Stories - 06 June 2023
Sistem Pemilu Tertutup Jadi Polemik, Begini Sejarahnya
Wacana perubahan sistem pemilu menjadi polemik di antara elite partai dan masyarakat. Sistem pemilu apa yang lebih tepat?
Context.id, JAKARTA - Wacana perubahan sistem pemilu 2024 dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) masih menjadi polemik hangat di antara elite partai. Opini pro dan kontra meramaikan wacana tersebut.
Wacana ini mencuat setelah advokat Denny Indrayana mengklaim telah mengetahui putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perkara sistem proporsional pemilu yang digugat sekelompok orang. Mereka mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu ke MK dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022.
Menurut Denny, sebagian besar hakim MK akan memutus sistem proporsional tertutup atau berbeda dari sistem proporsional terbuka yang dijalankan sejak akhir dekade 2000.
BACA JUGA Kaesang, Magnet Besar untuk Adang Dominasi PKS di Depok
Kendati begitu, Ketua MK Anwar Usman menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada putusan MK mengenai perkembangan putusan mengenai sistem proporsional tertutup untuk Pemilu 2024. Pasalnya, para hakim MK belum menggelar rapat permusyawaratan.
Dia menyampaikan bahwa perkara yang ramai diperbincangkan ini baru saja melewati proses penyampaian simpulan pada Rabu (31/5/2023). Setelah itu, para hakim MK akan menggelar rapat permusyawaratan. Melalui rapat itu, hakim akan membahas putusan yang akan dibacakan pada sidang putusan.
Pro dan Kontra Sistem Pemilu
Salah satu alasan kelompok yang melayangkan gugatan ke MK untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup adalah kader berkualitas berkemungkinan tersingkir alias kalah dari kader populer.
Mereka yang mempunyai modal lebih untuk memasang wajah di baliho pada tiap sudut jalan atau orang ternama di publik dinilai lebih potensial terpilih dalam pemilu. Dengan begitu, kader berprestasi dikhawatirkan tidak mampu bersaing dalam menghimpun suara rakyat.
BACA JUGA Tadashi Yanai dan Transformasi Toko Warisan Jadi Uniqlo
Dilansir Bisnis.com, politikus Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra menilai hasil suara terbanyak yang diusung oleh sistem proporsional terbuka telah mengubah medan permainan pemilu yang seharusnya menjadi medan pertarungan program gagasan atau ide menjadi pertarungan orang-orang terkenal dan berkemampuan finansial.
Pasalnya, partai politik bukan lagi fokus mengejar fungsi asasinya sebagai sarana penyalur pendidikan dan partisipasi politik, melainkan hanya sekadar untuk mendapatkan kader yang dapat menarik magnet perolehan suara terbanyak.
“Kader-kader terbaik yang ideologis punya kapasitas untuk bekerja namun tidak begitu popular, perlahan-lahan tersingkir dari lingkaran partai dan digantikan oleh figur-figur terkenal yang nyatanya kadang-kadang belum tentu bisa bekerja dengan baik,” tegasnya dilansir laman MK, Rabu (8/4/2023).
BACA JUGA Profil Low Tuck Kwong, Orang Terkaya ke-3 di Indonesia
Sementara itu, pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menjelaskan kondisi objektif saat ini jelas tidak memungkinkan untuk mengubah sistem pemilu, khususnya berkaitan dengan metode pemberian suara.
“Lebih baik semua pihak fokus mempersiapkan seluruh tahapan secara optimal serta mencegah dan mengantisipasi berbagai potensi masalah yang bisa muncul. Terutama bila berkaca pada evaluasi dan refleksi penyelenggaraan pemilu serentak 2019 lalu,” jelas Titi dalam sidang lanjutan pengujian UU Pemilu di Ruang Sidang Pleno MK, Senin (15/5/2023), seperti dilansir laman MK.
Lantas bagaimana proses perubahan sistem pemilu di Indonesia? Berikut informasi yang dihimpun Context.id.
Sejarah Sistem Pemilu di Indonesia
Pemilu di Indonesia pertama kali diadakan dalam masa kepemimpinan Presiden Soekarno pada 1955 untuk memilih anggota DPR dan anggota konstituante. Berlanjut ke era Soeharto dengan enam kali penyelenggaraan pemilu, dalam rentang 32 tahun, untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II.
Pada masa orde baru (orba) tersebut, pemilu menerapkan sistem proporsional tertutup sehingga ada mobilisasi dari partai politik untuk memilih partai tertentu tanpa mengenal calon legislatif atau caleg terpilih. Pada masa itu partai tidak terbuka dan merasa tidak punya kewajiban untuk mempublikasikan calegnya.
Pada 1971-1997, jumlah partai dibatasi menjadi tiga tanpa daftar caleg di surat suara dan hanya diumumkan di tempat pemungutan suara (TPS). Nantinya caleg yang terpilih berdasarkan nomor urut yang ditentukan oleh mekanisme internal partai.
BACA JUGA Inflasi Mei 2023 Melandai, Cek Penyebab dan Dampaknya
Pada periode reformasi, sistem mulai berubah lantaran lingkungan sosial politik lebih terbuka. Keragaman dan kemajemukan masyarakat Indonesia menjadi alasan bahwa sistem proporsional terbuka lebih tepat.
Dukungan MK terhadap sistem pemilu terbuka disahkan melalui putusan No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Berdasarkan Suara Terbanyak. MK berpendapat pemilu dengan sistem proporsional terbuka memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan caleg yang dipilih.
Penulis : Nisrina Khairunnisa
Editor : Oktaviano Donald
MORE STORIES
Industri Antariksa Asia Mulai Menyaingi AS dan Eropa
China, India dan Jepang membuka pintu bagi negara-negara Asia ikut dalam persaingan antariksa
Context.id | 19-09-2024
Lepas Tanggung Jawab Iklim, Perusahaan Energi Fosil Jadi Sponsor Olahraga
Lembaga penelitian iklim menemukan aliran dana besar perusahaan migas ke acara olahraga untuk mengelabui masyarakat soal krisis iklim\r\n
Context.id | 18-09-2024
Ini Rahasia Sukses Norwegia Mengganti Mobil Bensin dengan Listrik!
Norwegia, salah satu negara Nordik yang juga penghasil minyak dan gas terbesar di Eropa justru memimpin penggunaan mobil listrik
Context.id | 18-09-2024
Riset IDEA Temukan Kemunduran Demokrasi Dunia Selama 8 Tahun Beruntun
Kredibilitas pemilu dunia terancam oleh menurunnya jumlah pemilih dan hasil pemilu yang digugat serta diragukan.
Fahri N. Muharom | 18-09-2024
A modern exploration of business, societies, and ideas.
Powered by Bisnis Indonesia.
Copyright © 2024 - Context
Copyright © 2024 - Context