Ketika Perang Dagang Mempercepat Eksploitasi Mode
Tarif yang dimaksudkan untuk membela pekerja AS justru memperburuk nasib pekerja di tempat lain

Context.id, JAKARTA - Ketika Donald Trump memulai kembali perang dagangnya dengan China, retorika yang diusung adalah perlindungan terhadap pekerja Amerika.
Lewat tarif tinggi hingga 145% pada impor dari China, Trump ingin membawa pulang pabrik dan menghidupkan kembali manufaktur domestik. Namun, bukan itu yang terjadi.
Alih-alih memindahkan produksi ke Detroit atau Ohio, perusahaan fesyen ultra-cepat seperti Shein dan Temu justru merelokasi pabrik mereka ke negara dengan upah tenaga kerja lebih rendah dan regulasi yang lebih longgar.
Vietnam, Kamboja, bahkan Filipina semuanya jadi pelabuhan baru yang murah meriah dalam peta rantai pasok global.
Saat pintu ke Amerika Serikat mulai menyempit karena tarif dan reformasi bea masuk, pakaian murah itu justru membanjiri pasar lain, salah satunya Australia.
Menurut laporan Wired, Australia hanya memproduksi 3% pakaian yang dipakainya sendiri dan dikenal dengan daya beli tinggi serta aturan impor yang lunak.
Tapi harga itu menyembunyikan kisah pilu, pekerja garmen yang menjahit selama 14 jam sehari, dalam kondisi yang nyaris tak manusiawi, agar konsumen bisa mengenakan baju baru setiap minggu.
Tarif Trump memang mengguncang rantai pasok, tapi tidak menghambat industri ini. Ia hanya memaksa perubahan rute, bukan perilaku.
Relokasi produksi ke wilayah yang lebih miskin dan pergeseran pasar dari Amerika ke Asia-Pasifik, membuat mesin fast fashion justru menjadi lebih lincah dan lebih eksploitatif.
Nasib buruk pekerja
Tarif yang dimaksudkan untuk membela pekerja AS justru memperburuk nasib pekerja di tempat lain. Mereka yang paling rentan seperti buruh perempuan, pekerja informal menjadi sasaran utama pemotongan biaya dan otomatisasi.
Ironisnya, sementara perdebatan soal dekarbonisasi dan keadilan sosial memanas di forum global, gaun US$5 terus membanjiri keranjang belanja online.
Merek seperti Shein membangun model bisnis berdasarkan kecepatan dan margin supertipis. Mereka merespons tren dalam hitungan jam, dan menjual pakaian seharga semangkuk mie instan.
Australia, tempat warga mengirim lebih dari 200.000 ton pakaian ke TPA tiap tahun, kini menghadapi pertanyaan struktural, sampai kapan akan menoleransi sistem yang mengabaikan etika demi diskon?
Tapi ada titik terang. Tren seperti persewaan pakaian dan toko barang bekas mulai bangkit. Pemerintah Australia bahkan meluncurkan skema Seamless, yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas siklus hidup penuh produk mereka.
Tapi upaya ini masih sporadis dan kalah cepat dibanding algoritma yang mendorong klik “beli sekarang.”
Sebenarnya konsumen juga punya peran, mulai dari berhenti menuntut pakaian seharga kopi sampai mendukung merek yang membayar pekerja mereka dengan layak.
Perang dagang Trump membuka tabir betapa rentan dan tidak berkelanjutan industri mode saat ini.
Industri ini tidak menciptakan sistem baru, hanya menggeser beban dari pabrik di Guangzhou ke pekerja di Phnom Penh dari bea masuk AS ke tong sampah Australia.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Ketika Perang Dagang Mempercepat Eksploitasi Mode
Tarif yang dimaksudkan untuk membela pekerja AS justru memperburuk nasib pekerja di tempat lain

Context.id, JAKARTA - Ketika Donald Trump memulai kembali perang dagangnya dengan China, retorika yang diusung adalah perlindungan terhadap pekerja Amerika.
Lewat tarif tinggi hingga 145% pada impor dari China, Trump ingin membawa pulang pabrik dan menghidupkan kembali manufaktur domestik. Namun, bukan itu yang terjadi.
Alih-alih memindahkan produksi ke Detroit atau Ohio, perusahaan fesyen ultra-cepat seperti Shein dan Temu justru merelokasi pabrik mereka ke negara dengan upah tenaga kerja lebih rendah dan regulasi yang lebih longgar.
Vietnam, Kamboja, bahkan Filipina semuanya jadi pelabuhan baru yang murah meriah dalam peta rantai pasok global.
Saat pintu ke Amerika Serikat mulai menyempit karena tarif dan reformasi bea masuk, pakaian murah itu justru membanjiri pasar lain, salah satunya Australia.
Menurut laporan Wired, Australia hanya memproduksi 3% pakaian yang dipakainya sendiri dan dikenal dengan daya beli tinggi serta aturan impor yang lunak.
Tapi harga itu menyembunyikan kisah pilu, pekerja garmen yang menjahit selama 14 jam sehari, dalam kondisi yang nyaris tak manusiawi, agar konsumen bisa mengenakan baju baru setiap minggu.
Tarif Trump memang mengguncang rantai pasok, tapi tidak menghambat industri ini. Ia hanya memaksa perubahan rute, bukan perilaku.
Relokasi produksi ke wilayah yang lebih miskin dan pergeseran pasar dari Amerika ke Asia-Pasifik, membuat mesin fast fashion justru menjadi lebih lincah dan lebih eksploitatif.
Nasib buruk pekerja
Tarif yang dimaksudkan untuk membela pekerja AS justru memperburuk nasib pekerja di tempat lain. Mereka yang paling rentan seperti buruh perempuan, pekerja informal menjadi sasaran utama pemotongan biaya dan otomatisasi.
Ironisnya, sementara perdebatan soal dekarbonisasi dan keadilan sosial memanas di forum global, gaun US$5 terus membanjiri keranjang belanja online.
Merek seperti Shein membangun model bisnis berdasarkan kecepatan dan margin supertipis. Mereka merespons tren dalam hitungan jam, dan menjual pakaian seharga semangkuk mie instan.
Australia, tempat warga mengirim lebih dari 200.000 ton pakaian ke TPA tiap tahun, kini menghadapi pertanyaan struktural, sampai kapan akan menoleransi sistem yang mengabaikan etika demi diskon?
Tapi ada titik terang. Tren seperti persewaan pakaian dan toko barang bekas mulai bangkit. Pemerintah Australia bahkan meluncurkan skema Seamless, yang mewajibkan produsen bertanggung jawab atas siklus hidup penuh produk mereka.
Tapi upaya ini masih sporadis dan kalah cepat dibanding algoritma yang mendorong klik “beli sekarang.”
Sebenarnya konsumen juga punya peran, mulai dari berhenti menuntut pakaian seharga kopi sampai mendukung merek yang membayar pekerja mereka dengan layak.
Perang dagang Trump membuka tabir betapa rentan dan tidak berkelanjutan industri mode saat ini.
Industri ini tidak menciptakan sistem baru, hanya menggeser beban dari pabrik di Guangzhou ke pekerja di Phnom Penh dari bea masuk AS ke tong sampah Australia.
POPULAR
RELATED ARTICLES