau Perpres Publisher Rights.
Dalam siaran resminya, Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria mengatakan Perpres Publisher Rights bukan sekadar tren mengikuti negara lain.
Nezar menjelaskan aturan itu untuk memenuhi kebutuhan bangsa untuk mengatur hubungan bisnis antara platform digital seperti Google, Meta (induk Facebook dan Instagram), X atau Twitter, dll, dengan penerbit.
"Perpres ini dirancang untuk menciptakan kerangka kerja yang memungkinkan kedua belah pihak untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan bisnis yang saling menguntungkan," kata Nezar
Dirinya juga menyatakan Perpres Publisher Rights memiliki karakteristik unik ketimbang aturan serupa di negara lain seperti Australia dan Kanada.
Menurutnya, fokus utama pengaturan Publisher Rights di Indonesia berkaitan dengan upaya mewujudkan jurnalisme berkualitas, sementara negara-negara maju lebih menitikberatkan pada aspek bisnis.
"Perpres ini menggabungkan dua elemen penting, yakni peningkatan kompetensi dan keterampilan jurnalis, serta penerapan etika jurnalisme yang kuat dalam setiap produk berita," imbuhnya.
Baginya tujuan utama Publisher Rights Indonesia untuk meminta platform digital memprioritaskan jurnalisme berkualitas yang sesuai dengan Undang-Undang Pers sekaligus sebagai peta jalan transformasi digital yang mengubah model bisnis termasuk industri media
POPULAR
RELATED ARTICLES