Share

Stories 19 Agustus 2024

BRIN Usulkan Atasi Polusi Udara dengan Teknologi Nuklir

Penggunaan teknologi nuklir mampu memberikan informasi lengkap dalam merumuskan kebijakan penanganan polusi udara sesuai data dari setiap daerah yang diteliti

Polusi udara/Data Indonesia

Context.id, JAKARTA - Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengusulkan penggunaan teknologi nuklir dalam mengentaskan permasalahan polusi udara.

Nantinya, BRIN akan melakukan karakterisasi pada partikel di udara yang membahayakan kesehatan. 

Melansir situs BRIN, terdapat 17 titik pusat pemantau polusi udara yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia.

Sensor dan monitor yang di fasilitas pemantauan polusi udara ini akan memberikan data konsentrasi yang berisi partikel udara yang berbeda-beda. 

Penggunaan teknologi nuklir mampu memberikan informasi lengkap dalam merumuskan kebijakan penanganan polusi udara sesuai data dari setiap daerah yang diteliti. 



Data partikel tersebut nantinya akan diidentifikasi oleh BRIN menggunakan teknologi sehingga didapatkan informasi mengenai cara yang tepat dalam mengatasi polusi udara.

Partikel udara ini dapat dianalisis menggunakan energi nuklir sekali tembak misalnya sinar gamma, X-ray, atau proton.

BRIN menambahkan, pencemaran udara merupakan permasalahan global yang mesti diatasi bersama.

Partikel udara yang sangat halus di udara dan di atmosfer, akan bergerak dari satu negara ke negara lainnya dalam jangka waktu yang lama.

Sebelumnya, BRIN juga telah bekerja sama dengan Seoul National University (SNU) dari Korea Selatan terkait analisis sumber pencemaran udara di Indonesia sebagai bagian dari program Clean Air for Sustainable Asean (CASA) pada Juli lalu.

Kerja sama ini diharapkan  dapat meningkatkan kapasitas analisis nuklir dalam mengatasi permasalahan polusi udara.

Seperti yang ditulis US Energy Information Administration, penggunaan teknologi nuklir tidak tidak menghasilkan emisi karbon secara langsung layaknya pembangkit listrik berbahan fosil.

Namun kekurangan teknologi nuklir salah satunya yaitu terciptanya limbah radioaktif yang berbahaya bagi manusia.

Selain itu, melansir Nature, mematikan tenaga nuklir dapat meningkatkan polusi udara. Hal ini disebabkan peningkatan pembangkit listrik bertenaga batubara, gas, dan minyak seiring absennya nuklir sebagai sumber energi. 

Apabila lebih banyak sumber energi terbarukan yang tersedia untuk menyuplai jaringan listrik, polusi udara akan berkurang meskipun tidak secara menyeluruh. 

Di sisi lain, untuk menghitung tingkat polusi, digunakan sebuah indikator bernama Indeks Kualitas Udara (AQI). Indeks kualitas udara berkisar antara 0 sampai 500.

Kualitas udara yang baik berkisar antara 0 hingga 50, sedangkan pengukuran di atas 300 dianggap berbahaya.

Mengutip IQAir, ada enam level indeks kualitas udara. Pertama, udara dikatakan sehat jika berada di level 0–50. Lalu, pada level 51–100, kesehatan udara berada di level sedang.

Jika sudah berada di atas level 101–150, udara dianggap tidak sehat untuk kelompok sensitif. 

Pada level 151–200 udara disebut tidak sehat dan udara dikatakan sangat tidak sehat pada level 201–300. Sementara di level 300 ke atas, udara sudah dikategorikan berbahaya.

Masih melansir pada situs yang sama, Jakarta menjadi kota paling berpolusi di Indonesia dengan level 165. Disusul Tangerang Selatan di posisi kedua yang menyentuh level 158, dan Kota Bogor di level 130.

Kontributor: Fadlan Priatna



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 19 Agustus 2024

BRIN Usulkan Atasi Polusi Udara dengan Teknologi Nuklir

Penggunaan teknologi nuklir mampu memberikan informasi lengkap dalam merumuskan kebijakan penanganan polusi udara sesuai data dari setiap daerah yang diteliti

Polusi udara/Data Indonesia

Context.id, JAKARTA - Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengusulkan penggunaan teknologi nuklir dalam mengentaskan permasalahan polusi udara.

Nantinya, BRIN akan melakukan karakterisasi pada partikel di udara yang membahayakan kesehatan. 

