Sengkarut Utang Minyak Goreng Pemerintah ke Swasta
Peraturan yang berubah-ubah menjadikan utang minyak goreng antara pemerintah dan pengusaha berlarut-larut
Context.id, JAKARTA - Polemik utang minyak goreng antara pengusaha dan pemerintah hingga kini belum juga usai. Padahal masalah ini sudah berlangsung hampir dua tahun sejak 2022 lalu.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) saat rapat kerja bersama Komisi VI DPR-RI, di kompleks parlemen, Senin (27/11/2023) kemarin mengakui utang rafaksi minyak goreng kepada produsen dan pengusaha masih belum tuntas hingga saat ini.
Zulhas menyebut, prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi pelanggaran hukum menjadi alasan Kemendag belum menyerahkan hasil verifikasi data klaim dari Sucofindo kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Apalagi, Zulhas menyatakan saat ini Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang aktif melakukan pemeriksaan di BPDPKS yang memiliki dana untuk pembayaran utang rafaksi tersebut.
Bahkan, tidak hanya BPDPKS, Zulhas mengatakan orang-orang di Kemendag dan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga tengah rajin diperiksa oleh Kejagung. Setidaknya, Zulhas menyebut ada 20 orang dari Kemendag setiap hari dipanggil oleh Kejagung untuk diperiksa.
Kemendag meminta agar penyelesaian utang rafaksi minyak goreng dibahas di tingkat rapat koordinasi terbatas (rakortas) bersama para menteri. Zulhas mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian dan Kemenko Polhukam untuk pembahasan polemik tersebut lebih lanjut.
"Jadi kami mau [rakortas] di Menko Polhukam boleh, di Menko Ekonomi. Kalau sudah ada persetujuan kami akan bersurat, untuk menjaga-jaga kehati-hatian," ucapnya.
BACA JUGA : Adu Kuat Mendag Vs Peritel Minyak Goreng
Berdasarkan catatan Bisnis, pertengahan November lalu, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, mengatakan, asosiasi bersama dengan sejumlah produsen minyak sawit tengah bersiap membawa persoalan utang rafaksi minyak goreng ke ranah hukum.
"Kami mendapat dukungan dari produsen, sudah ada 4-5 produsen. Jadi kami mau melangkah, kami pakai panglima [jalur] hukum," ujar Roy, Rabu (15/11/2023).
Roy menegaskan bahwa membawa polemik utang pemerintah yang tak kunjung dibayar itu sudah menjadi keputusan akhir yang terpaksa mereka lakukan.
Pasalnya, para pengusaha ritel yang menjadi korban tunggakan utang pemerintah dalam aturan rafaksi minyak goreng (Permendag No.3/2022) memandang tidak ada niat baik Mendag dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Menurut Roy, BPDPKS selama ini terus menunggu laporan jumlah tagihan hasil audit dari Kemendag. Namun, sejauh ini persoalan perbedaan klaim data menjadi alibi Kemendag dalam menahan pembayaran utang rafaksi minyak goreng.
Adapun, total piutang rafaksi minyak goreng yang diklaim 31 perusahaan ritel di bawah naungan Aprindo kepada pemerintah mencapai Rp344 miliar.
Sementara itu, hasil verifikasi surveyor independen yakni PT Sucofindo mencatat total klaim rafaksi minyak goreng sebesar Rp474,8 miliar atau 58,43% dari total nilai yang diajukan oleh 54 pelaku usaha termasuk produsen sebesar Rp812,72 miliar.
Penundaan pembayaran utang minyak goreng oleh pemerintah berpotensi mencederai kepercayaan peritel sekaligus pelaku usaha dan industri.
Pengusaha ritel merasa telah menjalankan kewajibannya menanggung selisih harga jual agar masyarakat memperoleh minyak goreng secara terjangkau hingga versi mereka mencapai Rp 344 miliar.
Seperti diketahui, pengusaha mau menanggung selisih harga jual karena awalnya ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pasal 7 regulasi tersebut menjanjikan, pelaku usaha akan mendapatkan dana kompensasi dari BPDPKS yang dihitung dari selisih harga eceran tertinggi (HET) dan harga keekonomian yang ditawarkan pasar. Adapun HET yang ditetapkan ketika itu Rp 14.000 per liter.
Namun, belakangan Permendag tersebbut dicabut. Muncul Permendag No 11/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah yang diundangkan pada 16 Maret 2022 yang tidak lagi menyebutkan soal pembayaran pada pelaku usaha yang melaksanakan penyediaan minyak goreng dan diverifikasi surveyor.
Lalu, peraturan itu digantikan Permendag No 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat dan juga tidak ada kalimat mengenai pembayaran. Akhirnnya, peraturan inilah yang menjadi landasan Kemendag tidak membayar karena khawatir bertentangan dengan paraturan terakhir yang terbit.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seperti dilansir Bisnis mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan Permendag yang baru atau meminta Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) untuk menjustifikasi pembayaran utang rafaksi minyak goreng Rp344 miliar kepada peritel.
KPPU menilai penerbitan aturan baru diperlukan untuk segera mengatasi kisruh utang minyak goreng. Pasalnya, apabila pemerintah terus menunda pembayaran selisih harga jual atau rafaksi minyak goreng, maka akan berdampak pada ketidakpercayaan pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah selanjutnya.
Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamanggala, menyayangkan apabila pemerintah terus bersikeras mengulur waktu atau bahkan tidak membayar utangnya tersebut. Sebab, peritel serta produsen minyak goreng sejatinya telah menelan kerugian yang tidak sedikit akibat kebijakan rafaksi yang hanya sebulan itu.
