Share

Stories 12 Desember 2022

Membedah Budaya Operasi Plastik di Korea Selatan

Korea Selatan telah menyumbang sekitar 24 persen dari seluruh operasi plastik di seluruh dunia, menjadikannya Kiblat Operasi Plastik Dunia.

Penyanyi Korea Selatan Jessi sesudah melakukan operasi plastik (kiri) dan sebelum operasi plastik (kanan) -Instagram/@jessicah_o-

Context, JAKARTA - Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan kerap menjadi ciri khas dari suatu kelompok mau pun negara. Di Korea Selatan, ada sebuah budaya yang dianggap unik bagi sebagian orang, yaitu operasi plastik.

Operasi plastik di Korea Selatan telah bertransformasi menjadi sebuah budaya. Seiring berkembangnya teknologi, semakin banyak orang Korea Selatan yang melakukan operasi Plastik. 


Kiblatnya Operasi Plastik Dunia

Saat ini, Korea Selatan bisa dibilang telah menjadi “Kiblat Operasi Plastik Dunia”. Mengutip ulasan yang dibuat oleh mahasiswa kedokteran Harvard University, Korea Selatan telah menyumbang sekitar 24 persen dari seluruh operasi plastik di seluruh dunia.

Hal ini bisa dibuktikan juga dengan maraknya industri operasi plastik di Korea Selatan. Diperkirakan, industri operasi plastik di Korea Selatan pada 2020 memiliki nilai yang sangat fantastis, yaitu mencapai US$10,7 miliar atau berkisar Rp166 triliun.

Operasi plastik yang dianggap mewah atau tabu di negara lainnya, justru dianggap hal yang biasa di Korea Selatan. Dilansir Korea Expose, iklan-iklan mengenai operasi plastik bertebaran di Korea Selatan. Kita bisa melihatnya di stasiun kereta bawah tanah, bus, dan jalanan. 

Besarnya industri operasi plastik di Korea Selatan juga menjadikannya tempat wisata operasi plastik. Dilaporkan, operasi plastik telah menyumbang sekitar seperlima dari turis medis di Korea Selatan. Pada 2014, pendapatan yang diterima Korea Selatan dari turis medis operasi plastik mencapai US$107 juta atau sekitar Rp1,6 triliun.


Kenapa Operasi Plastik Marak di Korea Selatan?

Saat terjadi krisis keuangan pada 1997, tingkat pengangguran di Korea Selatan meningkat dari 2,61 persen menjadi 6,8 persen. Diperkirakan, sekitar satu juta pekerja yang kurang terampil telah kehilangan kerja, dan menjadi kelompok yang terdampak krisis paling parah.

Saat kondisi keuangan membaik, pencari kerja pun mulai bermunculan. Namun, ternyata mendapatkan pekerjaan di Korea Selatan tidak cukup jika hanya mengandalkan keahlian dan pengalaman saja. 

Selayaknya di negara-negara lainnya, para pelamar kerja diharuskan menyertakan foto diri mereka dalam lamaran. Hal ini menjadi masalah karena 80 persen perekrut pekerja di Korea Selatan mempertimbangkan faktor fisik untuk menyaring para kandidat. Setelah krisis keuangan itu lah para pencari kerja kerap melakukan operasi plastik untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih besar. 

Semenjak itu pula, tren operasi plastik di Korea Selatan meningkat. Biasanya, operasi plastik kerap dilakukan untuk mempercantik kembali wajah yang ada akibat proses penuaan. Namun di Korea Selatan, operasi plastik dilakukan oleh mereka yang masih berusia muda.

Saat ini, mayoritas masyarakat Korea Selatan yang menjalani operasi plastik ada di rentang usia 20 hingga 40 tahun. Sedangkan di Amerika Serikat, rata-rata masyarakatnya yang melakukan operasi plastik ada di rentang usia 35 hingga 50 tahun.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, operasi plastik di Korea Selatan memang sudah menjelma menjadi sebuah budaya. Bahkan, operasi plastik juga biasa dijadikan suatu “hadiah” dari orang tua kepada anak-anaknya yang telah menyelesaikan ujian masuk perguruan tinggi, ulang tahun, dan hari-hari istimewa lainya.


Faktor Fisiognomi

Banyaknya masyarakat Korea Selatan yang tidak ragu untuk melakukan operasi plastik juga disebabkan oleh faktor fisiognomi. Dilansir sebuah jurnal yang diterbitkan pada 2018 dari Universitas Diponegoro, Fisiognomi adalah ilmu yang digunakan untuk mengenal
karakter seseorang dengan melihat wajah, atau dalam kata lain juga dikenal dengan istilah Face Reading.

