Sudah Siapkah Ormas Keagamaan Berbisnis Tambang?
Ormas keagamaan sebagai pemain baru di dunia tambang akan menghadapi tantangan dengan risiko yang berat
Context.id, JAKARTA - Presiden RI Joko Widodo meneken aturan baru yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk badan usaha milik organisasi masyarakat keagamaan.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Singkatnya, Pemerintah lewat Perpres tersebut menawarkan WIUPK pada ormas keagamaan yang berasal dari eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Sejauh ini, baru Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan PP Persatuan Islam (Persis) yang menerima tawaran konsesi tambang tersebut.
Pemberian konsesi tambang ini menuai banyak reaksi di media sosial yang khawatir akan kapabilitas ormas dalam mengelola tambang.
BACA JUGA
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia melihat reaksi ini sebagai hal positif. Menurutnya, kekhawatiran masyarakat merupakan bentuk kepedulian yang semakin tertarik untuk mendalami tambang.
Selain itu, masyarakat pun memahami sektor tambang bisa menjadi tulang punggung pembangunan nasional. IMA melihat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai langkah positif untuk pengembangan sektor pertambangan mineral dan batubara di masa depan.
Namun Hendra selaku perwakilan IMA mengatakan bahwa ada keresahan masyarakat yang perlu diluruskan. Menurut Hendra, lahan yang diberikan kepada ormas keagamaan adalah lahan bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Mengacu pada aturan pemerintah jika perusahaan tambang ingin memperpanjang izinnya, maka wilayah konsesi tambangnya akan diciutkan.
Bekas lahan ini nantinya akan ditawarkan oleh pemerintah ke badan usaha milik ormas keagamaan. Hendra menambahkan ormas yang menerima konsesi tambang harus mengikuti persyaratan, salah satunya adalah keahlian dan persyaratan keuangan.
Namun menurut Hendra, pemerintah harus bersikap selektif dan tidak diskriminatif dalam menerapkan aturan tersebut. Hendra melanjutkan, baik badan usaha milik ormas atau pihak swasta yang mengajukan permohonan izin tambang, harus mematuhi persyaratan yang berlaku.
Kebijakan pemerintah ini pun melahirkan kecemasan di berbagai kalangan. Hendra sendiri menganggap bahwa selama ini banyak potret pertambangan yang disorot negatif imbas pemberitaan tambang yang merusak lingkungan dan mengabaikan masyarakat.
Akan tetapi, Hendra menyebut banyak pula perusahaan tambang–yang juga anggota IMA–yang melakukan best practice dan melaksanakan kewajibannya dalam mengelola tambang.
Ormas, menurut Hendra, seharusnya dapat menjadi contoh dalam mengelola tambang. Hal ini dikarenakan prinsip ormas keagamaan yang harus memenuhi amanat umat yang memperhatikan kesejahteraan.
Kekhawatiran ini bisa ditepis dengan melaksanakan kewajiban terhadap aspek lingkungan dan perpajakan saat ormas mengelola tambang.
Ormas keagamaan sebagai pemain baru di dunia tambang akan menghadapi tantangan dengan risiko yang berat. Menurut Hendra, semua penambang harus siap dengan risiko dari kegiatan penambangan selagi melaksanakan kewajibannya. Meski pemain baru, badan usaha ormas bisa diisi oleh para ahli tambang.
Hendra khawatir nantinya tantangan ini tidak bisa dipenuhi oleh pelaku usaha tambang. Ketidakmampuan ini nantinya akan berpotensi mengabaikan kewajiban seperti kewajiban royalti, pajak, upah pekerja, dan lingkungan.
Tantangan lainnya adalah perencanaan jangka panjang seperti tahapan pasca penambangan semisal penutupan lubang. Hendra melanjutkan pengabaian proses pascapenamabangan menimbulkan stigma negatif dalam dunia tambang meskipun banyak perusahaan yang sudah mematuhi aturan.
Revisi Perpres Nomor 70 Tahun 2023 juga dibarengi oleh PP Nomor 25 Tahun 2024 yang menyebut larangan badan usaha bekerja sama dengan pemilik PKP2B sebelumnya.
Menurut Hendra, hal tersebut berupaya untuk mendorong pengusaha non PKP2B untuk memanfaatkan peluang kerja sama dengan badan usaha milik ormas yang kecipratan bekas konsesi.
Hendra berharap dengan hadirnya ormas keagamaan dalam dunia tambang mampu menjadi contoh praktik terbaik yang bermanfaat untuk masyarakat. Kehadiran ormas seharusnya bisa mendorong hubungan dengan masyarakat sekitar.
Hendra pun mengharapkan pemerintah sebagai regulator untuk memastikan kewajiban semua pihak tanpa bertindak diskriminatif. IMA pun siap untuk berperan dalam memberikan bahan pembelajaran urusan konsesi tambang kepada ormas agama.
Kontributor: Fadlan Priatna
RELATED ARTICLES
Sudah Siapkah Ormas Keagamaan Berbisnis Tambang?