RELATED ARTICLES
Sengkarut Utang Minyak Goreng Pemerintah ke Swasta
Peraturan yang berubah-ubah menjadikan utang minyak goreng antara pemerintah dan pengusaha berlarut-larut
Context.id, JAKARTA - Polemik utang minyak goreng antara pengusaha dan pemerintah hingga kini belum juga usai. Padahal masalah ini sudah berlangsung hampir dua tahun sejak 2022 lalu.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan (Zulhas) saat rapat kerja bersama Komisi VI DPR-RI, di kompleks parlemen, Senin (27/11/2023) kemarin mengakui utang rafaksi minyak goreng kepada produsen dan pengusaha masih belum tuntas hingga saat ini.
Zulhas menyebut, prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi pelanggaran hukum menjadi alasan Kemendag belum menyerahkan hasil verifikasi data klaim dari Sucofindo kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Apalagi, Zulhas menyatakan saat ini Kejaksaan Agung (Kejagung) sedang aktif melakukan pemeriksaan di BPDPKS yang memiliki dana untuk pembayaran utang rafaksi tersebut.
Bahkan, tidak hanya BPDPKS, Zulhas mengatakan orang-orang di Kemendag dan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian juga tengah rajin diperiksa oleh Kejagung. Setidaknya, Zulhas menyebut ada 20 orang dari Kemendag setiap hari dipanggil oleh Kejagung untuk diperiksa.
Kemendag meminta agar penyelesaian utang rafaksi minyak goreng dibahas di tingkat rapat koordinasi terbatas (rakortas) bersama para menteri. Zulhas mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan Kemenko Perekonomian dan Kemenko Polhukam untuk pembahasan polemik tersebut lebih lanjut.
"Jadi kami mau [rakortas] di Menko Polhukam boleh, di Menko Ekonomi. Kalau sudah ada persetujuan kami akan bersurat, untuk menjaga-jaga kehati-hatian," ucapnya.
BACA JUGA : Adu Kuat Mendag Vs Peritel Minyak Goreng
Berdasarkan catatan Bisnis, pertengahan November lalu, Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey, mengatakan, asosiasi bersama dengan sejumlah produsen minyak sawit tengah bersiap membawa persoalan utang rafaksi minyak goreng ke ranah hukum.
"Kami mendapat dukungan dari produsen, sudah ada 4-5 produsen. Jadi kami mau melangkah, kami pakai panglima [jalur] hukum," ujar Roy, Rabu (15/11/2023).
Roy menegaskan bahwa membawa polemik utang pemerintah yang tak kunjung dibayar itu sudah menjadi keputusan akhir yang terpaksa mereka lakukan.
Pasalnya, para pengusaha ritel yang menjadi korban tunggakan utang pemerintah dalam aturan rafaksi minyak goreng (Permendag No.3/2022) memandang tidak ada niat baik Mendag dalam menyelesaikan persoalan tersebut.
Menurut Roy, BPDPKS selama ini terus menunggu laporan jumlah tagihan hasil audit dari Kemendag. Namun, sejauh ini persoalan perbedaan klaim data menjadi alibi Kemendag dalam menahan pembayaran utang rafaksi minyak goreng.
Adapun, total piutang rafaksi minyak goreng yang diklaim 31 perusahaan ritel di bawah naungan Aprindo kepada pemerintah mencapai Rp344 miliar.
Sementara itu, hasil verifikasi surveyor independen yakni PT Sucofindo mencatat total klaim rafaksi minyak goreng sebesar Rp474,8 miliar atau 58,43% dari total nilai yang diajukan oleh 54 pelaku usaha termasuk produsen sebesar Rp812,72 miliar.
Penundaan pembayaran utang minyak goreng oleh pemerintah berpotensi mencederai kepercayaan peritel sekaligus pelaku usaha dan industri.
Pengusaha ritel merasa telah menjalankan kewajibannya menanggung selisih harga jual agar masyarakat memperoleh minyak goreng secara terjangkau hingga versi mereka mencapai Rp 344 miliar.
Seperti diketahui, pengusaha mau menanggung selisih harga jual karena awalnya ada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Pasal 7 regulasi tersebut menjanjikan, pelaku usaha akan mendapatkan dana kompensasi dari BPDPKS yang dihitung dari selisih harga eceran tertinggi (HET) dan harga keekonomian yang ditawarkan pasar. Adapun HET yang ditetapkan ketika itu Rp 14.000 per liter.
Namun, belakangan Permendag tersebbut dicabut. Muncul Permendag No 11/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Curah yang diundangkan pada 16 Maret 2022 yang tidak lagi menyebutkan soal pembayaran pada pelaku usaha yang melaksanakan penyediaan minyak goreng dan diverifikasi surveyor.
Lalu, peraturan itu digantikan Permendag No 49/2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Rakyat dan juga tidak ada kalimat mengenai pembayaran. Akhirnnya, peraturan inilah yang menjadi landasan Kemendag tidak membayar karena khawatir bertentangan dengan paraturan terakhir yang terbit.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) seperti dilansir Bisnis mendorong pemerintah untuk segera mengeluarkan Permendag yang baru atau meminta Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) untuk menjustifikasi pembayaran utang rafaksi minyak goreng Rp344 miliar kepada peritel.
KPPU menilai penerbitan aturan baru diperlukan untuk segera mengatasi kisruh utang minyak goreng. Pasalnya, apabila pemerintah terus menunda pembayaran selisih harga jual atau rafaksi minyak goreng, maka akan berdampak pada ketidakpercayaan pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah selanjutnya.
Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamanggala, menyayangkan apabila pemerintah terus bersikeras mengulur waktu atau bahkan tidak membayar utangnya tersebut. Sebab, peritel serta produsen minyak goreng sejatinya telah menelan kerugian yang tidak sedikit akibat kebijakan rafaksi yang hanya sebulan itu.
POPULAR
RELATED ARTICLES