Prancis Pertimbangkan RUU Bantuan Akhiri Hidup
Prancis akan menyusul Belgia dan Belanda sebagai negara yang menyetujui aturan untuk bantuan mengakhiri hidup.
Context.id, JAKARTA - Prancis akan menyusul Belgia dan Belanda sebagai negara yang menyetujui aturan untuk bantuan mengakhiri hidup. Rencana tersebut tercipta setelah survei pendapat masyarakat Prancis yang menunjukkan dukungan mereka.
Rancangan undang-undang tersebut akan diusulkan ke Majelis Nasional pada bulan Mei mendatang dengan persyaratan yang ketat di antaranya golongan dewasa yang menderita penyakit jangka pendek maupun menengah termasuk kanker stadium akhir.
Dilansir Aljazeera RUU Bantuan Akhiri Hidup ini memuat perizinan bagi seseorang yang telah dewasa dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Dirinya juga harus bisa memberikan pandangan sendiri terhadap resep obat mematikan yang akan diberikan oleh pasien atau melalui bantuan dari pihak lain.
Macron juga mengatakan bahwa zat tersebut akan diberikan bukan hanya di pusat perawatan pasien saja, namun dapat diberikan di rumah pasien maupun panti jompo.
BACA JUGA
Setelah pemberian zat tersebut ahli medis pasien akan diberikan waktu selama 15 hari untuk mempertimbangkan perizinan bantuan meninggal tersebut dengan jangka waktu selama tiga bulan untuk memberikan persetujuan.
Selama waktu tersebut pasien juga dapat mempertimbangkan kembali dan dapat membatalkan permintaan tersebut.
Namun jika pihak medis menolak permintaan pasien tersebut, maka pasien dapat berkonsultasi dengan tim medis lain atau pengajuan banding terkait permintaannya tersebut, tambahnya.
Melalui platform X, Perdana Menteri Prancis, Gabriel Attal memberikan tanggapannya terkait RUU tersebut.
Dirinya mengatakan, mulai tanggal 27 Mei, RUU segera diusulkan ke Parlemen Prancis. Dirinya juga menyebutkan kematian bukan lagi menjadi isu yang tabu.
“Kematian tidak bisa lagi menjadi isu yang tabu dan harus dibungkam,” tambahnya.
Di seluruh Eropa perizinan bantuan kematian yang secara sengaja dibuat telah berlangsung lama. Belgia, Belanda dan Jerman telah lebih dulu mengizinkan bantuan kematian atau euthanasia dengan ketentuan dan syarat yang ketat.
Namun, di Prancis tindakan tersebut dilarang keras karena berbagai aspek, salah satunya tekanan asosiasi keagamaan.
Sebagian orang menganggap bahwa pemberian obat mematikan merupakan bentuk pembunuhan yang dilegalkan.
Di samping itu terdapat juga masyarakat yang menganggap bahwa bantuan kematian tersebut merupakan penawaran kematian yang terhormat bagi pasien.
Sementara itu, para pemimpin gereja Katolik Perancis menolak RUU tersebut dengan tegas.
“Undang-undang seperti ini, apapun tujuannya, akan mengarahkan seluruh sistem kesehatan kita ke arah kematian sebagai solusinya,” kata Uskup Agung Eric de Moulins-Beaufort, Ketua Konferensi Waligereja Prancis, kepada La Croix.
Sebelumnya, terdapat undang-undang Prancis 2016, Claeys-Leonetti yang mengizinkan pemberian obat penenang dengan dosis tinggi dan terus menerus. Namun hanya untuk pasien dengan prediksi jangka pendek mendekati kematian.
Penulis: Diandra Zahra
RELATED ARTICLES
Prancis Pertimbangkan RUU Bantuan Akhiri Hidup
Prancis akan menyusul Belgia dan Belanda sebagai negara yang menyetujui aturan untuk bantuan mengakhiri hidup.
Context.id, JAKARTA - Prancis akan menyusul Belgia dan Belanda sebagai negara yang menyetujui aturan untuk bantuan mengakhiri hidup. Rencana tersebut tercipta setelah survei pendapat masyarakat Prancis yang menunjukkan dukungan mereka.
Rancangan undang-undang tersebut akan diusulkan ke Majelis Nasional pada bulan Mei mendatang dengan persyaratan yang ketat di antaranya golongan dewasa yang menderita penyakit jangka pendek maupun menengah termasuk kanker stadium akhir.
Dilansir Aljazeera RUU Bantuan Akhiri Hidup ini memuat perizinan bagi seseorang yang telah dewasa dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
Dirinya juga harus bisa memberikan pandangan sendiri terhadap resep obat mematikan yang akan diberikan oleh pasien atau melalui bantuan dari pihak lain.
Macron juga mengatakan bahwa zat tersebut akan diberikan bukan hanya di pusat perawatan pasien saja, namun dapat diberikan di rumah pasien maupun panti jompo.
BACA JUGA
Setelah pemberian zat tersebut ahli medis pasien akan diberikan waktu selama 15 hari untuk mempertimbangkan perizinan bantuan meninggal tersebut dengan jangka waktu selama tiga bulan untuk memberikan persetujuan.
Selama waktu tersebut pasien juga dapat mempertimbangkan kembali dan dapat membatalkan permintaan tersebut.
Namun jika pihak medis menolak permintaan pasien tersebut, maka pasien dapat berkonsultasi dengan tim medis lain atau pengajuan banding terkait permintaannya tersebut, tambahnya.
Melalui platform X, Perdana Menteri Prancis, Gabriel Attal memberikan tanggapannya terkait RUU tersebut.
Dirinya mengatakan, mulai tanggal 27 Mei, RUU segera diusulkan ke Parlemen Prancis. Dirinya juga menyebutkan kematian bukan lagi menjadi isu yang tabu.
“Kematian tidak bisa lagi menjadi isu yang tabu dan harus dibungkam,” tambahnya.
Di seluruh Eropa perizinan bantuan kematian yang secara sengaja dibuat telah berlangsung lama. Belgia, Belanda dan Jerman telah lebih dulu mengizinkan bantuan kematian atau euthanasia dengan ketentuan dan syarat yang ketat.
Namun, di Prancis tindakan tersebut dilarang keras karena berbagai aspek, salah satunya tekanan asosiasi keagamaan.
Sebagian orang menganggap bahwa pemberian obat mematikan merupakan bentuk pembunuhan yang dilegalkan.
Di samping itu terdapat juga masyarakat yang menganggap bahwa bantuan kematian tersebut merupakan penawaran kematian yang terhormat bagi pasien.
Sementara itu, para pemimpin gereja Katolik Perancis menolak RUU tersebut dengan tegas.
“Undang-undang seperti ini, apapun tujuannya, akan mengarahkan seluruh sistem kesehatan kita ke arah kematian sebagai solusinya,” kata Uskup Agung Eric de Moulins-Beaufort, Ketua Konferensi Waligereja Prancis, kepada La Croix.
Sebelumnya, terdapat undang-undang Prancis 2016, Claeys-Leonetti yang mengizinkan pemberian obat penenang dengan dosis tinggi dan terus menerus. Namun hanya untuk pasien dengan prediksi jangka pendek mendekati kematian.
Penulis: Diandra Zahra
POPULAR
RELATED ARTICLES