Ormas keagamaan sebagai pemain baru di dunia tambang akan menghadapi tantangan dengan risiko yang berat
Context.id, JAKARTA - Presiden RI Joko Widodo meneken aturan baru yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) untuk badan usaha milik organisasi masyarakat keagamaan.
Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Singkatnya, Pemerintah lewat Perpres tersebut menawarkan WIUPK pada ormas keagamaan yang berasal dari eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Sejauh ini, baru Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan PP Persatuan Islam (Persis) yang menerima tawaran konsesi tambang tersebut.
Pemberian konsesi tambang ini menuai banyak reaksi di media sosial yang khawatir akan kapabilitas ormas dalam mengelola tambang.
BACA JUGA
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia melihat reaksi ini sebagai hal positif. Menurutnya, kekhawatiran masyarakat merupakan bentuk kepedulian yang semakin tertarik untuk mendalami tambang.
Selain itu, masyarakat pun memahami sektor tambang bisa menjadi tulang punggung pembangunan nasional. IMA melihat kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai langkah positif untuk pengembangan sektor pertambangan mineral dan batubara di masa depan.
Namun Hendra selaku perwakilan IMA mengatakan bahwa ada keresahan masyarakat yang perlu diluruskan. Menurut Hendra, lahan yang diberikan kepada ormas keagamaan adalah lahan bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Mengacu pada aturan pemerintah jika perusahaan tambang ingin memperpanjang izinnya, maka wilayah konsesi tambangnya akan diciutkan.
Bekas lahan ini nantinya akan ditawarkan oleh pemerintah ke badan usaha milik ormas keagamaan. Hendra menambahkan ormas yang menerima konsesi tambang harus mengikuti persyaratan, salah satunya adalah keahlian dan persyaratan keuangan.
Namun menurut Hendra, pemerintah harus bersikap selektif dan tidak diskriminatif dalam menerapkan aturan tersebut. Hendra melanjutkan, baik badan usaha milik ormas atau pihak swasta yang mengajukan permohonan izin tambang, harus mematuhi persyaratan yang berlaku.
Kebijakan pemerintah ini pun melahirkan kecemasan di berbagai kalangan. Hendra sendiri menganggap bahwa selama ini banyak potret pertambangan yang disorot negatif imbas pemberitaan tambang yang merusak lingkungan dan mengabaikan masyarakat.
Akan tetapi, Hendra menyebut banyak pula perusahaan tambang–yang juga anggota IMA–yang melakukan best practice dan melaksanakan kewajibannya dalam mengelola tambang.
Ormas, menurut Hendra, seharusnya dapat menjadi contoh dalam mengelola tambang. Hal ini dikarenakan prinsip ormas keagamaan yang harus memenuhi amanat umat yang memperhatikan kesejahteraan.
Kekhawatiran ini bisa ditepis dengan melaksanakan kewajiban terhadap aspek lingkungan dan perpajakan saat ormas mengelola tambang.
Ormas keagamaan sebagai pemain baru di dunia tambang akan menghadapi tantangan dengan risiko yang berat. Menurut Hendra, semua penambang harus siap dengan risiko dari kegiatan penambangan selagi melaksanakan kewajibannya. Meski pemain baru, badan usaha ormas bisa diisi oleh para ahli tambang.
Hendra khawatir nantinya tantangan ini tidak bisa dipenuhi oleh pelaku usaha tambang. Ketidakmampuan ini nantinya akan berpotensi mengabaikan kewajiban seperti kewajiban royalti, pajak, upah pekerja, dan lingkungan.
Tantangan lainnya adalah perencanaan jangka panjang seperti tahapan pasca penambangan semisal penutupan lubang. Hendra melanjutkan pengabaian proses pascapenamabangan menimbulkan stigma negatif dalam dunia tambang meskipun banyak perusahaan yang sudah mematuhi aturan.
Revisi Perpres Nomor 70 Tahun 2023 juga dibarengi oleh PP Nomor 25 Tahun 2024 yang menyebut larangan badan usaha bekerja sama dengan pemilik PKP2B sebelumnya.
Menurut Hendra, hal tersebut berupaya untuk mendorong pengusaha non PKP2B untuk memanfaatkan peluang kerja sama dengan badan usaha milik ormas yang kecipratan bekas konsesi.
Hendra berharap dengan hadirnya ormas keagamaan dalam dunia tambang mampu menjadi contoh praktik terbaik yang bermanfaat untuk masyarakat. Kehadiran ormas seharusnya bisa mendorong hubungan dengan masyarakat sekitar.
Hendra pun mengharapkan pemerintah sebagai regulator untuk memastikan kewajiban semua pihak tanpa bertindak diskriminatif. IMA pun siap untuk berperan dalam memberikan bahan pembelajaran urusan konsesi tambang kepada ormas agama.
Kontributor: Fadlan Priatna
POPULAR
RELATED ARTICLES