Terkait kepercayaan ini, masyarakat Korea Selatan percaya bahwa faktor fisik, terutama wajah dapat menentukan kepribadian, kekayaan, dan masa depan seseorang. Meski kepercayaan ini sudah dianggap kuno oleh generasi sekarang, namun masih banyak orang tua yang mempercayai hal tersebut, sehingga memengaruhi anaknya untuk melakukan operasi plastik.


Timbulnya Masalah Baru

Maraknya industri operasi plastik di Korea Selatan ternyata juga tidak lepas dari banyaknya masalah yang bermunculan. Salah satunya, seperti yang terjadi di wilayah Apgujeong yang berada di Distrik Gangnam. 

Wilayah itu sebenarnya adalah surganya operasi plastik. Saking banyaknya klinik operasi plastik di wilayah tersebut, klinik-klinik ilegal pun dengan mudahnya bermunculan. Hal ini tentunya akan membahayakan masyarakat yang ingin melakukan operasi plastik.

Selain itu, maraknya operasi plastik juga telah membuat terciptanya standar kecantikan baru. Globalisasi telah membuat masyarakat Korea Selatan cenderung ingin terlihat lebih “Barat” atau lebih “Amerika”. Namun, hal ini lah yang membuat timbulnya masalah baru, yaitu sifat diskriminatif bagi mereka yang memiliki penampilan “kurang menarik”.

Beberapa solusi sudah coba dilakukan untuk mengurangi diskriminasi tersebut. Contohnya, seperti Seoul Metro yang memutuskan untuk menghapus iklan operasi plastik di stasiun kereta bawah tanah pada 2020, dan Kementerian Kesehatan Korea Selatan yang telah menindak klinik yang memasang iklan bersifat eksploitatif.

Selain itu, instansi pemerintah Korea Selatan dan beberapa perusahaan juga telah menerapkan kebijakan “perekrutan buta”, yaitu pelamar tidak diwajibkan untuk menyertakan foto dirinya dalam lembar lamaran atau resume.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Context.id

Stories 12 Desember 2022

Membedah Budaya Operasi Plastik di Korea Selatan

Korea Selatan telah menyumbang sekitar 24 persen dari seluruh operasi plastik di seluruh dunia, menjadikannya Kiblat Operasi Plastik Dunia.

Penyanyi Korea Selatan Jessi sesudah melakukan operasi plastik (kiri) dan sebelum operasi plastik (kanan) -Instagram/@jessicah_o-

Context, JAKARTA - Budaya adalah cara hidup yang berkembang dan kerap menjadi ciri khas dari suatu kelompok mau pun negara. Di Korea Selatan, ada sebuah budaya yang dianggap unik bagi sebagian orang, yaitu operasi plastik.

Operasi plastik di Korea Selatan telah bertransformasi menjadi sebuah budaya. Seiring berkembangnya teknologi, semakin banyak orang Korea Selatan yang melakukan operasi Plastik. 


Kiblatnya Operasi Plastik Dunia

Saat ini, Korea Selatan bisa dibilang telah menjadi “Kiblat Operasi Plastik Dunia”. Mengutip ulasan yang dibuat oleh mahasiswa kedokteran Harvard University, Korea Selatan telah menyumbang sekitar 24 persen dari seluruh operasi plastik di seluruh dunia.

Hal ini bisa dibuktikan juga dengan maraknya industri operasi plastik di Korea Selatan. Diperkirakan, industri operasi plastik di Korea Selatan pada 2020 memiliki nilai yang sangat fantastis, yaitu mencapai US$10,7 miliar atau berkisar Rp166 triliun.

Operasi plastik yang dianggap mewah atau tabu di negara lainnya, justru dianggap hal yang biasa di Korea Selatan. Dilansir Korea Expose, iklan-iklan mengenai operasi plastik bertebaran di Korea Selatan. Kita bisa melihatnya di stasiun kereta bawah tanah, bus, dan jalanan. 

Besarnya industri operasi plastik di Korea Selatan juga menjadikannya tempat wisata operasi plastik. Dilaporkan, operasi plastik telah menyumbang sekitar seperlima dari turis medis di Korea Selatan. Pada 2014, pendapatan yang diterima Korea Selatan dari turis medis operasi plastik mencapai US$107 juta atau sekitar Rp1,6 triliun.


Kenapa Operasi Plastik Marak di Korea Selatan?

Saat terjadi krisis keuangan pada 1997, tingkat pengangguran di Korea Selatan meningkat dari 2,61 persen menjadi 6,8 persen. Diperkirakan, sekitar satu juta pekerja yang kurang terampil telah kehilangan kerja, dan menjadi kelompok yang terdampak krisis paling parah.

Saat kondisi keuangan membaik, pencari kerja pun mulai bermunculan. Namun, ternyata mendapatkan pekerjaan di Korea Selatan tidak cukup jika hanya mengandalkan keahlian dan pengalaman saja. 

