Soal RIPH, Kementan Sayangkan Laporan Ombudsman
Kementerian Pertanian menegasikan laporan Ombudsman Republik Indonesia yang menyatakan terjadi maladministrasi penerbitan rekomendasi impor produk holtikultura.
Context.id,JAKARTA- Kementerian Pertanian menegaskan laporan Ombudsman Republik Indonesia yang menyatakan terjadi maladministrasi penerbitan rekomendasi impor produk holtikultura.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto menyayangkan sikap Ombudsman yang menyampaikan dugaan pungli hingga maladministrasi rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) bawang putih ke publik tanpa klarifikasi yang cukup dari pihaknya.
Prihasto mengatakan, pihaknya siap segera menindaklanjuti secara internal maupun jalur hukum terhadap segala tindakan korupsi atau maladministrasi dalam penerbitan RIPH di instansinya.
"Tidak ada ruang bermain-main dengan RIPH. Setiap laporan gratifikasi dan kolusi saya pastikan akan ditindaklanjuti. Kami punya komitmen yang sama dengan Ombudsman untuk melayani publik dengan baik dan bersih," ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Senin (22/1/2024)..
Dia mengeklaim penerbitan RIPH bawang putih di Kementan telah sesuai dengan ketentuan. Jumlah RIPH yang melebihi kuota impor dianggap sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan bawang putih impor memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga harga di masyarakat menjadi terjangkau.
BACA JUGA
Adapun pada 2023, Kementan telah menerbitkan RIPH sebanyak 1,2 juta ton di saat kuota impor hanya di kisaran 560.000 ton.
Di sisi lain, Prihasto menyebut, bahwa Kementan terus berupaya meningkatkan produksi bawang putih dalam negeri lewat program-program belanja APBN hingga syarat wajib tanam bagi importir bawang putih. Adapun wajib tanam menjadi ketentuan impor bawang putih yang harus dipenuhi importir.
Menurutnya, tindakan korupsi dan pungutan liar dalam pelayanan RIPH tidak akan ditoleransi oleh pihaknya. Dia pun mempersilahkan pihak tertentu yang mengetahui adanya praktik korupsi RIPH di Ditjen Hortikultura untuk melaporkan langsung kepada aparat penegak hukum.
"Kementan tidak akan menutup mata atas kritik dan masukan dari masyarakat dan lembaga manapun," ucap Prihasto.
Sebelumnya, Ombudsman mulai lakukan pemeriksaan kepada sejumlah petinggi di Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian terkait dengan dugaan maladministrasi penerbitan RIPH bawang putih.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika membeberkan, terdapat empat potensi maladministrasi yang dilakukan pejabat Kementan dalam penerbitan RIPH, antara lain dugaan tidak memberikan layanan, penundaan berlarut, tidak kompeten dalam pelayanan dan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan RIPH.
"Setelah kami melakukan konsolidasi di awal tahun ini, maka mulai hari ini sampai 18 Januari 2024 kami melakukan pemeriksaan maraton [kepada pejabat Kementan," ujarnya.
Ombudsman menemukan adanya pemberian biaya penanaman bawang putih dari importir yang jumlahnya kurang dari kebutuhan petani.
Hasil pantauan Ombudsman di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung ditemukan biaya penanaman bawang putih sebesar Rp70 juta per hektare per musim tanam. Namun, sejumlah importir hanya memberikan dana biaya tanam kepada petani pelaksana wajib tanam bawang putih sebesar Rp 15 juta - Rp 20 juta per hektare.
Selain itu, masalah lain yang ditemukan Ombudsman yakni adanya calo dalam pengurusan wajib tanam para importir. Ombudsman menemukan seorang calo di Temanggung yang mengelola wajib tanam bawang putih untuk 16 perusahaan importir bawang putih.
Yeka menyebut pihaknya juga menemukan adanya dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih. Adapun berdasarkan keterangan pelapor dan seorang importir mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementerian Pertanian sekitar Rp200 - Rp250 per kilogram untuk melancarkan penerbitan RIPH bawang putih.
Lebih lanjut, Ombudsman juga mendapati fakta bahwa importir penerima RIPH bawang putih tidak melaksanakan kewajiban tanam. Importir yang sudah mendapatkan RIPH dan Surat Persetujuan Impor (SPI) tidak menjalankan wajib tanam.
"Setelah dilakukan analisis, ternyata importir tersebut lebih memilih untuk membuat perusahaan baru untuk memohon impor di tahun berikutnya, daripada melaksanakan kewajiban wajib tanam bawang putih. Karena biaya untuk membuat perusahaan lebih rendah," ungkap Yeka dalam keterangannya.
RELATED ARTICLES
Soal RIPH, Kementan Sayangkan Laporan Ombudsman
Kementerian Pertanian menegasikan laporan Ombudsman Republik Indonesia yang menyatakan terjadi maladministrasi penerbitan rekomendasi impor produk holtikultura.
