Akademisi Ingatkan Implikasi Konstitusional atas Perubahan UU MK
Rencana perubahan UU MK secara diam-diam menimbulkan spekulasi di tengah publik
Context.id, JAKARTA - Rencana perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi (MK) menimbulkan polemik di tengah publik.
Revisi ini menimbulkan spekulasi di tengah publik lantaran proses yang tidak transparan dan tidak melibatkan publik.
Jika perubahan UU MK tetap dilakukan akan berimplikasi konstitusional bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi menyebutkan tertutupnya pembahasan UU MK memantik kecurigaan dan spekulasi publik.
“Karena tidak terbuka, maka memunculkan spekulasi yang beragam di publik. Padahal, rencana perubahan ini juga sudah muncul sejak awal 2023 lalu,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/5/2024).
BACA JUGA
Menurut pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini, bila perubahan UU MK dimaksudkan untuk perubahan syarat usia dan masa jabatan hakim MK, maka akan berpotensi mengancam prinsip dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman .
“Putusan MK No 81 Tahun 2023 telah mengingatkan tentang perubahan UU MK khususnya terkait perubahan syarat usia dan masa jabatan akan mencam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” tambah Ferdian.
Lebih lanjut Ferdian mengatakan, dalam putusan MK No 81 Tahun 2023 juga menyebutkan bila perubahan UU MK dilakukan tidak boleh merugikan subyek yang disebutkan dalam UU MK tersebut yakni hakim MK.
Menurut dia, perubahan UU MK ditujukan pada hakim MK yang diangkat setelah berlakunya UU tersebut diubah.
Di bagian lain, Ferdian menyebutkan fenomena legalisme otokartis yang menggejala di sejumlah negara dengan menjadikan MK sebagai obyek lembaga yang dikuasai oleh cabang kekuasaan lainnya.
Fenomena ini, kata dia, dapat mengonversi pemerintahan demokratis menjadi pemerintahan otokratik.
“Gejala yang terjadi di sejumlah negara di dunia ini harus kita baca dengan seksama. Jangan sampai legalisme otokratik berupa konversi negara demokrasi ke negara otokratik melalui mekanisme hukum terjadi di Indonesia,” ucapnya.
Polemik rencana perubahan UU MK mencuat ke publik seiring kesepakatan DPR dan Pemerintah dakan rapat pleno untuk melakukan perubahan UU MK.
Saat ini draf perubahan sedang diharmonisasi di Badan Keahlian DPR RI. DPR belum menjadwalkan pengesahan UU MK dalam sidang paripurna DPR RI.
RELATED ARTICLES
Akademisi Ingatkan Implikasi Konstitusional atas Perubahan UU MK
Rencana perubahan UU MK secara diam-diam menimbulkan spekulasi di tengah publik
Context.id, JAKARTA - Rencana perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi (MK) menimbulkan polemik di tengah publik.
Revisi ini menimbulkan spekulasi di tengah publik lantaran proses yang tidak transparan dan tidak melibatkan publik.
Jika perubahan UU MK tetap dilakukan akan berimplikasi konstitusional bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) Ferdian Andi menyebutkan tertutupnya pembahasan UU MK memantik kecurigaan dan spekulasi publik.
“Karena tidak terbuka, maka memunculkan spekulasi yang beragam di publik. Padahal, rencana perubahan ini juga sudah muncul sejak awal 2023 lalu,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/5/2024).
BACA JUGA
Menurut pengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini, bila perubahan UU MK dimaksudkan untuk perubahan syarat usia dan masa jabatan hakim MK, maka akan berpotensi mengancam prinsip dasar kemerdekaan kekuasaan kehakiman .
“Putusan MK No 81 Tahun 2023 telah mengingatkan tentang perubahan UU MK khususnya terkait perubahan syarat usia dan masa jabatan akan mencam kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ini bertentangan dengan prinsip konstitusi sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,” tambah Ferdian.
Lebih lanjut Ferdian mengatakan, dalam putusan MK No 81 Tahun 2023 juga menyebutkan bila perubahan UU MK dilakukan tidak boleh merugikan subyek yang disebutkan dalam UU MK tersebut yakni hakim MK.
Menurut dia, perubahan UU MK ditujukan pada hakim MK yang diangkat setelah berlakunya UU tersebut diubah.
Di bagian lain, Ferdian menyebutkan fenomena legalisme otokartis yang menggejala di sejumlah negara dengan menjadikan MK sebagai obyek lembaga yang dikuasai oleh cabang kekuasaan lainnya.
Fenomena ini, kata dia, dapat mengonversi pemerintahan demokratis menjadi pemerintahan otokratik.
“Gejala yang terjadi di sejumlah negara di dunia ini harus kita baca dengan seksama. Jangan sampai legalisme otokratik berupa konversi negara demokrasi ke negara otokratik melalui mekanisme hukum terjadi di Indonesia,” ucapnya.
Polemik rencana perubahan UU MK mencuat ke publik seiring kesepakatan DPR dan Pemerintah dakan rapat pleno untuk melakukan perubahan UU MK.
Saat ini draf perubahan sedang diharmonisasi di Badan Keahlian DPR RI. DPR belum menjadwalkan pengesahan UU MK dalam sidang paripurna DPR RI.
POPULAR
RELATED ARTICLES