Share

Home Stories

Stories 25 April 2024

Mengenal Duck Syndrome, Istilah yang Lagi Populer

Sindrom ini menggambarkan seseorang yang mencoba menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, tetapi sebenarnya diliputi kecemasan yang sangat besar

Ilustrasi Duck Syndrome/Harvard Crimson

Context.id, JAKARTA - Duck Syndrome adalah istilah populer di kalangan mahasiswa Stanford yang bermakna jika seseorang sedang berjuang untuk bertahan diri dari tekanan lingkungan yang kompetitif tetapi tetap memberikan citra yang santai dan positif.

Melansir The Stanford Daily, istilah Duck Syndrome ini berasal dari sebuah citra bebek yang tenang saat mengapung diatas permukaan air, tetapi mendayungkan kakinya dengan kuat di bawah permukaan.

Hal ini sama seperti seseorang yang mencoba menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, tetapi diam-diam berusaha keras untuk menjaga semuanya tetap terkendali maka kondisi ini disebut sebagai Duck Syndrome.

Kendati demikian, hal ini tentunya membuat beberapa orang menjadi memiliki sifat negatif dan tentunya membahayakan bagi dirinya.

Karena jika seseorang mengalami Duck Syndrome, maka sudah dipastikan jika mereka memiliki perasaan khawatir dan suka membandingkan diri dengan orang lain secara berlebihan.



Padahal perilaku tersebut nantinya dapat memicu penyakit yang lebih serius seperti kecemasan sosial, dan depresi klinis.

Tak hanya itu, penelitian dari Universitas Stanford juga menyatakan jika media sosial seringkali memiliki peran dalam menciptakan kondisi Duck Syndrome pada preferensi seseorang.

Karena dalam media sosial, seseorang seringkali menipu orang lain dengan memposting kehidupan mereka yang sudah difilter, hal semacam ini lah yang terkadang menimbulkan rasa suka membandingkan kehidupan dengan orang lain.

Hasilnya, beberapa orang akhirnya jatuh ke dalam perangkap tersebut dan berpikir bahwa mereka sendirian dalam sebuah perjalanan ini, dan orang lain tidak merasakan tantangan yang sama seperti mereka.

Adapun penelitian lainnya mengungkapkan jika penyebab yang sering dikaitkan dengan Duck Syndrome adalah faktor keluarga. 

Seringkali para orang tua banyak menuntut anak mereka, mulai dari mendapatkan nilai tinggi dalam pelajaran, juara di bidang olahraga dan terlalu protektif terhadap anak-anak mereka.

Hal ini menyebabkan menjadi bersifat perfeksionis, terlalu kritis terhadap diri sendiri dan takut jika harga dirinya dipandang rendah oleh orang lain sejak dini.

Meskipun demikian, Duck Syndrome belum termasuk sebagai sebuah penyakit mental, namun ada beberapa gejala yang dapat dirasakan bagi mereka yang mengidap sindrom ini.

Melansir Medicine News, seseorang yang mengidap Duck Syndrome biasanya memiliki perasaan yang buruk tentang diri sendiri, merasa orang lain lebih baik dari dirinya, sering merasa kewalahan dan selalu merasa jika orang lain sedang menguji kemampuan kita.

Kendati demikian, saat ini sudah terdapat beberapa pengobatan yang berbasiskan terapi untuk mengurangi kondisi medis sindrom ini, seperti Psikoterapi, Terapi Interpersonal (ITP) dan Terapi Perilaku Kognitif (CBT).

Penulis: Candra Sumirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 25 April 2024

Mengenal Duck Syndrome, Istilah yang Lagi Populer

Sindrom ini menggambarkan seseorang yang mencoba menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, tetapi sebenarnya diliputi kecemasan yang sangat besar

Ilustrasi Duck Syndrome/Harvard Crimson

Context.id, JAKARTA - Duck Syndrome adalah istilah populer di kalangan mahasiswa Stanford yang bermakna jika seseorang sedang berjuang untuk bertahan diri dari tekanan lingkungan yang kompetitif tetapi tetap memberikan citra yang santai dan positif.

Melansir The Stanford Daily, istilah Duck Syndrome ini berasal dari sebuah citra bebek yang tenang saat mengapung diatas permukaan air, tetapi mendayungkan kakinya dengan kuat di bawah permukaan.

Hal ini sama seperti seseorang yang mencoba menciptakan ilusi kehidupan yang sempurna, tetapi diam-diam berusaha keras untuk menjaga semuanya tetap terkendali maka kondisi ini disebut sebagai Duck Syndrome.

Kendati demikian, hal ini tentunya membuat beberapa orang menjadi memiliki sifat negatif dan tentunya membahayakan bagi dirinya.

Karena jika seseorang mengalami Duck Syndrome, maka sudah dipastikan jika mereka memiliki perasaan khawatir dan suka membandingkan diri dengan orang lain secara berlebihan.



Padahal perilaku tersebut nantinya dapat memicu penyakit yang lebih serius seperti kecemasan sosial, dan depresi klinis.

Tak hanya itu, penelitian dari Universitas Stanford juga menyatakan jika media sosial seringkali memiliki peran dalam menciptakan kondisi Duck Syndrome pada preferensi seseorang.

Karena dalam media sosial, seseorang seringkali menipu orang lain dengan memposting kehidupan mereka yang sudah difilter, hal semacam ini lah yang terkadang menimbulkan rasa suka membandingkan kehidupan dengan orang lain.

Hasilnya, beberapa orang akhirnya jatuh ke dalam perangkap tersebut dan berpikir bahwa mereka sendirian dalam sebuah perjalanan ini, dan orang lain tidak merasakan tantangan yang sama seperti mereka.

Adapun penelitian lainnya mengungkapkan jika penyebab yang sering dikaitkan dengan Duck Syndrome adalah faktor keluarga. 

Seringkali para orang tua banyak menuntut anak mereka, mulai dari mendapatkan nilai tinggi dalam pelajaran, juara di bidang olahraga dan terlalu protektif terhadap anak-anak mereka.

Hal ini menyebabkan menjadi bersifat perfeksionis, terlalu kritis terhadap diri sendiri dan takut jika harga dirinya dipandang rendah oleh orang lain sejak dini.

Meskipun demikian, Duck Syndrome belum termasuk sebagai sebuah penyakit mental, namun ada beberapa gejala yang dapat dirasakan bagi mereka yang mengidap sindrom ini.

Melansir Medicine News, seseorang yang mengidap Duck Syndrome biasanya memiliki perasaan yang buruk tentang diri sendiri, merasa orang lain lebih baik dari dirinya, sering merasa kewalahan dan selalu merasa jika orang lain sedang menguji kemampuan kita.

Kendati demikian, saat ini sudah terdapat beberapa pengobatan yang berbasiskan terapi untuk mengurangi kondisi medis sindrom ini, seperti Psikoterapi, Terapi Interpersonal (ITP) dan Terapi Perilaku Kognitif (CBT).

Penulis: Candra Sumirat



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025