Beauty and The Beast Adopsi Stockholm Syndrome, Apa Itu
Stockholm syndrome merupakan sindrom ketika korban atau sandera justru mempercayai para penjahat ataupun penculiknya.
Context.id, JAKARTA - Bagi para penggemar film, pasti sudah tidak asing dengan kisah tentang sindrom yang satu ini. Stockholm syndrome merupakan sindrom ketika korban atau sandera justru mempercayai para penjahat ataupun penculiknya.
Adapun beberapa film yang diketahui mengadopsi stockholm syndrome dalam alurnya, seperti Beauty and the Beast, V for Vendetta, Kidnapping Stella, Stockholm, dan Highway.
Hubungan psikologis ini biasanya terjalin setelah sandera dan pelaku telah bersama selama berhari-hari, berminggu-minggu, hingga bertahun-tahun, sehingga yang muncul adalah trauma dan menjadi bersimpati pada pelaku.
Dikutip dari Britannica, nama sindrom ini ternyata berasal dari kisah nyata perampokan bank yang gagal di Stockholm, Swedia. Pada saat itu, Agustus 1973, empat karyawan dari Sveriges Kreditbank disandera di dalam brankas bank selama enam hari.
Pada saat itu, kesepakatan antara tawanan dan penculik justru berjalan dengan baik. Namun anehnya, karena itulah tawanan malah percaya pada para penculik dan ia malah takut pada para polisi.
Sejak itu, para psikolog dan pakar kesehatan mental menerapkan istilah stockholm syndrome untuk kondisi yang terjadi ketika para sandera menjalin hubungan emosional ataupun psikologis dengan orang-orang yang menahan mereka.
Stockholm syndrome inipun menjadi semakin terkenal setelah ada beberapa kejadian nyata serupa, seperti kasus Patricia Hearst, pembajakan pesawat TWA 847, hingga kasus penculikan orang barat oleh militan Islam di Lebanon.
Hal itupun menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana bisa seorang yang berada di bawah ancaman justru mempercayai pengancamnya?
Dikutip dari Healthline, sama halnya dengan yang ada di film-film, biasanya para sandera sudah ketakutan terlebih dahulu saat diculik. Namun, ketika penculik mengajak untuk melakukan perundingan dan kemudian memilih untuk tidak membunuh para sandera, hal tersebut akan membawa kelegaan bahkan rasa terima kasih.
Kemudian para tawanan ataupun korban yang hidup dalam ketergantungan, dipaksa untuk melihat tindakan kebaikan dari para penjahat yang mereka anggap baik, di tengah kondisi yang memang sedang sulit. Alhasil, rasa bahwa para penjahat itu adalah seorang penyelamat juga semakin besar.
Bahkan korban bisa saja menjadi tidak percaya pada polisi ataupun siapapun yang ingin membantu mereka untuk lari dari penculiknya, karena memang mereka sudah merasa aman dengan sang penculik. Tidak jarang, para korban bahkan menolak untuk bekerjasama dengan otoritas untuk melawan penculiknya.
RELATED ARTICLES
Beauty and The Beast Adopsi Stockholm Syndrome, Apa Itu
Stockholm syndrome merupakan sindrom ketika korban atau sandera justru mempercayai para penjahat ataupun penculiknya.
Context.id, JAKARTA - Bagi para penggemar film, pasti sudah tidak asing dengan kisah tentang sindrom yang satu ini. Stockholm syndrome merupakan sindrom ketika korban atau sandera justru mempercayai para penjahat ataupun penculiknya.
Adapun beberapa film yang diketahui mengadopsi stockholm syndrome dalam alurnya, seperti Beauty and the Beast, V for Vendetta, Kidnapping Stella, Stockholm, dan Highway.
Hubungan psikologis ini biasanya terjalin setelah sandera dan pelaku telah bersama selama berhari-hari, berminggu-minggu, hingga bertahun-tahun, sehingga yang muncul adalah trauma dan menjadi bersimpati pada pelaku.
Dikutip dari Britannica, nama sindrom ini ternyata berasal dari kisah nyata perampokan bank yang gagal di Stockholm, Swedia. Pada saat itu, Agustus 1973, empat karyawan dari Sveriges Kreditbank disandera di dalam brankas bank selama enam hari.
Pada saat itu, kesepakatan antara tawanan dan penculik justru berjalan dengan baik. Namun anehnya, karena itulah tawanan malah percaya pada para penculik dan ia malah takut pada para polisi.
Sejak itu, para psikolog dan pakar kesehatan mental menerapkan istilah stockholm syndrome untuk kondisi yang terjadi ketika para sandera menjalin hubungan emosional ataupun psikologis dengan orang-orang yang menahan mereka.
Stockholm syndrome inipun menjadi semakin terkenal setelah ada beberapa kejadian nyata serupa, seperti kasus Patricia Hearst, pembajakan pesawat TWA 847, hingga kasus penculikan orang barat oleh militan Islam di Lebanon.
Hal itupun menimbulkan tanda tanya besar, bagaimana bisa seorang yang berada di bawah ancaman justru mempercayai pengancamnya?
Dikutip dari Healthline, sama halnya dengan yang ada di film-film, biasanya para sandera sudah ketakutan terlebih dahulu saat diculik. Namun, ketika penculik mengajak untuk melakukan perundingan dan kemudian memilih untuk tidak membunuh para sandera, hal tersebut akan membawa kelegaan bahkan rasa terima kasih.
Kemudian para tawanan ataupun korban yang hidup dalam ketergantungan, dipaksa untuk melihat tindakan kebaikan dari para penjahat yang mereka anggap baik, di tengah kondisi yang memang sedang sulit. Alhasil, rasa bahwa para penjahat itu adalah seorang penyelamat juga semakin besar.
Bahkan korban bisa saja menjadi tidak percaya pada polisi ataupun siapapun yang ingin membantu mereka untuk lari dari penculiknya, karena memang mereka sudah merasa aman dengan sang penculik. Tidak jarang, para korban bahkan menolak untuk bekerjasama dengan otoritas untuk melawan penculiknya.
POPULAR
RELATED ARTICLES