Context.id,JAKARTA- Kementerian Pertanian menegaskan laporan Ombudsman Republik Indonesia yang menyatakan terjadi maladministrasi penerbitan rekomendasi impor produk holtikultura.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto Setyanto menyayangkan sikap Ombudsman yang menyampaikan dugaan pungli hingga maladministrasi rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) bawang putih ke publik tanpa klarifikasi yang cukup dari pihaknya.
Prihasto mengatakan, pihaknya siap segera menindaklanjuti secara internal maupun jalur hukum terhadap segala tindakan korupsi atau maladministrasi dalam penerbitan RIPH di instansinya.
"Tidak ada ruang bermain-main dengan RIPH. Setiap laporan gratifikasi dan kolusi saya pastikan akan ditindaklanjuti. Kami punya komitmen yang sama dengan Ombudsman untuk melayani publik dengan baik dan bersih," ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Senin (22/1/2024)..
Dia mengeklaim penerbitan RIPH bawang putih di Kementan telah sesuai dengan ketentuan. Jumlah RIPH yang melebihi kuota impor dianggap sebagai upaya untuk menjaga ketersediaan bawang putih impor memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga harga di masyarakat menjadi terjangkau.
BACA JUGA
Adapun pada 2023, Kementan telah menerbitkan RIPH sebanyak 1,2 juta ton di saat kuota impor hanya di kisaran 560.000 ton.
Di sisi lain, Prihasto menyebut, bahwa Kementan terus berupaya meningkatkan produksi bawang putih dalam negeri lewat program-program belanja APBN hingga syarat wajib tanam bagi importir bawang putih. Adapun wajib tanam menjadi ketentuan impor bawang putih yang harus dipenuhi importir.
Menurutnya, tindakan korupsi dan pungutan liar dalam pelayanan RIPH tidak akan ditoleransi oleh pihaknya. Dia pun mempersilahkan pihak tertentu yang mengetahui adanya praktik korupsi RIPH di Ditjen Hortikultura untuk melaporkan langsung kepada aparat penegak hukum.
"Kementan tidak akan menutup mata atas kritik dan masukan dari masyarakat dan lembaga manapun," ucap Prihasto.
Sebelumnya, Ombudsman mulai lakukan pemeriksaan kepada sejumlah petinggi di Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian terkait dengan dugaan maladministrasi penerbitan RIPH bawang putih.
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika membeberkan, terdapat empat potensi maladministrasi yang dilakukan pejabat Kementan dalam penerbitan RIPH, antara lain dugaan tidak memberikan layanan, penundaan berlarut, tidak kompeten dalam pelayanan dan penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan RIPH.
"Setelah kami melakukan konsolidasi di awal tahun ini, maka mulai hari ini sampai 18 Januari 2024 kami melakukan pemeriksaan maraton [kepada pejabat Kementan," ujarnya.
Ombudsman menemukan adanya pemberian biaya penanaman bawang putih dari importir yang jumlahnya kurang dari kebutuhan petani.
Hasil pantauan Ombudsman di Kecamatan Kledung, Kabupaten Temanggung ditemukan biaya penanaman bawang putih sebesar Rp70 juta per hektare per musim tanam. Namun, sejumlah importir hanya memberikan dana biaya tanam kepada petani pelaksana wajib tanam bawang putih sebesar Rp 15 juta - Rp 20 juta per hektare.
Selain itu, masalah lain yang ditemukan Ombudsman yakni adanya calo dalam pengurusan wajib tanam para importir. Ombudsman menemukan seorang calo di Temanggung yang mengelola wajib tanam bawang putih untuk 16 perusahaan importir bawang putih.
Yeka menyebut pihaknya juga menemukan adanya dugaan praktik pungutan liar dalam penerbitan RIPH bawang putih. Adapun berdasarkan keterangan pelapor dan seorang importir mengaku dimintai sejumlah uang oleh oknum dari Kementerian Pertanian sekitar Rp200 - Rp250 per kilogram untuk melancarkan penerbitan RIPH bawang putih.
Lebih lanjut, Ombudsman juga mendapati fakta bahwa importir penerima RIPH bawang putih tidak melaksanakan kewajiban tanam. Importir yang sudah mendapatkan RIPH dan Surat Persetujuan Impor (SPI) tidak menjalankan wajib tanam.
"Setelah dilakukan analisis, ternyata importir tersebut lebih memilih untuk membuat perusahaan baru untuk memohon impor di tahun berikutnya, daripada melaksanakan kewajiban wajib tanam bawang putih. Karena biaya untuk membuat perusahaan lebih rendah," ungkap Yeka dalam keterangannya.
POPULAR
RELATED ARTICLES