Selayaknya di negara-negara lainnya, para pelamar kerja diharuskan menyertakan foto diri mereka dalam lamaran. Hal ini menjadi masalah karena 80 persen perekrut pekerja di Korea Selatan mempertimbangkan faktor fisik untuk menyaring para kandidat. Setelah krisis keuangan itu lah para pencari kerja kerap melakukan operasi plastik untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih besar. 

Semenjak itu pula, tren operasi plastik di Korea Selatan meningkat. Biasanya, operasi plastik kerap dilakukan untuk mempercantik kembali wajah yang ada akibat proses penuaan. Namun di Korea Selatan, operasi plastik dilakukan oleh mereka yang masih berusia muda.

Saat ini, mayoritas masyarakat Korea Selatan yang menjalani operasi plastik ada di rentang usia 20 hingga 40 tahun. Sedangkan di Amerika Serikat, rata-rata masyarakatnya yang melakukan operasi plastik ada di rentang usia 35 hingga 50 tahun.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, operasi plastik di Korea Selatan memang sudah menjelma menjadi sebuah budaya. Bahkan, operasi plastik juga biasa dijadikan suatu “hadiah” dari orang tua kepada anak-anaknya yang telah menyelesaikan ujian masuk perguruan tinggi, ulang tahun, dan hari-hari istimewa lainya.


Faktor Fisiognomi

Banyaknya masyarakat Korea Selatan yang tidak ragu untuk melakukan operasi plastik juga disebabkan oleh faktor fisiognomi. Dilansir sebuah jurnal yang diterbitkan pada 2018 dari Universitas Diponegoro, Fisiognomi adalah ilmu yang digunakan untuk mengenal
karakter seseorang dengan melihat wajah, atau dalam kata lain juga dikenal dengan istilah Face Reading.

Terkait kepercayaan ini, masyarakat Korea Selatan percaya bahwa faktor fisik, terutama wajah dapat menentukan kepribadian, kekayaan, dan masa depan seseorang. Meski kepercayaan ini sudah dianggap kuno oleh generasi sekarang, namun masih banyak orang tua yang mempercayai hal tersebut, sehingga memengaruhi anaknya untuk melakukan operasi plastik.


Timbulnya Masalah Baru

Maraknya industri operasi plastik di Korea Selatan ternyata juga tidak lepas dari banyaknya masalah yang bermunculan. Salah satunya, seperti yang terjadi di wilayah Apgujeong yang berada di Distrik Gangnam. 

Wilayah itu sebenarnya adalah surganya operasi plastik. Saking banyaknya klinik operasi plastik di wilayah tersebut, klinik-klinik ilegal pun dengan mudahnya bermunculan. Hal ini tentunya akan membahayakan masyarakat yang ingin melakukan operasi plastik.

Selain itu, maraknya operasi plastik juga telah membuat terciptanya standar kecantikan baru. Globalisasi telah membuat masyarakat Korea Selatan cenderung ingin terlihat lebih “Barat” atau lebih “Amerika”. Namun, hal ini lah yang membuat timbulnya masalah baru, yaitu sifat diskriminatif bagi mereka yang memiliki penampilan “kurang menarik”.

Beberapa solusi sudah coba dilakukan untuk mengurangi diskriminasi tersebut. Contohnya, seperti Seoul Metro yang memutuskan untuk menghapus iklan operasi plastik di stasiun kereta bawah tanah pada 2020, dan Kementerian Kesehatan Korea Selatan yang telah menindak klinik yang memasang iklan bersifat eksploitatif.

Selain itu, instansi pemerintah Korea Selatan dan beberapa perusahaan juga telah menerapkan kebijakan “perekrutan buta”, yaitu pelamar tidak diwajibkan untuk menyertakan foto dirinya dalam lembar lamaran atau resume.



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Context.id


RELATED ARTICLES

Haruskah Tetap Belajar Coding di Dunia AI?

Kamp pelatihan coding dulunya tampak seperti tiket emas menuju masa depan yang aman secara ekonomi. Namun, saat janji itu memudar, apa yang harus ...

Context.id . 25 November 2024

Menuju Pemulihan: Dua Ilmuwan Harvard Mencari Jalan Cepat Atasi Depresi

Depresi menjadi musuh yang sulit ditaklukkan karena pengobatannya butuh waktu panjang

Context.id . 24 November 2024

Hati-hati! Terlalu Banyak Duduk Rentan Terkena Serangan Jantung

Menurut penelitian terbaru meskipun kita rajin olahraga yang rutin jika tubuh tidak banyak bergerak dapat meningkatkan risiko gagal jantung hingga 60%

Context.id . 24 November 2024

Klaster AI Kempner Raih Predikat Superkomputer Hijau Tercepat di Dunia

Melalui peningkatan daya komputasi ini, kita dapat mempelajari lebih dalam bagaimana model generatif belajar untuk bernalar dan menyelesaikan tuga ...

Context.id . 23 November 2024