Sick Building Syndrome, Penyebab, Dampak dan Pencegahannya
Pencemaran dari asap kendaraan dan lingkungan sekitar dapat hinggap pada pakaian seorang pekerja dan tersebar ke penjuru ruangan tertutup
Context.id, JAKARTA - Peneliti dari Universitas Indonesia mengatakan polusi udara di Jakarta berpotensi memasuki ruangan kantor atau rumah dan bisa membuat sakit penghuninya.
Melansir pernyataan Kementerian Kesehatan, desain gedung dan kegiatan penghuninya yang tidak sehat juga acapkali menyebabkan munculnya gangguan kesehatan pada seseorang.
Polusi udara yang masuk ke dalam ruangan bermula dari mobilitas pekerja dari rumah ke tempat kerja maupun sebaliknya.
Dalam proses perjalanan, pencemaran dari asap kendaraan dan lingkungan sekitar dapat hinggap pada pakaian seorang pekerja dan tersebar ke penjuru ruangan tertutup
Selain itu, dikarenakan strukturnya lebih tertutup, kondisi ini akhirnya dilengkapi dengan sirkulasi udara dan pendingin ruangan agar kondisi lingkungan kerja menjadi nyaman.
BACA JUGA
Kondisi ini menyebabkan munculnya sick building syndrome, kondisi yang bisa merugikan perusahaan dan kesehatan pekerja.
Sick building syndrome adalah situasi gedung-gedung perkantoran, industri, dan rumah tinggal yang dapat menyebabkan gejala atau gangguan kesehatan.
Kondisi sick building syndrome sendiri dapat diidentifikasi melalui beberapa hal, misalnya gedung (perkantoran, sekolah, sarana publik) dengan ventilasi udara yang buruk seperti, frekuensi debu yang tinggi, ketiadaan pencahayaan, kondisi panas atau kelembapan yang rendah.
Istilah ini sendiri muncul tahun 1983, saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan sebuah laporan tentang pengaruh bangunan pada kesehatan.
Melansir Medical News Today, para peneliti belum yakin apa penyebabnya karena faktor fisik dan mental yang dapat meliputinya. Namun kualitas udara, polusi, dan pencahayaan disinyalir menjadi faktor potensial.
Sick building syndrome terkadang sulit didiagnosis karena berbagai gejala yang muncul di antaranya sakit kepala, pusing, demam, mual, sesak di dada, kesulitan bernapas, ruam pada kulit, dan iritasi tenggorokan.
Perlu diingat bahwa sindrom ini mempunyai pengaruh berbeda pada setiap orang.
Setiap orang dapat mengalami gejala yang bervariasi setelah berada di satu tempat tertentu, meski sebagian orang tidak mengalami gejala apapun.
Namun apabila gejala timbul setelah meninggalkan gedung, hal ini dapat disinyalir akibat paparan berulang dalam jangka panjang.
Pencegahan terhadap sick building syndrome perlu dilakukan untuk meminimalisir dampak berkepanjangan yang mungkin terjadi.
Salah satunya caranya dengan meningkatkan kualitas ventilasi dan sirkulasi udara di dalam gedung, mengganti filter udara setiap beberapa bulan, menggunakan produk pembersih untuk menghilangkan paparan debu, dan menggunakan pencahayaan yang ramah energi.
Kontributor: Fadlan Priatna
RELATED ARTICLES
Sick Building Syndrome, Penyebab, Dampak dan Pencegahannya
Pencemaran dari asap kendaraan dan lingkungan sekitar dapat hinggap pada pakaian seorang pekerja dan tersebar ke penjuru ruangan tertutup
Context.id, JAKARTA - Peneliti dari Universitas Indonesia mengatakan polusi udara di Jakarta berpotensi memasuki ruangan kantor atau rumah dan bisa membuat sakit penghuninya.
Melansir pernyataan Kementerian Kesehatan, desain gedung dan kegiatan penghuninya yang tidak sehat juga acapkali menyebabkan munculnya gangguan kesehatan pada seseorang.
Polusi udara yang masuk ke dalam ruangan bermula dari mobilitas pekerja dari rumah ke tempat kerja maupun sebaliknya.
Dalam proses perjalanan, pencemaran dari asap kendaraan dan lingkungan sekitar dapat hinggap pada pakaian seorang pekerja dan tersebar ke penjuru ruangan tertutup
Selain itu, dikarenakan strukturnya lebih tertutup, kondisi ini akhirnya dilengkapi dengan sirkulasi udara dan pendingin ruangan agar kondisi lingkungan kerja menjadi nyaman.
BACA JUGA
Kondisi ini menyebabkan munculnya sick building syndrome, kondisi yang bisa merugikan perusahaan dan kesehatan pekerja.
Sick building syndrome adalah situasi gedung-gedung perkantoran, industri, dan rumah tinggal yang dapat menyebabkan gejala atau gangguan kesehatan.
Kondisi sick building syndrome sendiri dapat diidentifikasi melalui beberapa hal, misalnya gedung (perkantoran, sekolah, sarana publik) dengan ventilasi udara yang buruk seperti, frekuensi debu yang tinggi, ketiadaan pencahayaan, kondisi panas atau kelembapan yang rendah.
Istilah ini sendiri muncul tahun 1983, saat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meluncurkan sebuah laporan tentang pengaruh bangunan pada kesehatan.
Melansir Medical News Today, para peneliti belum yakin apa penyebabnya karena faktor fisik dan mental yang dapat meliputinya. Namun kualitas udara, polusi, dan pencahayaan disinyalir menjadi faktor potensial.
Sick building syndrome terkadang sulit didiagnosis karena berbagai gejala yang muncul di antaranya sakit kepala, pusing, demam, mual, sesak di dada, kesulitan bernapas, ruam pada kulit, dan iritasi tenggorokan.
Perlu diingat bahwa sindrom ini mempunyai pengaruh berbeda pada setiap orang.
Setiap orang dapat mengalami gejala yang bervariasi setelah berada di satu tempat tertentu, meski sebagian orang tidak mengalami gejala apapun.
Namun apabila gejala timbul setelah meninggalkan gedung, hal ini dapat disinyalir akibat paparan berulang dalam jangka panjang.
Pencegahan terhadap sick building syndrome perlu dilakukan untuk meminimalisir dampak berkepanjangan yang mungkin terjadi.
Salah satunya caranya dengan meningkatkan kualitas ventilasi dan sirkulasi udara di dalam gedung, mengganti filter udara setiap beberapa bulan, menggunakan produk pembersih untuk menghilangkan paparan debu, dan menggunakan pencahayaan yang ramah energi.
Kontributor: Fadlan Priatna
POPULAR
RELATED ARTICLES