Manggarai Jaksel, Nama dari Tangisan Budak yang Rindu Pulang
Manggarai bukan hanya soal transit dan padatnya penumpang, tapi juga tentang memori perbudakan dan akar budaya dari Timur Indonesia

Context.id, JAKARTA - Stasiun Manggarai menjadi salah satu tempat menakutkan bagi banyak orang, terutama pekerja di daerah Jabodetabek. Bagaimana tidak, pengguna stasiun transit yang melayani kereta api bandara dan KRL commuter line tersebut mencapai 57,9 juta penumpang sepanjang 2024.
Kesemrawutan dan hiruk pikuk padatnya manusia saat jam berangkat atau pulang kerja bisa membuat kepala pening dan pusing tujuh keliling. Tapi di luar persoalan itu, Manggarai nama yang melekat dengan stasiun itu punya cerita tragis.
Jadi, Manggarai dulunya merupakan permukiman budak dan pasar kecil. Nama Manggarai sendiri berasal dari tanah asal para penghuninya, orang-orang Flores Barat yang dibawa ke Batavia oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19.
Melansir Buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat, nama Manggarai digunakan agar mereka merasa terikat pada kampung halaman yang mereka tinggalkan, meski menjadi budak di tanah yang asing.
Selain nama yang diduplikasi, budaya dan kebiasaan pun ikut bermigrasi. Terdapat jejak percampuran budaya antara kesenian Betawi dan NTT melalui sebuah tarian yang diiringi tiga rebana biang bernama lenggo yang berkembang di daerah Manggarai.
“Kini tari tersebut namanya kini berubah menjadi tari belenggo dan dikenal sebagai tradisi Betawi dan tersebar di beberapa tempat,” tulis Rachmat dalam Buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta.
Namun ada catatan lain yang berbeda soal tarian ini. Menurut mantan Kepala Jawatan Kebudayaan Provinsi NTT H. Abdurrahman, di Bima juga terdapat tari jenis tersebut dengan nama yang sama, yakni tari lenggo.
Bukan hal yang mustahil, jika ada kemiripan karena menunjukkan adanya jalur budaya yang panjang antara timur dan barat Nusantara.
Di sisi lain, menurut KAI Commuter, Stasiun Manggarai sendiri dibangun pada tahun 1914 oleh Perusahaan Kereta Api Negara, Staatsspoorwegen.
Empat tahun berselang, pada 1 Mei 1918, Stasiun Manggarai resmi dibuka kendati belum rampung karena Perang Dunia I yang menghambat kedatangan atap besi dari luar negeri.
Kini, Stasiun Manggarai tidak hanya menjadi penghubung antar kota, tetapi juga saksi sejarah percampuran identitas, budaya dan perjuangan manusia dalam wajah Jakarta modern.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Manggarai Jaksel, Nama dari Tangisan Budak yang Rindu Pulang
Manggarai bukan hanya soal transit dan padatnya penumpang, tapi juga tentang memori perbudakan dan akar budaya dari Timur Indonesia

Context.id, JAKARTA - Stasiun Manggarai menjadi salah satu tempat menakutkan bagi banyak orang, terutama pekerja di daerah Jabodetabek. Bagaimana tidak, pengguna stasiun transit yang melayani kereta api bandara dan KRL commuter line tersebut mencapai 57,9 juta penumpang sepanjang 2024.
Kesemrawutan dan hiruk pikuk padatnya manusia saat jam berangkat atau pulang kerja bisa membuat kepala pening dan pusing tujuh keliling. Tapi di luar persoalan itu, Manggarai nama yang melekat dengan stasiun itu punya cerita tragis.
Jadi, Manggarai dulunya merupakan permukiman budak dan pasar kecil. Nama Manggarai sendiri berasal dari tanah asal para penghuninya, orang-orang Flores Barat yang dibawa ke Batavia oleh pemerintah kolonial Belanda pada abad ke-19.
Melansir Buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta karya Rachmat Ruchiat, nama Manggarai digunakan agar mereka merasa terikat pada kampung halaman yang mereka tinggalkan, meski menjadi budak di tanah yang asing.
Selain nama yang diduplikasi, budaya dan kebiasaan pun ikut bermigrasi. Terdapat jejak percampuran budaya antara kesenian Betawi dan NTT melalui sebuah tarian yang diiringi tiga rebana biang bernama lenggo yang berkembang di daerah Manggarai.
“Kini tari tersebut namanya kini berubah menjadi tari belenggo dan dikenal sebagai tradisi Betawi dan tersebar di beberapa tempat,” tulis Rachmat dalam Buku Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta.
Namun ada catatan lain yang berbeda soal tarian ini. Menurut mantan Kepala Jawatan Kebudayaan Provinsi NTT H. Abdurrahman, di Bima juga terdapat tari jenis tersebut dengan nama yang sama, yakni tari lenggo.
Bukan hal yang mustahil, jika ada kemiripan karena menunjukkan adanya jalur budaya yang panjang antara timur dan barat Nusantara.
Di sisi lain, menurut KAI Commuter, Stasiun Manggarai sendiri dibangun pada tahun 1914 oleh Perusahaan Kereta Api Negara, Staatsspoorwegen.
Empat tahun berselang, pada 1 Mei 1918, Stasiun Manggarai resmi dibuka kendati belum rampung karena Perang Dunia I yang menghambat kedatangan atap besi dari luar negeri.
Kini, Stasiun Manggarai tidak hanya menjadi penghubung antar kota, tetapi juga saksi sejarah percampuran identitas, budaya dan perjuangan manusia dalam wajah Jakarta modern.
POPULAR
RELATED ARTICLES