Stories - 21 August 2024
Berbagi Informasi Masalah Iklim, Platform Lapor Iklim Bisa Berguna
Platform LaporIklim bertujuan membuka akses dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam melaporkan dampak perubahan iklim di Indonesia
Context.id, JAKARTA - Yayasan Warga Berdaya untuk Kemanusiaan (Warga Berdaya) meluncurkan inisiatif LaporIklim, platform yang bertujuan untuk membuka akses dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam melaporkan dampak perubahan iklim di Indonesia.
Platform LaporIklim ini dilengkapi chatbot yang dapat digunakan oleh sesama warga untuk berbagi informasi dan data terkait masalah iklim melalui pendekatan citizen reporting dan terintegrasi aplikasi WhatsApp.
Mekanisme penggunaan platform ini diawali dengan pelapor mengakses chat bot dan memilih jenis laporan yang dilaporkan.
Lalu, pelapor akan diminta menjawab pertanyaan yang diajukan oleh bot. Untuk mendukung proses pelaporan, pelapor dapat menyertakan beberapa keterangan seperti lokasi dan foto.
Nantinya, laporan yang masuk akan diverifikasi terlebih dahulu. Permasalahan iklim yang dapat dilaporkan meliputi suhu yang semakin panas, kekeringan, gagal panen, wabah penyakit, musim tidak menentu, bencana alam, dan penurunan produktivitas karena cuaca.
Ketua Tim Pengelolaan Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto mengatakan status iklim berada pada era world boiling atau pendidihan.
Menurut laporan tahunan The State of Global Climate dari World Meteorological Organization (WMO), 2023 merupakan tahun terpanas dengan tingkat pemanasan sebesar 1,45 derajat celcius sejak era pra-industri di tahun 1850.
Konvensi internasional permasalahan iklim global, yakni Paris Agreement mencoba mengerem kenaikan suhu global di angka 1,5 di tahun 2030 dan di bawah 2 derajat celcius pada akhir abad 21.
Namun dengan kondisi saat ini, menahan laju kenaikan sebesar 1.5 derajat celcius tampaknya sangat sulit.
Siswanto menambahkan, platform chatbot milik LaporIklim merupakan aksi nyata dalam mengatasi krisis iklim yang perlu didorong oleh generasi muda.
Antosian berharap generasi muda akan semakin menyadari dampak bahaya risiko iklim terhadap generasi mereka.
Hermanu Triwidodo, Kepala Tani dan Nelayan Center (TNC) IPB University mengatakan petani dan nelayan menjadi kelompok rentan yang paling terdampak dari perubahan iklim.
Saat ini, petani lebih banyak mengadaptasi perubahan yang terjadi dengan caranya sendiri.
Hal itu dilakukan oleh Tarsono, petani dari Indramayu, Jawa Barat yang secara mandiri membuat sebuah alat penampung curah hujan atau disebut omplong untuk dipasang di sawah. Ini merupakan salah satu ilmu agrometeorologi yang dipelajari Tarsono.
Sederhananya, agrometeorologi berisi kaitan data curah hujan dengan data ekosistem untuk mengetahui dampak dari pola hujan tertentu pada lahan dan tanaman.
Dari situ, para petani bisa tahu masalah yang terjadi di lahannya dan menemukan solusi yang tanggap akibat perubahan iklim.
Menurut Tarsono, hasil analisis menggunakan agrometeorologi ini akan dibawa ke rembuk desa untuk menyepakati strategi.
Rembuk desa ini merumuskan soal penentuan jadwal semai, air irigasi, pengamatan lampu perangkap hama, skenario musiman atau prediksi curah hujan, penetapan sistem genggong.
Hermanu mengapresiasi yang dilakukan Tarsono. Menurutnya penambahan pengetahuan lokal dengan general science merupakan adaptasi yang harus dilakukan dan bentuk adaptasi seperti itu dapat ditularkan kepada petani-petani lain.
Sementara Nadia Hadad dari Manusia dan Alam untuk Indonesia Berkelanjutan (MADANI Berkelanjutan) menyoroti ketidakadilan iklim sebagai akibat dari perubahan iklim.
Dimensi ketidakadilan ini terbagi menjadi empat. Pertama, rekognisi, setiap kelompok masyarakat dari level mana pun harus mendapatkan pengakuan yang sama dalam permasalah krisis iklim.
Kedua, distributif yaitu pola mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim yang harus disebarkan secara merata ke seluruh elemen masyarakat.
Lalu ketiga, prosedural yang mengupayakan pengentasan perubahan iklim dengan menawarkan solusi tidak hanya dari satu sudut pandang. Pihak yang terdampak krisis iklim harus bisa beradaptasi dengan caranya sendiri.
Solusi ini hendaknya dibagikan kepada kelompok di daerah lain. Keempat, restorasi, bagaimana mengembalikan dampak yang terjadi sesuai dengan kebutuhan pihak yang terdampak.
Yoesep Budianto, relawan LaporIklim, mengatakan platform ini nantinya akan dikembangkan agar terintegrasi dengan data-data sekunder, seperti data iklim dari BMKG.
Integrasi ini akan memungkinkan LaporIklim memberikan saran yang lebih spesifik dan relevan kepada petani terkait masa tanam dan panen di bulan-bulan mendatang.
Misalnya, prediksi curah hujan dan suhu udara tiga bulan ke depan, saran masa tanam dan masa panen berdasarkan iklim, dan prediksi kekeringan.
Melalui inisiatif ini, harapannya bisa membantu masyarakat untuk saling belajar dan menggunakan platform ini untuk tanggap cepat. Platform ini juga akan menghubungkan ke pihak-pihak yang bisa membantu mengatasi solusi di lapangan.
Kontributor: Fadlan Priatna
Penulis : Context.id
Editor : Wahyu Arifin
MORE STORIES
Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman
Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...
Context.id | 29-10-2024
Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih
Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung
Context.id | 29-10-2024
Dari Pengusaha Menjadi Sosok Dermawan; Tren Filantropis Pendiri Big Tech
Banyak yang meragukan mengapa para taipan Big Tech menjadi filantropi, salah satunya tudingan menghindari pajak
Context.id | 28-10-2024
Dari Barak ke Ruang Rapat: Sepak Terjang Lulusan Akmil dan Akpol
Para perwira lulusan Akmil dan Akpol memiliki keterampilan kepemimpinan yang berharga untuk dunia bisnis dan pemerintahan.
Context.id | 28-10-2024
A modern exploration of business, societies, and ideas.
Powered by Bisnis Indonesia.
Copyright © 2024 - Context
Copyright © 2024 - Context