Share

Home Stories

Stories 04 April 2024

Krisis Iklim dan Melonjaknya Harga Biji Kopi Robusta

Pasokan kopi tersendat karena produktivitas lahan yang turun akibat kekeringan dan pemanasan global, sebagai dampak krisis iklim.

Ilustrasi Biji Kopi di Tengah Krisis Iklim - Jihan Aldiza

Context.id, JAKARTA - Krisis iklim turut memengaruhi harga dan rasa kopi. Seperti diketahui, belakangan ini harga kopi robusta terus memuncak, mencapai rekor tertingginya seiring permintaan yang terus meningkat.

Harga kopi robusta memecahkan rekornya pada pekan lalu, Rabu (27/3/2024) yang mencapai US$3.559 per ton. Adapun, pada Rabu (3/4/2024) pekan ini harga robusta bergerak di kisaran US$3.541 per ton.

Terus naiknya harga robusta juga disebabkan oleh pasokan dari kebun yang terus merosot. Bahkan, World Coffee Research memproyeksikan bahwa dunia akan kekurangan kopi robusta hingga 35 juta kantong pada 2040, di mana setiap kantongnya berisi 60 kilogram biji kopi.

Di sisi lain, pasokan kopi tersendat karena produktivitas lahan yang turun akibat kekeringan dan pemanasan global, sebagai dampak krisis iklim.

Krisis iklim menjadi ancaman nyata bagi industri kopi, karena suhu permukaan bumi yang semakin memanas terus mengurangi luas lahan yang cocok untuk ditanami kopi dengan ideal.

Kopi memang bisa tetap tumbuh, tetapi kualitasnya bisa menurun, apalagi jika lingkungan sekitar lahan itu kering.

Hasil riset Roman Grüter pada 2022 menunjukkan bahwa tanaman komersial tropis seperti kopi arabika, alpukat, dan jambu mete menjadi yang paling rentan terhadap krisis iklim.

Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya wilayah yang cocok untuk produksi tanaman-tanaman itu secara global.

CEO World Coffee Research Jennifer Vern Long menjelaskan bahwa kopi robusta memang lebih toleran terhadap panas, penyakit, dan beberapa hama.

Namun demikian, bukan berarti kopi robusta dapat menjadi solusi dari ancaman berkurangnya produksi kopi dan penurunan kualitas arabika.

"Robusta bukanlah obat mujarab bagi krisis iklim," ujar Long, dilansir dari Bloomberg, Kamis (4/4/2024).



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 04 April 2024

Krisis Iklim dan Melonjaknya Harga Biji Kopi Robusta

Pasokan kopi tersendat karena produktivitas lahan yang turun akibat kekeringan dan pemanasan global, sebagai dampak krisis iklim.

Ilustrasi Biji Kopi di Tengah Krisis Iklim - Jihan Aldiza

Context.id, JAKARTA - Krisis iklim turut memengaruhi harga dan rasa kopi. Seperti diketahui, belakangan ini harga kopi robusta terus memuncak, mencapai rekor tertingginya seiring permintaan yang terus meningkat.

Harga kopi robusta memecahkan rekornya pada pekan lalu, Rabu (27/3/2024) yang mencapai US$3.559 per ton. Adapun, pada Rabu (3/4/2024) pekan ini harga robusta bergerak di kisaran US$3.541 per ton.

Terus naiknya harga robusta juga disebabkan oleh pasokan dari kebun yang terus merosot. Bahkan, World Coffee Research memproyeksikan bahwa dunia akan kekurangan kopi robusta hingga 35 juta kantong pada 2040, di mana setiap kantongnya berisi 60 kilogram biji kopi.

Di sisi lain, pasokan kopi tersendat karena produktivitas lahan yang turun akibat kekeringan dan pemanasan global, sebagai dampak krisis iklim.

Krisis iklim menjadi ancaman nyata bagi industri kopi, karena suhu permukaan bumi yang semakin memanas terus mengurangi luas lahan yang cocok untuk ditanami kopi dengan ideal.

Kopi memang bisa tetap tumbuh, tetapi kualitasnya bisa menurun, apalagi jika lingkungan sekitar lahan itu kering.

Hasil riset Roman Grüter pada 2022 menunjukkan bahwa tanaman komersial tropis seperti kopi arabika, alpukat, dan jambu mete menjadi yang paling rentan terhadap krisis iklim.

Hal ini disebabkan karena semakin berkurangnya wilayah yang cocok untuk produksi tanaman-tanaman itu secara global.

CEO World Coffee Research Jennifer Vern Long menjelaskan bahwa kopi robusta memang lebih toleran terhadap panas, penyakit, dan beberapa hama.

Namun demikian, bukan berarti kopi robusta dapat menjadi solusi dari ancaman berkurangnya produksi kopi dan penurunan kualitas arabika.

"Robusta bukanlah obat mujarab bagi krisis iklim," ujar Long, dilansir dari Bloomberg, Kamis (4/4/2024).



Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Tarif Trump Membuat Industri Solar Panel Asia Tenggara di Ambang Kehancuran

Sekitar 80% panel surya yang dijual di Amerika pada 2024 berasal dari Asia Tenggara

Noviarizal Fernandez . 18 June 2025

Ketika Taman Menyala dan Jakarta Mencoba Ramah

Ruang publik di Jakarta harus dikembalikan kepada mereka yang berhak yakni warganya sendiri

Renita Sukma . 17 June 2025

Benarkah Mozilla Firefox Mulai Ditinggalkan?

Firefox dianggap tertinggal dalam pengelolaan tab dan perlindungan privasi menjadi setengah hati \r\n\r\n

Noviarizal Fernandez . 16 June 2025

Ini Peramban yang Bisa Menjaga Privasi Digital Anda

Peramban bukan hanya alat, tapi juga gerbang ke dunia digital dan penjaga data kita yang paling rahasia.

Renita Sukma . 16 June 2025