Melansir situs BRIN, terdapat 17 titik pusat pemantau polusi udara yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia.

Sensor dan monitor yang di fasilitas pemantauan polusi udara ini akan memberikan data konsentrasi yang berisi partikel udara yang berbeda-beda. 

Penggunaan teknologi nuklir mampu memberikan informasi lengkap dalam merumuskan kebijakan penanganan polusi udara sesuai data dari setiap daerah yang diteliti. 



Data partikel tersebut nantinya akan diidentifikasi oleh BRIN menggunakan teknologi sehingga didapatkan informasi mengenai cara yang tepat dalam mengatasi polusi udara.

Partikel udara ini dapat dianalisis menggunakan energi nuklir sekali tembak misalnya sinar gamma, X-ray, atau proton.

BRIN menambahkan, pencemaran udara merupakan permasalahan global yang mesti diatasi bersama.

Partikel udara yang sangat halus di udara dan di atmosfer, akan bergerak dari satu negara ke negara lainnya dalam jangka waktu yang lama.

Sebelumnya, BRIN juga telah bekerja sama dengan Seoul National University (SNU) dari Korea Selatan terkait analisis sumber pencemaran udara di Indonesia sebagai bagian dari program Clean Air for Sustainable Asean (CASA) pada Juli lalu.

Kerja sama ini diharapkan  dapat meningkatkan kapasitas analisis nuklir dalam mengatasi permasalahan polusi udara.

Seperti yang ditulis US Energy Information Administration, penggunaan teknologi nuklir tidak tidak menghasilkan emisi karbon secara langsung layaknya pembangkit listrik berbahan fosil.

Namun kekurangan teknologi nuklir salah satunya yaitu terciptanya limbah radioaktif yang berbahaya bagi manusia.

Selain itu, melansir Nature, mematikan tenaga nuklir dapat meningkatkan polusi udara. Hal ini disebabkan peningkatan pembangkit listrik bertenaga batubara, gas, dan minyak seiring absennya nuklir sebagai sumber energi. 

Apabila lebih banyak sumber energi terbarukan yang tersedia untuk menyuplai jaringan listrik, polusi udara akan berkurang meskipun tidak secara menyeluruh. 

Di sisi lain, untuk menghitung tingkat polusi, digunakan sebuah indikator bernama Indeks Kualitas Udara (AQI). Indeks kualitas udara berkisar antara 0 sampai 500.

Kualitas udara yang baik berkisar antara 0 hingga 50, sedangkan pengukuran di atas 300 dianggap berbahaya.

Mengutip IQAir, ada enam level indeks kualitas udara. Pertama, udara dikatakan sehat jika berada di level 0–50. Lalu, pada level 51–100, kesehatan udara berada di level sedang.

Jika sudah berada di atas level 101–150, udara dianggap tidak sehat untuk kelompok sensitif. 

Pada level 151–200 udara disebut tidak sehat dan udara dikatakan sangat tidak sehat pada level 201–300. Sementara di level 300 ke atas, udara sudah dikategorikan berbahaya.

Masih melansir pada situs yang sama, Jakarta menjadi kota paling berpolusi di Indonesia dengan level 165. Disusul Tangerang Selatan di posisi kedua yang menyentuh level 158, dan Kota Bogor di level 130.

Kontributor: Fadlan Priatna



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Haruskah Tetap Belajar Coding di Dunia AI?

Kamp pelatihan coding dulunya tampak seperti tiket emas menuju masa depan yang aman secara ekonomi. Namun, saat janji itu memudar, apa yang harus ...

Context.id . 25 November 2024

Menuju Pemulihan: Dua Ilmuwan Harvard Mencari Jalan Cepat Atasi Depresi

Depresi menjadi musuh yang sulit ditaklukkan karena pengobatannya butuh waktu panjang

Context.id . 24 November 2024

Hati-hati! Terlalu Banyak Duduk Rentan Terkena Serangan Jantung

Menurut penelitian terbaru meskipun kita rajin olahraga yang rutin jika tubuh tidak banyak bergerak dapat meningkatkan risiko gagal jantung hingga 60%

Context.id . 24 November 2024

Klaster AI Kempner Raih Predikat Superkomputer Hijau Tercepat di Dunia

Melalui peningkatan daya komputasi ini, kita dapat mempelajari lebih dalam bagaimana model generatif belajar untuk bernalar dan menyelesaikan tuga ...

Context.id . 23 November 2024