Share

Stories 10 Mei 2024

Bisnis Pay Later Menjamur, Ancam Segmen Kartu Kredit?

Pay Later hanya dianggap sebagai alternatif saat kartu kredit mencapai batas limit

Context.id, JAKARTA - Belakangan ini perbankan nasional ramai-ramai membuka segmen baru yang sedang digandrungi banyak orang, bisnis Pay Later atau lebih sering disebut Buy Now Pay Later (BNPL).

Moncernya bisnis BNPL tak terlepas dari masifnya digitalisasi dan juga perubahan gaya konsumsi masyarakat yang saat ini didominasi oleh generasi milenial serta Gen Z yang sangat lekat dengan ponsel pintar. 

Tingginya penetrasi digital di kalangan anak muda membuat sektor perbankan mulai melirik jasa Pay Later dalam platformnya digitalnya. 

Lalu, apakah dengan kehadiran model akan menggerus pasar kartu kredit karena kalah dengan promo yang diberikan Pay Later?

Ekonom dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Ryan Kiryanto menyatakan bahwa segmen credit card tetap akan bertahan meskipun memiliki kemiripan dengan segmen Pay Later.



”Tetap akan bertumbuh karena ada kelompok segmen market yang memang dia memilih preferensi menggunakan perangkat credit card,” jelas Ryan Kiryanto, seperti dikutip dari Podcast Bisnis Indonesia; Broadcash, Rabu, (8/5).

Menurut Ryan, penggunaan Pay Later itu bukan merupakan barang komplementer bersama dengan kartu kredit, tetapi sebagai barang pengganti ketika kartu kredit sudah limit.

“Kalau credit card seseorang itu kan ada limit nya, nah ketika limit itu sudah penuh kan nggak bisa, namanya itu seru-seruan, makanya dia harus menggunakan instrumen lain yaitu menggunakan pay letter” ujar Ryan.

Sehingga Pay Later menurutnya bukanlah sebuah halangan bisnis kartu kredit, tetapi menjadi sebuah opsi dari pihak perbankan untuk dapat menyediakan jasa servis keuangan yang bisa dipakai oleh nasabahnya.

Meskipun demikian, Ryan tetap menekankan jika pihak bank yang ingin membuat segmen ini jangan hanya sekedar ikut-ikutan saja, tetapi juga harus melewati Cost and Benefit Analysis yang sudah menghasilkan kesimpulan.

“Oh kita boleh atau kita eligible atau tidak untuk menerbitkan produk yang namanya Pay Later, jadi jangan dipaksakan” jelasnya.

Pasalnya, Ryan menilai boleh jadi Pay Later itu mirip dengan KTA atau Kredit Tanpa Agunan karena memiliki ekosistem yang sama. Hanya saja Pay Later lebih Electronic Based atau Digital Based sedangkan kartu kredit formal based

Terlebih lagi keduanya bisa digunakan multi purpose loan jadi bisa digunakan untuk beli laptop, bayar sekolah, beli tiket dan sebagainya, sehingga sebaiknya dihindari terjadinya kanibalisme produk ini.

“Namanya juga sama-sama kredit multiguna bagian dari kredit konsumtif, jadi jangan sampai penerbitan Pay Later oleh bank ini justru menggerus pasarnya dari produk KTA tadi,” tutur Ryan

Penulis: Candra Sumirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 10 Mei 2024

Bisnis Pay Later Menjamur, Ancam Segmen Kartu Kredit?

Pay Later hanya dianggap sebagai alternatif saat kartu kredit mencapai batas limit

Context.id, JAKARTA - Belakangan ini perbankan nasional ramai-ramai membuka segmen baru yang sedang digandrungi banyak orang, bisnis Pay Later atau lebih sering disebut Buy Now Pay Later (BNPL).

Moncernya bisnis BNPL tak terlepas dari masifnya digitalisasi dan juga perubahan gaya konsumsi masyarakat yang saat ini didominasi oleh generasi milenial serta Gen Z yang sangat lekat dengan ponsel pintar. 

Tingginya penetrasi digital di kalangan anak muda membuat sektor perbankan mulai melirik jasa Pay Later dalam platformnya digitalnya. 

Lalu, apakah dengan kehadiran model akan menggerus pasar kartu kredit karena kalah dengan promo yang diberikan Pay Later?

Ekonom dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Ryan Kiryanto menyatakan bahwa segmen credit card tetap akan bertahan meskipun memiliki kemiripan dengan segmen Pay Later.



”Tetap akan bertumbuh karena ada kelompok segmen market yang memang dia memilih preferensi menggunakan perangkat credit card,” jelas Ryan Kiryanto, seperti dikutip dari Podcast Bisnis Indonesia; Broadcash, Rabu, (8/5).

Menurut Ryan, penggunaan Pay Later itu bukan merupakan barang komplementer bersama dengan kartu kredit, tetapi sebagai barang pengganti ketika kartu kredit sudah limit.

“Kalau credit card seseorang itu kan ada limit nya, nah ketika limit itu sudah penuh kan nggak bisa, namanya itu seru-seruan, makanya dia harus menggunakan instrumen lain yaitu menggunakan pay letter” ujar Ryan.

Sehingga Pay Later menurutnya bukanlah sebuah halangan bisnis kartu kredit, tetapi menjadi sebuah opsi dari pihak perbankan untuk dapat menyediakan jasa servis keuangan yang bisa dipakai oleh nasabahnya.

Meskipun demikian, Ryan tetap menekankan jika pihak bank yang ingin membuat segmen ini jangan hanya sekedar ikut-ikutan saja, tetapi juga harus melewati Cost and Benefit Analysis yang sudah menghasilkan kesimpulan.

“Oh kita boleh atau kita eligible atau tidak untuk menerbitkan produk yang namanya Pay Later, jadi jangan dipaksakan” jelasnya.

Pasalnya, Ryan menilai boleh jadi Pay Later itu mirip dengan KTA atau Kredit Tanpa Agunan karena memiliki ekosistem yang sama. Hanya saja Pay Later lebih Electronic Based atau Digital Based sedangkan kartu kredit formal based

Terlebih lagi keduanya bisa digunakan multi purpose loan jadi bisa digunakan untuk beli laptop, bayar sekolah, beli tiket dan sebagainya, sehingga sebaiknya dihindari terjadinya kanibalisme produk ini.

“Namanya juga sama-sama kredit multiguna bagian dari kredit konsumtif, jadi jangan sampai penerbitan Pay Later oleh bank ini justru menggerus pasarnya dari produk KTA tadi,” tutur Ryan

Penulis: Candra Sumirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024